Kami sungguh tak habis pikir. Semua air hasil kurasan dari oasis pada akhirnya akan dibuang sia-sia ke laut merah? Hah, sungguh kejam. Kejahatan macam apa sih ini?
"Cek darimana air ini masuk ke dalam sini."perintah Paman San.
Kami semua berjalan mengikuti alur sungai ini mencapai titik dimana air keluar dari sebuah pipa raksasa. Kami semua mendekati pipa raksasa itu, melihat darimana arah asalnya.
Aku mengikuti And yang berjalan mendekati tempat dimana air memancar. Saat berjalan bersama Paman Marthin dan yang lain, kami lihat di depan kami terdapat pipa raksasa. Dari jauh kami tahu ini sebuah pipa, tapi sekarang setelah berjalan tepat di depannya kami tak bisa lihat apa-apa,soalnya kami agak jauh dari Paman Marthin yang membawa senter.
"Aduh!" ringis And dengan suara pelan.
"Kenapa?"
"Tak kenapa-kenapa." Jawabnya.
Kukeluarkan hpku dari saku, dan memencet tombol power. Dengan cahaya yang memancar dari layar, kuarahkan ke And. Kulihat tangannya berdarah tergores sesuatu. Kuraba-raba tisu dalam sakuku, lalu kuberikan padanya.
"Bisa bantu aku, ambil plester di saku kiri." Katanya.
Kurogoh plester dari saku kirinya yang lalu ia tempelkan di tangannya.
"Nah, sudah."katanya.
"Memangnya tadi kena apa?" tanyaku.
Kuarahkan layar hp ku ke arah pipa. Ternyata ada semacam lempengan tajam yang hampir terkelupas dari pipa. Pipa ini berupa baja yang dilapisi lagi semacam lempengan tipis diluarnya. Kuperhatikan lempengan yang menggores tangan And, ada gambar di atasnya. Saat ini gambarnya tak bisa kulihat jelas, tapi rasanya aku pernah lihat gambar ini. Makin kuperhatikan aku makin tertarik dengan gambar di lempengan ini. Lempengan ini tipis sekali dan hampir lepas. Apa mungkin bisa kalau kutarik? Penuh hati-hati sambil berusaha menghindari ujungnya yang tajam kutarik lempengan ini sampai lepas. Ternyata gampang. Langsung kumasukkan benda ini ke dalam ransel.
"Pipa ini sebuah mesin!" kata And.
Ia sudah memanjat tangga tersembunyi di sepanjang lingkar luar pipa, dan sekarang ia sudah ada di puncak anak tangga. Ya ampun anak ini, kapan dia panjatnya?
"Disini ada banyak tombol." Lanjutnya menjelaskan dari atas sana.
"Hati-hati, Andrew." Paman Marthin memperingatkan.
"Disini ada tombol off! Kita bisa menyetop air ini!" kata And penuh semangat.
"Tunggu sebentar!" kata Paman Marthin padanya sambil memanjat naik.
"Lihat ini, Paman. Kita bisa menyetopnya," kata And pada Paman Marthin saat ia sampai di atas.
"Kita bisa menyetopnya." Kata Paman Marthin pada Paman San.
"Bisa beresiko." Jawab Paman San, ia kelihatan sedang berpikir keras atas keputusan yang akan diambilnya.
"Kita bisa menyetopnya sekarang," usulku, "Ini penting. Air untuk warga."
Orang-orang melihat ke arahku. Paman San melihatku lama sekali, sampai aku merasa tidak enak.
"Stop mesinnya." Peritah Paman San.
Sepenuh semangat And menekan tombolnya. Air yang mengalir pun perlahan berkurang hingga akhirnya berhenti.
Airnya benar-benar berhenti sekarang. Tapi entah kenapa perasaanku nggak enak. Seolah sesuatu yang nggak baik akan terjadi. Tapi sepertinya perasan ini juga merayapi anggota lainnya. Air muka kami tak ada yang senang.
"Apa kita harus pergi sekarang?" Tanya Venessa.
"Sepertinya iya." Jawab Yena.
Kami semua menatap Paman San, menunggu keputusan darinya.
"Mari kita keluar dari sini." Kata Paman San.
Secepatnya And dan Paman Marthin turun dari tangga sana, lalu kami berjalan cepat kembali ke lubang dimana kami masuk. Perasaan akan terjadinya hal-hal buruk terus menghantui kami. Bisa saja And baru saja mengaktifkan alarm atau perangkap, bisa juga segerombolan pasukan datang mengepung kami! Makin kupikirkan, aku makin ingin cepat-cepat sampai di lubang masuk.
Yena entah bagaimana caranya bisa kenal sekali dengan jalan yang kami lalui. Ia memimpin di depan, dan tak lama kemudian kami melihat lubang tempat kami masuk.
Begitu melihat lubang itu, masalah baru datang buatku. Bagaimana caraku memanjat ke atas sana? Aku frustasi. Tapi kelihatannya tak Cuma aku yang kebingungan, Paman San juga sama. Ia sudah berusia, dan berat badannya tak memungkinkan untuk memanjat seutas tali seperti itu.
"Venessa naik duluan. Venessa cekatan. Lalu kau bisa mengambil tangga tali di belakang jeep." Kata Paman Marthin.
Kami semua mengangguk setuju. Vanessa juga setuju. Ia langsung memanjat ke atas sana tanpa berpikir banyak, dan ia naik ke atas seperti monyet memanjat pohon.
Kelihatannya gampang sekali.
Kelihatannya.
Venessa sudah ngos-ngosan sampai di atas sana. Keringat bercucuran di seluruh badannya. Pasti tak mudah. Sesampainya di atas, ia langsung menghilang di balik lubang, berlari ke arah jeep.
Tak berapa lama Venessa kembali sambil membawa tangga yang Marthin maksud. Dengan susah payah, ia menurunkan tangganya. Tangganya berupa tali tambang yang terikat dengan kuat, dan papan kayu sebagai pijakannya. Mestinya tangga ini berat sekali. Wuah, Venessa sungguh wanita perkasa.
Tangga ini jatuhnya satu meter di atas lantai. Pas sekali. Paman San menyuruh Yena naik, dan Yena menurutinya. Ia naik dengan cepat sekali. Selanjutnya Paman San menyuruh And, lalu aku dan Paman Marthin. Tapi Paman Marthin menolak, bersikeras agar Paman San naik duluan. Akhirnya setelah And naik, Paman San pun naik. Setelahnya Paman Marthin menyuruhku naik. Ia menjagaku dari bawah sana. Kuakui naik tangga ini nggak gampang. Langkahnya besar-besar sehingga butuh tenaga lebih untuk memanjatnya. Aku sudah ngos-ngosan padahal baru sampai setengah tangga.
"Ayo, Becky. Kau pasti bisa." Paman Marthin menyemangatiku dari bawah.
"Hm-mh." Jawabku. Aku tak mampu berkata apa-apa. Nafasku sudah pendek-pendek.
"Ada yang datang!" teriak Yena dari atas. Suaranya terdengar gugup sekali.
"Cepat, Becky. Ada yang datang!" terdengar suara And.
Sekuat tenaga aku memanjat secepat yang aku bisa, mereka semua yang di atas sudah ribut sekali. Paman Marthin yang di bawah pun mulai memanjat, tak menungguku sampai di atas. Ketika aku benar-benar sampai di atas, mereka langsung menarikku keluar dari lubang.
Dari kejauhan benar-benar ada dua buah mobil hitam mendatangi kami. Para penjaga!
Mimpi buruk kami datang.
Aku meneriak-neriaki Paman Marthin yang tengah memanjati tangga agar lebih cepat. Lalu ketika ia sampai di puncak, kami semua langsung berlari ke arah jeep.
Tak kusangka, ada dua sampai tiga orang mengeluarkan setengah badannya dari jendela mobil sambil berusaha menembaki kami dengan senapan. Pelurunya mengenai pohon dan tanah di sekitar kami. Pelurunya kapan saja bisa mengenai kami. Aku sungguh-sungguh takut, kakiku rasanya lemas. Aku pusing, mual,sungguh tak sanggup lari lagi rasanya. Dari samping Paman Marthin menarik lenganku : "Jangan berhenti, terus lari ke mobil!" Dengan penuh keyakinan Paman Marthin berlari sambil memegang erat lenganku. Kulihat ia tak ragu atau takut sedikitpun, seolah hal ini biasa saja. Ia semacam baterai. Di bawah bimbingannya, tenagaku seolah kembali. Kakiku tak lemas lagi, aku tak pusing lagi, atau mual.
Untungnya jeep kami diparkir tak jauh. Begitu mencapai mobil, aku dan Andrew menunduk di bawah kursi sembari menunggu Paman Marthin menyalakan mobil. Orang-orang berpakaian hitam itu masih terus menembaki kami. Suasana kacau balau. Kudengar deru mesin jeep yang dibawa Venessa telah melaju.
"Paman Marthin, cepat!" teriakku.
Paman Marthin akhirnya menemukan kunci mobilnya setelah merogoh-rogoh sakunya. Setelah ia memasukkan kuncinya, mobil segera menyala dan melaju. Aku agak sedikit lega, berharap bisa jauh-jauh dari gerombolan orang berpakaian hitam di belakang. Sayangnya peluru tak henti-hentinya ditembakkan.
Dari jendela, kulihat Paman San dan Yena mengeluarkan setengah badan mereka sambil menembak ke belakang dengan senapan, kelihatan tak takut sedikitpun kalau peluru musuh mengenai mereka. Tak lama kemudian, Yena dan Paman San masuk kembali, seolah mereka bertiga tengah membahas sesuatu di dalam mobil.
"Marthin, Marthin," talkie walkie Paman Marthin berbunyi, "Apa kau dengar?"
Talkie walkie Paman Marthin ada di dalam ranselnya, sedangkan Paman Marthin sedang sibuk menyetir gila-gilaan. Pelan-pelan aku meraih ransel Paman, lalu mengeluarkan talkie walkie dari dalam. "Halo" aku mencoba.
"Becky," kata suara dari seberang, "beritahu Marthin agar ke Siwa." Suara dari seberang tak terlalu jelas, tapi aku ngerti apa yang dikatakan.
"Paman Marthin, mereka bilang..."
"Aku tahu, aku dengar." Jawab Marthin pendek sambil sibuk menyetir.
Suara di seberang tak jelas, tapi kedengarannya suara wanita. Tak mungkin Venessa karena ia sibuk menyetir sama seperti Paman Marthin, berarti satu-satunya Cuma Yena.
"Yena, Paman Marthin bilang ia tahu."
"Oke." Balasnya dari seberang.
"Andrew, Becky, duduk baik-baik!" perintah Paman Marthin.
Aku dan And naik duduk di atas kursi menuruti perintah Paman Marthin. Mendadak Paman Marthin banting setir, ia berbelok 90o ke arah timur. Di belakang Venessa juga sama, dan kedua mobil melaju pesat. Mobil-mobil di belakang telah berhenti menembaki kami, mungkin mereka sadar kalau itu sia-sia.
Tak lama kemudian di depan kami tampak sebuah perkampungan kuno. Kedua mobil kami berhenti di depan gerbang masuk, lalu Paman Marthin menyuruh kami turun. Kami semua tergesa-gesa membawa ransel lalu lari masuk ke dalam kampung. Orang-orang di kampung kebingungan melihat kami yang memang menarik perhatian. Aku terus mengikuti yang lainnya berlari, tapi sialnya aku yang paling lambat diantara semua. Memang kuakui, olahragaku paling jelek. Di sekolah, saat lari aku yang paling terakhir sampai, dribble basket aku yang paling tak bisa, dan di segala macam cabang olahraga aku yang paling parah. Tapi aku sungguh tak menyangka kemampuan olahragaku dibutuhkan disini.
Orang-orang kampung mendadak berteriak, berlarian, diikuti suara tembakan. Begitu aku menoleh ke belakang, ternyata orang-orang itu sudah sampai. Suasana kampung kacau. Bahkan beberapa orang menabrakku, membuatku makin tertinggal di belakang. Sekarang aku malah kehilangan jejak And dan yang lainnya.
Aku terpisah.