Chereads / Verstehen (Philosophie Der Liebe) / Chapter 5 - Cinta Monyet

Chapter 5 - Cinta Monyet

Selasa, 25 Agustus 2012

Seperti pada umumnya ketika detik-detik menjelang ujian nasional dilaksanakan, sekolah akan fokus untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pembelajaran pada siswa. Pada waktu itu semua siswa sibuk untuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional. Aku dan Raisa saling memberikan semangat satu sama lain.

"Semangat, Rama!" Gadis itu memberikanku semangat seraya menepuk pundakku.

"Eh...iya Sa. Kamu juga semangat ya," Kataku padanya sambil menatapnya.

Gadis itu juga menatapku, hingga pada akhirnya kami berdua saling bertatapan. Aku merasakan sesuatu di dalam dadaku, seperti jantungku berdetak lebih kencang. Aku hanyut dalam lamunanku.

Apa ini? Aku tidak mengerti

Kami hanyut dalam imajinasi masing-masing. Saling bertatapan, dan tanpa sadar teman-teman kami sudah berada di dekat kami sambil tertawa.

"Ciee...cieee Rama sama Raisa." Teriak salah seorang teman kami.

"Eh...anu, kita cuma lagi ngobrolin tentang persiapan UN kok." Kata Raisa gugup.

"Masa sih? Keliatannya mesra gitu kok." Kata Sarah sambil tersenyum. Kami berdua hanya saling menatap satu sama lain sambil tersenyum malu. Tiba-tiba Raisa berbisik di telingaku.

Temui aku di taman sehabis pulang sekolah, Rama.

***

Angin berhembus pelan menerbangkan dedaunan yang berguguran dari pepohonan yang asik bergoyang terkena hembusan angin. Diatasnya ada banyak sarang burung kenari yang asik menjaga anak-anaknya. Mereka terlihat harmonis saling menjaga satu sama lain. Seolah-olah hanya merekalah satu-satunya sekumpulan burung kenari yang bahagia. Dari kejauhan aku melihat seorang anak perempuan tengah asik bermain ayunan. Rambut panjangnya ikut berayun seiring dengan gerakan ayunan. Seketika aku tahu bahwa itu adalah Raisa Anggraeni. Aku berjalan menemuinya, sesuai dengan janjiku hari ini untuk berbicara dengannya.

"Hai...." Aku menyapa anak itu, kemudian duduk bersamanya di ayunan yang sama.

"Ada apa Sa? Kamu mau ngomongin tentang apa?"

Anak itu hening tanpa suara, seraya menatap kosong ke arahku dengan tatapan penuh harap. Aku juga menatapnya dengan tatapan penasaran. Entah kenapa jantungku mulai berdetak kencang. Sama seperti ketika ia menatapku pada saat di depan kelas tadi. Angin berhembus sayup-sayup menerbangkan dedaunan yang berguguran. Raisa memegang tanganku, ia menggengam erat jermariku. Aku hanya tersenyum menatapnya. Ia mulai bersuara.

"Ram, aku mau jujur sama kamu." Anak itu menatapku dengan senyuman yang tersungging di bibir manisnya.

"Kamu tau? Sebenarnya aku sudah lama menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu." Ia melanjutkan, sementara aku masih duduk terdiam tak tahu apa yang akan aku katakan padanya.

"Aaa..ku, gak tau mau ngomong apa Sa." Ujarku sambil melepas genggaman tangannya.

"Tapi Ram, aku pikir kamu juga menyukaiku." Matanya berkaca-kaca, masih menatapku dalam.

"Ehm...enggak Sa, a-aku gak suka sama kamu. Aku cuma mau jadi teman kamu aja, gak lebih Sa."

Aku berusaha menjelasakan perasaanku padanya. Meskipun sebenarnya aku merasakan hal yang berbeda ketika aku bersama Raisa. Tetapi, aku tidak mau mengakui perasaan itu. Entah kenapa hati ini terasa sakit ketika aku menoba mengelaknya. Anak itu terdiam, aku tahu bahwa dia kecewa dengan jawabanku. Matanya berkaca-kaca. Aku tahu ia sedih. Tetapi apalah dayaku yang tak bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya yang ingin aku ungkapkan.

Belum sempat aku melanjutkan bicaraku, tiba-tiba anak itu berlari meninggalkanku. Aku berusaha menarik tangannya, tetapi tidak mendapatkannya. Seketika aku merasa bersalah telah membuatnya kecewa. Seharusnya aku menyatakan saja perasaan yang sebenarnya pada Raisa. Sungguh bodoh diriku ini. Beberapa hari kemudian setelah Raisa mengungkapkan perasaanya padaku, aku melihat Raisa dan Valen telah menjalin hubungan. Mereka terlihat mesra dan sangat dekat. Aku mendengar dari teman-teman bahwa mereka berdua telah pacaran dua hari yang lalu. Entah kenapa hati ini terasa sakit.