Pagi ini tak ada yang spesial. Tapi, setiap pikiranku menyusuri jejak semalam, ada sedikit gemuruh di dadaku. Masih sepi. Belum banyak siswa berlalu lalang. Hanya ada beberapa, yang keluar masuk kelas, duduk di halaman, atau sekedar bercakap. Anganku melampaui. Lagi.
"Sa, ditunggu pangeran mu, itu."
Aku mengangkat kedua alisku, "Siapa emang?"
"Itu lho, udah berdiri di depan kelas." Dini, namanya. di sebelahnya ada dua anak lagi yang menahan tawa.
"Mbok dilirik Sa, kok malah diem?" Putri, si kecil berlesung pipi itu menunjuk menggunakan dagu nya. Selepasnya mereka terbahak.
Aku mengalihkan pandangan, disana ada anak laki laki yang berdiri didepan kelasku dan kelas nya.
"Ngapain kamu disitu? Kurang kerjaan." Aku mencibirnya.
"Sa, kamu suka sama siapa?"
Aku mengerutkan kening. Maksudnya apa? Ini masih pagi, anak itu malah memberiku pertanyaan yang tak penting. "Lah, urusan nya sama kamu apa?"
Dan mulai saat itu. Setiap pagi, aku menemukan matanya yang selalu mengintaiku dari jauh. Menodong pertanyaan yang sama, seolah itu adalah hal wajib yang perlu diketahui jawabannya.
Namun tanpa sadar, aku terbiasa. Menantinya bertanya. Menunggunya menatapku mencari jawaban.
Padahal, jawabannya adalah;
.
.
.
yang memberiku pertanyaan.