Chapter 4 - Rama Pov

Aku mencoba mengorek ingatan masa laluku ketika bersamanya. Sungguh, semua ingatan ini membunuhku secara perlahan. Berhari-hari aku dihantui oleh perasaan ini, perasaan yang tak seharusnya hadir kembali selama tujuh tahun terpendam. Bahagia rasanya ketika mengingat kembali kedekatan kita ketika duduk di Sekolah Dasar. Orang bilang ini adalah 'cinta monyet', namun sungguh cinta monyet ini perlahan berkembang semakin jauh.

Saat itu aku masih duduk di kelas empat, pikiranku masih polos tanpa cinta dan tanpa wanita, yang aku pikirkan kala itu hanyalah bermain bersama teman sepulang sekolah. Namun semua itu berubah setelah seorang murid baru perempuan memperkenalkan diri di depan kelas sebagai "Raisa Anggraeni". Kulitnya coklat sawo matang, rambut sebahunya dihiasi bando berwarna orange, ia tak secantik namanya, tetapi cukup untuk membuat anak seusiaku menjadi terpesona. Anak itu berjalan melewati tempat dudukku dengan senyum lebar di wajahnya. Dia merupakan anak pindahan dari Bogor, aku tak tau alasan ia pindah ke Jogja karena saat itu aku tak mendengarkan ia bercerita karena asik menatapnya.

Waktu semakin berlalu dan kami perlahan mulai saling mengenal satu sama lain. Aku adalah tipikal orang yang jahil pada waktu itu. Aku selalu menganggu dia dan pernah sekali membuatnya menangis. Pernah suatu ketika, aku mencoba mengambil buku harian miliknya ketika dia sedang tidak berada di dalam kelas. Aku hanya ingin tahu apa yang sering ia tulis ketika sedang menyendiri. Tetapi, belum sempat aku membuka halam pertama buku harian itu, seseorang masuk dan merebutnya dariku. Aku terkejut melihat Raisa yang merebut buku itu dari tanganku. Seketika ia memarahiku dan langsung mencaci diriku. Aku mengakui pada waktu itu dia terlihat galak. Namun, bukannya justru meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatanku lagi, aku justru membalas dengan mengejeknya. Kami pun bertengkar dan saling mengejek. Pertengkaran diantara kami berdua diakhiri dengan tangisan Raisa.

Aku selalu menjadi penyebab utama dari setiap pertengkaran kami. Aku ingat momen dimana Raisa menjadi sangat marah karena aku tidak pernah berhenti untuk menganggunya. Bahkan ia pernah menjewer telingaku hingga merah, dan aku tidak pernah jera akan resiko yang pernah aku terima. Kalau aku mengingat kembali momen itu, aku pasti selalu tertawa sendiri.

****