Bagiku, berkemas-kemas mendadak itu nggak sulit. Soalnya, semua barang yang kubawa belum sempat kukeluarkan sebelumnya. Jadi, aku hanya tinggal mengeluarkan sebagian barang yang tak bakal diperlukan nantinya. Begitu saja. Gampang kan?
Malamnya, aku tak menyangka bakal makan malam makanan instan. Kata Ibu, disini tak bisa banyak pilih-pilih. Dilihat juga tahu sih, tak mungkin bisa makan enak di tempat seperti ini. Aku dan And tak komplen atau kecewa dengan makan malamnya, hanya saja rasanya aneh.
Sampai larut malam, semua orang tak beristirahat. Ruang utama masih sesibuk saat siang tadi, mungkin bagi mata-mata tak ada yang namanya istirahat malam? Aku tak enak hati kalau naik dulu ke kamar, aku dan And bertahan sampai hampir tengah malam. Ketika Ibu menyuruh kami beristirahat lebih dulu, aku tak pikir dua kali lagi langsung naik ke atas. Begitu juga And.
Kasur sekeras papan pun terasa seperti kasur empuk yang terbuat dari kapas. Aku benar-benar tidur sampai tak tahu apa-apa. Padahal, aku sudah men-set alarm HP jam 3, tapi aku mendengar hp ku berbunyi sedikitpun. Bahkan Ibu sampai masuk ke kamar dan membangunkanku dengan susah payah. Aku bangun dengan kepala pening, kantung mata menghitam dan otak yang belum siap berpikir. Aku kacau balau.
Ibu membantuku mempersiapkan segala macam hal, meski ia terus geleng-geleng kepala melihatku. Akhirnya, aku siap setelah telat 15 menit. Ternyata, And juga sama telatnya denganku. Aku dan And turun dengan agak malu-malu, apalagi semua anggota tim sudah menunggu. Begitu kami turun, semua langsung berjalan keluar, naik ke atas pesawat yang sama kerennya dengan yang pertama kali kami naiki.
Ayah datang mencariku dan And, berpesan agar kami berhati-hati dan semacamnya. Begitu aku melihat Ayah muncul, aku baru ingat kalau aku belum pamit dengan Ayah. Ah, aku tak bohong kalau pagi ini aku kacau balau. Ayah bahkan memberikan kami masing-masing sebuah GPS. Jadi, mereka bisa melacak keberadaan kami sewaktu-waktu.
Sesudah Ayah turun, tanpa banyak basa-basi Paman Sam langsung menyalakan mesin pesawat dan terbang dengan mulus. Sesaat aku sempat merasa homesick, meninggalkan Ayahku di lapangan bawah sana.
**
Perjalanan dengan pesawat keren memang beda rasanya. Sayangnya, aku tak henti-hentinya menguap. Kami semua juga sibuk dengan kegiatan kami sendiri, tak ada yang ngobrol. Kuperhatikan Paman Marthin duduk di samping Paman Sam sambil memejamkan matanya, mungkin sedang tidur? Paman San duduk santai sambil membaca-baca majalah, seolah ia sedang liburan. Venessa sedang sibuk dengan laptopnya, Yena sedang sibuk memberi tanda pada selembar peta besar di atas meja.
Hanya suara halus mesin yang menghiasi perjalanan kami, dan sesekali laporan via radio sang pilot. Suasana seperti ini, sangat mendukung untuk tidur. Kulirik Andrew sekilas, ternyata ia sudah lebih dulu tertidur pulas di atas kursinya. Maka aku pun tak segan-segan lagi memejamkan mataku, lalu masuk dalam mimpi.
Aku bangun saat ada yang memanggil namaku pelan-pelan dan bahuku digoncangkan sedikit. Untuk sesaat aku tak tahu aku sedang ada dimana dan siapa wajah orang asing yang berdiri di sampingku ini. Namun hanya dalam waktu sedetik, semua ingatan melesat masuk dalam pikiranku.
"Yena", sapaku lemah. Aku masih belum mengumpulkan tenaga.
"Nah nah, bangun, Becky. Kita sudah hampir sampai", katanya lembut.
"He-eh", jawabku sambil mengangguk-angguk.
Kulihat keluar jendela, langit masih juga gelap gulita. Lah, memangnya berapa lama kami terbang?
"Becky, ke sini", panggil Paman Marthin.
Aku baru sadar kalau semua orang sedang berkumpul mengelilingi meja di tengah pesawat. Aku bangkit dari kursi dan dengan terburu-buru berjalan ke arah mereka.
" Sebelum turun, aku mau ulang sekali lagi tentang rencana kita. Begitu turun, kita akan naik jeep dan sampai ke oase dalam waktu dua setengah jam. Kusarankan kita semua berhati-hati karena kita tak tahu ada apa sebenarnya disana." Pesan Paman Marthin.
Setelah semua orang mengangguk-angguk setuju, Paman Marthin membubarkan kami dan segera bersiap-siap turun. Pintu membuka tak lama kemudian, dan ternyata diluar gelap gulita. Untungnya ada lampu pesawat dan sinar lampu dari dua buah jeep di bawah yang sudah menunggu. Begitu melangkah keluar dari pesawat, langsung terasa udara dingin menusuk. Aku keluar sambil menggigil di tengah kegelapan, menaiki jeep. Aku dan And ikut.
Paman Marthin naik jeep pertama, sedangkan Yena, Venessa dan Paman San naik jeep kedua. Paman Sam langsung terbang kembali ke markas begitu kami turun, melesat dengan cepat.
"Thanks bro. Kalian sudah menunggu lama?" kata Paman Marthin pada sang supir yang telah mengantarkan jeep.
"Haha, tak perlu berterima kasih begitu. Kami tak menunggu lama, bahkan ketika pesawat kalian sudah melandas, kami baru sampai. Hah, aku masih mengira kami bakalan telat." Jawab sang sopir.
Aku tak melihat jelas orang ini bagaimana tampangnya, tapi sekilas tadi kulihat ia adalah seorang Afrika asli yang kurus kerempeng.
"Sekarang disini jam berapa, Pak ?" Tanya And.
"Ha? Disini...sekarang hampir jam 4 pagi." Jawab si supir.
"Apa? Sekarang disini hari Rabu kan?" Tanya And dengan nada agak heboh.
"Yes, sekarang hari Rabu hampir jam 4 dini hari." Tegas sang supir.
"Tadi kami berangkat jam 4.30, sampai disini baru jam 4!", kata Andrew, "bisa-bisa jetlag."
"Masa begitu saja jetlag." Komentar si sopir.
"Kalau begitu kami berangkat dulu." Sela Paman Marthin. Sedari tadi aku, And, dan Paman Marthin sudah duduk rapi di atas mobil. Paman Marthin sebagai penyetirnya.
"Oke sip. Semoga sukses." Pamit si supir.
Mobil kami pun melaju meninggalkan dua orang supir di tengah kegelapan. "Lah, pak supir tak ikut? Lalu mereka bagaimana di sana?" Tanya And.
"Mereka masih punya urusan." Jawab Paman Marthin santai.
"Becky mana? Sedari tadi aku tak dengar suaranya?" Tanya Paman Marthin mendadak.
"Akku diisini, Pam-man." Jawabku dengan suara agak bergetar yang kutahan-tahan.
"Ah, apa kau ok?" tanyanya.
"Okkeh-h." Jawabku lagi-lagi dengan suara bergetar.
Paman Marthin membalikkan badannya dan menangkap basah kalau aku tengah menggigil. "Ddi-nginn."aku mengakui.
Paman Marthin mengambil sesuatu di bawah kursinya. Paman Marthin menurutinya, ternyata barangnya adalah karpet.
"Bisa kau pakai."
Aku pun menerima tanpa komplen atau berkomentar apapun, malah amat berterima kasih. Karpetnya masih baru dan bersih, terbuat dari bulu dan berhiaskan gambar matahari besar. Aku merasa jauh lebih hangat dengan karpet ini, sungguh sebuah penolong.
Aku sungguh heran melihat cowok-cowok di mobil ini, tak ada yang kedinginan juga kah? Kalau kuingat-ingat, Paman Marthin, ia memakai jaket kulit besar miliknya yang agak kotor. Jelas saja ia tak kedinginan. Kalau Andrew, seingatku ia cuma pakai jaket biasa, apa ia anti dingin ya?
"Mau juga?" kubisikkan tawaran karpet ini padanya.
"Boleh." Jawabnya pelan, lalu cepat-cepat menarik karpet ini sehingga terlentang menutupinya juga.
Mobil kedua berada beberapa meter di belakang sebelah kiri mobil kami. Dalam kesunyian, mobil kami meninggalkan pasir debu yang berterbangan terkena roda mobil di belakang kami.