Kata orang kalau kita ngomongin orang yang udah mati, dia dengerin kita ngobrol.
***
Sandi mendatangi rumah Imron. Sandi hanya memastikan Imron baik-baik saja setelah kematian Vega. Sandi khawatir Imron frustrasi karena Sandi tahu Imron dan Vega berteman baik dari dulu. Sandi mengetuk pintu dan membalikkan badan. Tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Apa tidak ada orang di rumah? pikir Sandi. Sekali lagi, Sandi mengetuk pintu lagi dengan sedikit keras. Beberapa menit kemudian, ada seseorang yang membukakan pintu. Ternyata Imron. Sandi melihat raut wajah Imron terlihat baik-baik saja. Mungkin Imron sudah mengikhlaskan kepergian sahabatnya itu. Ya, mau tidak mau pasti Imron harus ikhlas , bagaimanapun kematian merupakan takdir yang tidak dapat ditawar.
"Lo ngapain, sih, buka lamanya lama banget?" tanya Sandi, melihat dalam rumah Imron. "Duduk sini aja, ya?" Sandi segera duduk di kursi rotan yang berada di teras rumah Imron. Imron segera mengikuti Sandi, duduk di sebelahnya.
"Ada apa lo ke sini?" tanya Imron, aneh.
"Kok lo bilangnya gitu? Ya, gue cuma mastiin aja kalau lo baik-baik aja."
"Maksud lo gue mendadak gila?" Imron seperti tidak terima dengan perkataan Sandi. Bagi Imron perkataan Sandi salah. Seharusnya cowok itu tidak berkata demi kian.
"Gue paham lo baru kehilangan sahabat lo, ya, sahabat gue juga. Maksud gue, lo udah nggak sedih lagi." Sandi meralat perkataannya, takut terjadi salah sangka.
Imron hanya mengangguk.
"Itu kejadiannya gimana, sih? tanya Sandi.
"Gue mau cerita, tapi janji lo bisa jaga rahasia gue?"
"Iya. Coba lo cerita kejadian yang sebenarnya."
Imron menghela napas panjang. Cowok itu bersiap-siap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Imron yakin , Sandi tidak akan membeberkan kejadian sebenarnya kepada siapapun, termasuk keluarga Vega. Imron menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Sandi yang mendengar cerita Imron panjang dan lebar ikut miris sendiri. Apalagi saat Imron bercerita kondisi wajah Vega yang rusak parah, spontan membuat Sandi bergidik ngeri.
"Berhenti cerita, Ron! Plis," kata Sandi. "Gue ngeri. Tolong jangan dilanjutin. Kata orang kalau kita ngomongin orang yang udah mati, dia dengerin kita ngobrol, loh."
Imron menabok lengan Sandi dengan keras. "Itu mitos, percaya aja lo."
"Gue serius!" Sandi mengangkat bahunya acuh. Entah kenapa bulu kuduk Sandi mendadak berdiri. Sandi menatap gorden yang tepat di depannya duduk. Sekelebat bayangan muncul dan berlalu begitu cepat.
"Gue bilang apa, Ron!" Sandi menutup mata dengan kedua tangan.
Imron menaikkan sebelah alis. "Lo apaan, sih? Penakut banget!"
"Di gorden ada bayangan baru aja lewat, Bro."
Imron langsung menengok ke arah gorden. Tidak ada apa-apa di sana. Imron berpikir Sandi hanya parno, jadi temannya itu melihat hal yang sebenarnya tidak ada.
"Lo kebanyakan nonton film horor." Imron tertawa terbahak-bahak.
"Gue pulang aja, rumah lo banyak setannya." Sandi berdiri dan berpamitan pada Imron. Lalu berlalu menggunakan motornya.
"Dasar penakut," ledek Imron kemudian masuk ke dalam rumah.
****
Sandi terlelap dalam tidur. Sesaat kemudian, dia terbangun. Ada perasaan tidak enak pada aura di kamarnya. Sandi mengusap tengkuknya, ada perasaan merinding yang entah itu apa. Sandi menelan ludah dan cowok itu turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu kamar.
Sandi mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Tidak ada apa-apa, tetapi perasaan takutnya masih ada. Seketika ada suara dari kolong tempat tidur. Sandi ingin tahu ada apa di bawah kolong tempat tidurnya pun berjongkok dan Sandi kaget bukan main melihat penampakan wajah setengah rusak di kolong tempat tidurnya. Sandi berlari cepat keluar kamar dengan napas terengah-engah sambil berkata. "Demit. Eh setan. Ahh.... sama saja!" pikiran Sandi benar-benar kacau. Sandi sudah sampai ke lantai dasar. Napasnya masih terengah-engah.
"Masak di rumah gue ada setan. Jangan-jangan itu setannya Vega lagi. Tadi siang gue sama Imron ngomongin dia," kata Sandi.
Napas Sandi seolah berhenti saat penampakan wajah setengah rusak itu ada di depannya. Penampakan itu berjalan ke arah Sandi dan penampakan itu berkata. " Pembunuh, pembunuh. Harus mati!"
Sandi tidak bisa berkutik sama sekali. Pikirannya buntu. Sandi hanya bisa berteriak kencang dan entah apa yang terjadi Sandi pingsan tidak sadarkan diri.