Chereads / Verstehen (Philosophie Der Liebe) / Chapter 3 - Back to Reality

Chapter 3 - Back to Reality

Pergantian semester tahun ini terasa berbeda bagiku. Sistem acak, sehingga aku belum tahu siapa saja teman-temanku. Sejujurnya Aku juga bukan siswi yang mempermasalahkan pergantian kelas seperti ini. Sehingga, bukan hal sulit untukku.

Koridor masih lenggang, aku berjalan perlahan memasuki kelas. Menatap kesana kemari sembari menelusuri bangku mana yang bisa ku singgahi. Aku menangkap satu bangku di deretan timur, menempel dengan tembok dan jendela di atasnya. Tanpa ragu , aku melangkah. Beradu dengan lantai yang rasanya, sedikit licin.

"Hai." sapaku pada seorang siswi yang duduk di sebelah bangku yang aku inginkan. Mungkin aku bisa menawarkan diri duduk dengannya.

"Ya?" ia mendongak menatapku. Seulas senyum kemudian terbit di wajahnya. "Mau duduk bareng?" tawarnya.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawabannya dan langsung menempati bangku itu, menaruh tasku di belakang punggung, lantas menatapnya.

"Raisa Anggraeni." kataku sambil mengulurkan tangan. Ia menjabat tanganku dengan yakin, "Alivia."

Lantas kami tertawa. Perkenalan yang biasa, namun ku harap ini menjadi awal yang bahagia.

"Permisi," Aku dan Via mendongak menatap seorang siswa yang menatap kami bergantian. "Boleh tukeran tempat duduk nggak?" aku menatap Via, menunggu jawabannya.

"Gapapa lah, mau nggak?" Via menyenggol lenganku.

"Biar pinter ya Vi." aku terkekeh pelan, Via hanya mencibirku.

Berakhirlah dengan aku dan Via yang duduk di bangku paling depan.

Tak apa lah, kalau temannya asik, duduk di manapun pasti bakal asik . Pikirku.

***

Hari ini hanya ada beberapa mata pelajaran yang semuanya akan berisi perkenalan. Kemarin sebelum pulang sekolah, kami berdiskusi untuk memilih pengurus kelas.

Kresna, first impressionku kepadanya tidak buruk. Ia terlihat sebagai pribadi yang welcome, baik, dan tampak pendiam. Selebihnya aku lupa. Karena aku nggak terpilih menjadi apa-apa jadi ya, perhatianku hanya setengah.

Ah, ya. Via terpilih menjadi bendahara. Sepertinya dia cocok, sebab wajahnya sedikit garang.

"Sa, mau bantuin aku nggak?" Via datang membawa beberapa kertas di tangannya.

"Apa?"

"Bantuin nulis nama siswa di kelas buat tagihan nanti."

"Please, ya Sa." Via menaik turunkan alisnya, sambil tangannya ia satukan di depan dada, "Hm, iya-iya."

Ia lantas duduk di sebelahku, "Ini nanti kamu bacain namanya terus aku tulis ulang di buku bendahara. Oke?" Aku mengambil kertas yang diajukan Via. Mataku menelusuri tiga puluh nama yang terpampang di hadapanku, sambil mengeja rentetan nama agar ditulis Via.

"Al-vi-an Put-ra-Pra-ta-ma." ejaku perlahan-lahan supaya Via bisa menulisnya dengan tepat.

"Eh, ini Alvian Putra Pratama yang mana Vi, bagus amat ya namanya." candaku kepada Via.

Kedua alis Via terangkat, "Muji sama ngejek sekarang beda tipis lho, Sa."

Aku terkekeh pelan, "Hehe,"

"Please deh Sa, di kelas kita cuma ada satu Alvian. Ya cuma Alvian Putra Pratama."

"Ya kan siapa tau ada Pratama yang lain." kataku tak mau kalah.

"Serah dah." Via lantas mendengus pelan.

***

Aku merebahkan tubuhku diatas kasur. Huh, pikiranku tiba-tiba melayang. Aku bergegas mengambil handphone di tasku. Berharap ada suatu kabar dari dia.

Aku menghela nafas. Sesak rasanya. Ada harapan yang menguap ketika dering handphone membawa pesan. Tapi kenyataannya, harus ku kubur kembali dan ku ulang keesokannya lagi. Begitu seterusnya.

Toh, apa dia akan mencari tahu nomor ku?

Ya, semuanya berawal dari canda. Anak itu tampak berbeda dari yang lainnya. Jadi, apa salahnya mengajaknya berkenalan? Lewat gangguan misalnya.

Aku menggigit bibir bawahku.

Rama, bagaimana harimu tanpa diriku? Apa tidak rindu?