Malam itu makan malam di kediaman keluarga Calvin berjalan cukup lancar. Harmonie, adik perempuan Richard menyambutnya dengan sama hangatnya dengan Meisya. Harmonie dua tahun lebih tua darinya, tapi gadis itu memandangnya dengan penuh hormat sebagai adik ipar.
Sedangkan Stanley… pria itu tidak banyak bicara, namun juga tidak bersikap dingin terhadapnya. Malahan, dia merasa ayah mertuanya agak menjaga jarak dengannya.
Apakah mungkin Stanley mengetahui identitasnya yang sebenarnya? Kalau iya, tidak heran pria itu agak memasang aura intimidasi yang tak kentara.
Bagi orang biasa seperti Meisya dan Harmonie, mereka tidak mungkin bisa merasakan aura dingin yang mengintimidasi dari Stanley, namun Richard serta Anxia bisa merasakannya.
Sebenarnya Anxia tidak terlalu peduli dan dia juga tidak merasa takut. Hanya saja, saat tangan Richard menyusup ke bawah meja hanya untuk menggenggam tangan diatas pangkuannya, entah kenapa Anxia merasa kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Anxia memejamkan matanya dan menempis perasaan hangat didalam hatinya. Dia tidak boleh lengah. Dia juga harus memikirkan keselamatan ibunya. Dia tidak akan bisa tidur tenang kalau dia belum mengetahui pasti kondisi ibunya di Frankfurt.
Ugh! Dia harus memikirkan cara untuk menghubungi Ling Meng tanpa ketahuan untuk mendiskusikan rencana mereka lebih lanjut.
Anxia menarik tangannya yang digenggam Richard dengan kasar lalu segera mengangkat tangannya dan membawanya ke atas meja. Dengan begitu, Richard tidak akan memiliki alasan untuk menggenggam tangannya.
"Papa, kapan kita akan berkeliling kota Gierthoon?"
"Besok pagi." jawab Richard dengan senyuman lebar lalu melirik ke arah istrinya. "Kuharap kau akan menyukainya."
"Aku juga ikut?"
"Tentu saja. Apa gunanya aku berkeliling tanpa istriku, rasanya tidak akan lengkap." Richard menjawabnya dengan nada merayu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Mendengar nada rayuan dari putranya, rasanya Stanley ingin muntah darah. Apa-apaan ini? Kenapa putranya berusaha merayu seorang asasin?!
"Richard. Setelah ini datang ke ruanganku. Aku ingin bicara denganmu."
Richard menghela napas panjang menyadari percakapannya dengan ayahnya akan sangat melelahkan otaknya.
"Baiklah."
Stanley bangkit berdiri lalu mengecup kening istrinya sebelum beranjak menuju ke ruangan kerjanya.
Walaupun hanya tindakan sepele, tapi adegan itu cukup membuat seorang Anxia merasa tersentuh.
Dia ingat di beberapa kali pertemuannya dengan Raymond bersama Michele, Raymond juga memperlakukan Michele dengan kehangatan yang sama. Karena hal inilah Anxia berencana merebut Raymond dan merusak kebahagiaan pasangan tersebut.
Awalnya dia berpikir hanya Raymond seorang yang sanggup bersikap hangat serta penuh kasih tanpa ia ketahui bahwa seluruh keluarga Calvin juga memperlakukan satu sama lain dengan penuh kasih.
Sungguh keluarga yang harmonis sekali. Pikir Anxia dengan sedih karena keluarga yang dulu pernah ia miliki tidak akan pernah kembali.
***
Anxia diajak Meisya serta Lori pergi ke belakang yang mana membuat Anxia terkejut. Rumah ini memang tidak tampak begitu besar dari luar, tapi ternyata bangunan ini memanjang ke belakang. Bahkan ada alur perairan kanal dan beberapa boat yang terparkir di belakang rumah kita.
"Oma bilang, besok kita akan naik perahu itu untuk berkeliling kota." seru Lori dengan gembira.
Oma?
"Nyonya, apakah mungkin Richard sudah memberi tahu Lori kalau…"
"Kurasa belum. Tapi anak ini sangat pintar, kurasa dia sudah menduganya sendiri."
Anxia tidak menjawabnya dan mengerling ke arah putrinya yang saat ini memandangi bunga cantik yang menghiasi pelataran belakang rumah.
"Xia Xia, kenapa kau masih memanggilku Nyonya? Kau adalah putriku sekarang. Aku lebih suka kalau kau memanggilku mama."
"Baiklah." Anxia hanya memberi jawaban singkat tanpa memanggil sebutan 'mama' pada Meisya.
Seharusnya dia bisa memanggil wanita baik ini dengan sebutan 'mama', lagipula dia hanya perlu sandiwara saja. Dia menikah dengan Richard bukan berdasarkan cinta, tapi karena pria itu yang mengancamnya dengan menggunakan putrinya. Dia bisa saja bersandiwara dan menjadi menantu yang baik, toh dia akan segera pergi dari tempat ini.
Tapi, entah kenapa dia tidak bisa mengeraskan hatinya untuk bersandiwara. Entah kenapa hatinya akan terikat dengan keluarga ini jika dia membiarkan dirinya memanggil wanita ini dengan sebutan 'mama'.
"Mama! Apa kau sudah melihat foto papa waktu masih kecil? Papa sangat lucu sekali!"
Anxia terpaku pada tempatnya sama sekali tidak mengerti apa yang membuat putrinya berpikir bahwa dia ingin melihat foto Richard.
Anxia sama sekali tidak tahu bahwa saat ini Lori sedang menjalankan misi utama yang sangat penting dalam kehidupannya. Yaitu membuat mama dan papanya saling jatuh cinta.
Meskipun Lori sedari tadi tampak sedang menikmati bunga-bunga cantik, tapi telinganya selalu fokus mendengarkan pembicaraan antara dua wanita dibelakangnya. Dalam hati, Lori berbunga-bunga karena omanya langsung menyayangi ibunya, tapi hatinya langsung kecewa saat dia merasakan ibunya masih merasa enggan menerima keluarga ayahnya sebagai keluarga ibunya.
Itu sebabnya, Lori langsung mengusulkan untuk melihat kembali foto-foto ayahnya sewaktu masih muda dulu. Lori sudah melihat itu semua tadi siang sambil menunggu kedatangan ayah tampannya.
Dia memang tidak tahu bahwa Richard adalah ayah kandungnya dan mereka semua mengharapkan Anxia yang memberitahunya sendiri. Walaupun Lori tidak tahu, tapi dia telah memantapkan hatinya untuk menjadikan Richard sebagai ayahnya.
Lori sangat menyukai Richard dan keluarga ini. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan jackpot disaat dia hendak dibawa oleh orang asing. Dia bertemu calon ayah tampan, dia juga memiliki bibi yang super menyenangkan serta opa dan oma yang memanjakannya.
Mana mungkin dia akan melepaskan hadiah jackpot ini yang merangkap semua hal yang diidamkannya?
"Ah, itu benar. Ayo, masuk ke dalam. Aku akan menunjukkan foto-foto Richard."
"Tidak perlu…" Anxia ingin menolaknya karena dia tidak ingin mengetahui lebih dalam soal kehidupan pribadi Richard. Namun kalimatnya terpotong saat Meisya serta Lori menarik kedua tangannya masuk ke dalam membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Anxia merasa frustrasi sekali karena semua ini diluar perkiraannya. Dia adalah pembunuh professional dan tidak pernah sekalipun dia kehabisan ide untuk berhadapan dengan orang lain. Apalagi disaat dia hendak membunuh targetnya, terkadang dia bermain-main seperti memberikan harapan pada targetnya, padahal sebenarnya Anxia tidak pernah melepaskan targetnya hidup-hidup begitu tertangkap.
Tapi kini, dia sama sekali tidak bisa bertindak ataupun membantah. Entah kenapa disaat melihat wajah keibuan yang memancarkan penuh dengan kasih pada ibu mertuanya, lidahnya terasa kelu dan tubuhnya tidak mau mendengarkan otaknya dan mengikuti apapun yang diinginkan Meisya.
Wanita tua yang baik hati tersebut mendudukkan Anxia di sofa yang lembut sementara Lori duduk di atas pangkuannya dengan ceria. Tidak lama kemudian Meisya membawa dua album besar serta tiga album kecil lalu meletakkan salah satunya ke pangkuan Anxia setelah membukanya.
Sepasang mata hitam Anxia tertarik pada dua bayi kecil yang tidur berdampingan membuat napasnya tercekat. Wajah kedua bayi tersebut hampir mirip dengan wajah Lori ketika baru lahir. Rambut coklat gelap serta kulit putih yang bersih, bentuk wajah serta cara mulutnya yang sedikit terbuka saat tertidur… semuanya seperti yang diingatnya saat mengagumi kecantikan bayi kecilnya.
Rambut Lori sewaktu baru lahir bewarna coklat gelap, baru akhir-akhir ini saja warnanya berubah menjadi terang dan menjadi pirang keemasan.
Ternyata… kecantikan putrinya serta bentuk wajah dan bentuk alis yang sempurna diwariskan dari ayahnya.
Tanpa ia sadari, Anxia mengulas senyum tipis dan pandangannya melembut melihat foto bayi Richard.
Apakah hatinya mulai luluh hanya karena melihat foto-foto masa kecil suaminya?
Hanya author yang tahu
Readers:ヽ( ̄д ̄;)ノ