Aku menyewa sebuah rumah sederhana untuk tempat persembunyianku. Hanya ada satu kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi. Sangat mini bukan? Rumah ini setara dengan kamarku di mansion.
Rumah sewa ku ini berada di tempat terpencil, jauh dari keramaian dan pastinya tersembunyi. Aku sengaja memilih tempat ini, karna akan memudahkanku saat melakukan pergerakam misi.
Aku mendapat kabar jika kelompok kecil anak buah mafia londerson ini berada di desa ini, karna itulah aku memilih tempat ini. Untuk saat ini aku akan beristirahat sebentar, nanti malam aku akan memulai penyelidikkanku di Club rainbow.
.
.
.
.
.
Malam hari pun tiba, aku sudah mempersiapkan diri dengan peralatan dan pakaian yang aku pakai saat ini. Aku memakai dress yang sedikit longkar selutut berwarna merah, dengan bagian bawah sedikit mengembang.
Pilihan baju yang ku pakai ini untuk mempermudahku menyamar, dan tentu saja wig pendek hitam agar terkesan seksi. Kalian pasti berpikir, kenapa kau jadi ingin terlihat fenimin Kisha?
Asal kalian tau, di balik dress ku ini adalah pistol dengan peluru 3 cm. Dan di balik wig ini adalah jarum beracun yang sudah ku modif menjadi jepitan rambut yang terlihat biasa. Dan tentu saja tas kecil penuh lipatan ini adalah tongkat panjang yang di bentuk menjadi sebuah tas, keren bukan?
Aku memperhatikan penampilanku dalam pantulan kaca, benar-benar bodoh. Sebenarnya aku sangat tidak suka berpakaian seperti ini, tapi demi mongorek informasi aku rela berias seperti pelacur.
Tanpa berlama-lama aku melangkah kaki menaiki taksi yang sudah ku pesan sebelumnya. Kenapa tidak naik mobil sendiri? Aku sedang tidak mood menyetir, dan tentu saja agar tidak di curigai oleh warga sekitar.
20 menit kemudian aku sampai di depan club rainbow yang terlihat ramai dan tentu saja berisik. Dengan malas aku masuk ke dalam kumpulan orang-orang menjijikan itu dan berbaur dengan mereka.
Aku duduk di meja bertender dan memesan segelas air putih dingin, kenapa? Karna aku tidak suka alkohol, dan membencinya. Aku meminum air putih itu sambil memperhatikan segerombol orang yang sedang asik menari di tengah club.
"hai cantik, sendirian aja" ucap seorang pria yang cukup dewasa saat datang menghampiriku.
Aku meliriknya sekilas lalu kembali memperhatika orang-orang bodoh itu.
"sombong sekali, ayolah bermain denganku. Kau terlihat sangat indah, siapa namamu cantik?" ucap pria itu lagi mulai menggoda.
"apa itu penting?" balasku dingin.
"wow, tentu saja sayang. Kenalkan aku Louis" jawab pria itu percaya diri sambil mengulurkan tangannya.
"memangnya siapa anda? Sehingga saya harus memperkenalkan diri." balasku menyindirnya.
Jujur saja aku muak melihatnya, apalagi tingkah bodohnya itu. Siapa juga yang mau mengenalnya, sudah di pastikan bahwa dia itu seorang player.
"oh kau tidak tau siapa aku? Tidak mungkin, semua orang disini tau siapa aku." tukas pria bernama Louis itu tidak percaya.
Aku mengernyit mendengar ucapannya, memang seterkenal apa si dia? Toh aku memang tidak mengenalnya kan?
"maaf ya tuan, tapi saya memang tidak mengenal anda." jelasku tegas.
Lama-lama malas juga aku meladeninya, lebih baik aku pergi saja. Toh nyatanya tidak ada perkumpulan apapun tuh di tempat ini, namun saat akan beranjak langkahku terhenti mendengar ucapan pria itu.
"cih, dasar jalang. Aku Louis Rastera, ketua kelompok Londerson di daerah sini. Ingat itu nona! Jangan sampai kau membuatku marah lagi, atau hidupmu berakhir disini." jelas Louis dengan wajah kesalnya.
Tepat, bukankah aku sedang mencari antek-antek Londerson? Ternyata tidak perlu mencari kesana-kemari, karna nyatanya dia malah datang sendiri menghampiriku.
"oh jadi kelompok itu memang ada? Aku pikir itu hanya omong kosong saja." balasku menantang.
Senyuman miringku tampilkan, wajah kesalnya membuatku ingin tertawa saat itu juga. Namun aku harus menahannya sampai aku mendapatkan informasi darinya, tentang inti mafia Londerson.
"dasar jalang, berani sekali kau merendahkan kelompok Londerson. Apa kau cari mati?!!!" kecam Louis dengan wajah sangarnya, bahkan kini semua orang sedang menatapku dengan pandangan merendahkan.
"maaf saja tuan Louis yang terhormat, aku kan memang tidak mengenal kalian. Dan aku juga baru tau jika kelompok Londersonmu itu memang ada, lalu apa itu salahku karna tidak mengetahuinya?" pangkasku menuntut, membuatnya bungkam.
"cih, mulai sekarang kami akan mengawasimu. Jangan berbicara sembarangan lagi, atau kami akan membunuhmu!" kecam Louis lalu pergi meninggalkanku.
Hari ini aku memang kurang beruntung, tidak mendapatkan informasi apapun tentang inti Londerson. Tapi setidaknya aku tau salah satu di antara mereka, sepertinya aku harus merayunya untuk membongkar info itu.
Aku keluar dari club itu dan kembali ke rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Pantas saja aku begitu lelah dan mengantuk, lebih baik aku beristirahat dulu.
.
.
.
.
.
'hmm..' lengkuhku, aku mengerjabkan mata dan terbangun. Suasana kamar ini berubah, terasa lebih segar dan terang. Aku bangkit dari kasur dan membuka jendela kayu yang masih tertutup.
Udara pagi pun berlomba-lomba masuk ke dalam kamarku, menggantikan udara lama yang sudah kotor. Kamarku pun terasa lebih hangat dan segar.
Aku melangkah menuju dapur kecil yang ada di rumah ini, mencari bahan makanan yang bisa mengisi perutku pagi ini. Kulkas 1 pintu itu terbuka, hanya telur, susu, dan roti saja yang ada disana.
"aku akan buat nasi goreng saja deh" putusku akhirnya.
Aku memotong beberapa bahan, dan mengambil semangkuk nasi. Ku tumis bumbu lalu membuat telur orak arik, dan terakhir mencampurkan nasinya dan di tambah sedikit kecap, serta garam. Nasi goreng pun siap, setelahnya aku menuangkan segelas air putih untuk pelengkapnya.
Aku pun menyantap nasi goreng itu, dan menghabiskannya. Lalu mencuci peralatan masak yang tadi ku pakai, dan merapikannya kembali.
Bersantai adalah hal yang sekarang aku lakukan, karna tidak ada lagi pekerjaan yang harus aku lakukan. Mungkin nanti aku akan berjalan-jalan sebentar keliling daerah ini, sambil membeli bahan makanan yang sudah habis.
Udara tempat ini memang masih segar, karna banyak pepohonan yang di tanam. Setelah memakai pakaian santaiku, aku pergi berkeliling. Tidak banyak aktifitas lain, selain berjalan dan membersihkan rumah.
Aku menghirup dalam suasana tenang ini, sambil memejamkan mataku menghayati rasa segar udara yang mengalir ke tubuhku. Setelah merasa lebih baik, aku kembali membuka mataku dan melanjutkan perjalanan.
Daerah pinggiran seperti ini memang jauh dari kata baik-baik saja, namun kehidupan disini lebih baik dari pada di kota. Warga yang antusias, dan berkelompok serta saling perduli begitu kompak menjaga lingkungan mereka agar tetap indah dan segar.
Terkadang aku berpikir, kenapa orang kota berbeda dengan orang pinggiran? Padahal mereka sama-sama berasal dari desa, walau berbeda tempat. Namun jawabannya sudah pasti 'tergantung pada individunya'.
.
.
.
.
.