Polin tidak tenang jika harus membiarkan Shela merasakan kepedihan hati, karena pernikahan politik di antara kedua keluarga mereka. Apalagi Polin paling tahu bagaimana kelakuan Darlie selama ini.
Polin ingin sekali memberitahu Shela mengenai keadaan ini, namun ia takut menjadi batu sandungan di antara hubungannya dengan Shela maupun Darlie.
Meskipun demikian, Polin merasa bahwa Shela cukup pintar untuk mengetahui situasi yang sebenarnya. Yang menjadi pertanyaan Polin, mengapa Shela tetap akan menikahi pria seperti Darlie walaupun ia mengetahui bagaimana sikap Darlie terhadap beberapa wanita di belakangnya.
Seakan tak rela, Polin menghubungi Shela untuk memastikan apakah Shela baik-baik saja atau tidak. Jika saja Shela ingin melarikan diri dari pernikahan tersebut, Polin akan dengan senang hati untuk dimanfaatkan atas batalnya pernikahan mereka. Ia siap menerima semua konsekuensi yang mungkin akan berdampak fatal bagi dirinya yang dulunya berada di bawah tanggungan Pramu Wijaya.
"Ya kak? Tumben banget nelpon aku! Ku pikir kakak ngak bakalan cari aku lagi." Ujar Shela di balik telepon genggam.
Polin terdiam beberapa saat. Ia sebenarnya tidak tahu harus berkata apa.
"Kak?" Shela penasaran kenapa sudah beberapa saat berlalu, namun tidak ada suara balasan dari seberang telepon.
"Apa sinyalnya ngak bagus ya?" Celoteh Shela sendirian sambil melihat ke arah telepon genggamnya yang masih terhubung dengan panggilan Polin.
Shela kemudian berniat ingin mematikan sambungan telepon mereka, tapi tiba-tiba suara lembut Polin menyapa! "Bagaimana kabarmu calon pengantin?"
Shela tersenyum, "Aku baik kok kak. Kakak akan hadir kan?"
Dengan sedikit ragu Polin membalas pertanyaan Shela, "Iya."
"Kok jawabnya lemas? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Shela sedikit cemas.
Polin memperbaiki nada bicaranya, ia tidak bisa menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak ingin Shela menikahi Darlie. "Ah, tidak. Aku baik-baik saja."
"Senang dengernya. Kabar Diana bagaimana?" Tanya Shela lagi.
"Diana sudah keluar dari rumah sakit. Saya rasa dia baik-baik saja." Jawab Polin singkat.
"Rasa?" Shela terkejut karena Polin tidak memberikan kabar pasti soal Diana.
"Ya, begitulah." Singkat Polin tidak ingin menjelaskan situasi yang terjadi saat Shela pergi.
"Kalian bertengkar lagi ya?" Shela yang merasa sudah cukup akrab bertanya sangat detail kepada Polin. Shela penasaran seperti bukan dia yang biasanya.
"Sebenarnya aku tidak ingin membahas soal Diana." Kata Polin dengan nada sumbang.
"Maaf, aku terlalu ikut campur."
"Bukan itu maksudku. Aku ingin membahas soal dirimu sekarang. Kamu benar-benar akan menikahi Darlie?" Polin mengalihkan ke pembicaraan yang sebenarnya ingin ia tanyakan dari tadi.
"Seperti yang kakak sudah tahu. Kami akan menikah dalam waktu 2 hari dari sekarang." Jawab Shela santai.
"Kamu mencintainya?" Nada suara Polin meragu untuk mempertanyakan hal ini, akan tetapi mau bagaimana lagi, ia harus memastikannya. "Maksudku aku bisa membantumu berbicara pada kakek Pramu, jika kau keberatan untuk menjadi istri Darlie." Sambung Polin, menghindari kesalahpahaman. Meskipun begitu, Shela telah salah paham.
"Apa kakak menyukaiku?" Shela bertanya sambil sedikit tersenyum.
"Jangan membalas pertanyaan dengan pertanyaan yang lain Shel."
"Kalau tidak ya sudah. Berarti kakak juga tidak berhak untuk mempertanyakan apa yang akan aku lakukan."
"Aku khawatir padamu." Lugas Polin.
"Karena Darlie memiliki wanita lain di hatinya? Atau karena Darlie suka bergonta ganti pasangan sesuka hatinya? Kakak khawatir aku akan sakit hati?"
Shela memang tipe wanita yang berterus terang untuk segala sesuatu yang sudah terlihat jelas maksud dan tujuannya. Padahal ia sedikit berharap jika Polin memang menyukainya. Ternyata buka rasa suka, lebih ke rasa kasihan yang tidak pernah dia inginkan.
Polin terdiam seribu bahasa. Ia tidak tahu cara untuk menjawab pertanyaan dari Shela. Ternyata Shela memang sudah mengetahui semuanya dan tetap ingin menikahi Darlie. Dan tampaknya ia sudah memantapkan hatinya. Namun sebelum semuanya menjadi sangat terlambat, Polin menginginkan 1 kesempatan untuk menceritakan mengenai perasaannya kepada Shela.
"Kamu sudah tahu rupanya. Baiklah Shel, sampai ketemu besok ya." Segera setelah berbicara demikian, Polin menutup sambungan telepon mereka.
Shela pun bergumam di dalam hatinya, 'Maksudnya?'
Perkataan Polin membekas pada pikiran Shela, membuat ia tidak bisa tidur pada saat malam untuk menunggu pagi. Dan untuk beberapa saat ia melupakan apa yang seharusnya ia tidak lupakan!
"Oh tidak, saatnya mencoba gaun pengantin dan aku sangat mengantuk!" Teriak Shela di atas ranjangnya.
Padahal ia sudah mencoba beberapa cara agar ia bisa tertidur, namun karena 1 kalimat dari Polin pikirannya terus melayang ke mana-mana sampai pagi tidak terasa.
***
Seperti hari-hari sebelumnya saat mereka tiba di kediaman Pramu Wijaya. Sarapan pagi, makan siang, maupun makan malam tertata rapi dan begitu megah. Namun Shela yang menjadi seorang putri keluar dengan wajah yang pucat dengan lingkaran mata berwarna gelap membuat Pramu dan kedua orang tuanya terkejut.
"What's going on, baby?" Mardalena heboh. Langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri anak perempuannya tersebut.
Shela berjalan seperti mayat hidup yang tidak memiliki pengharapan karena kurang tidur.
Darlie yang melihat Shela menatap malas. 'Dia membuat kehebohan di pagi hari. Wanita yang merepotkan.' Gerutunya di dalam hati.
"Apa terjadi sesuatu padamu, semalam? Atau jangan-jangan Dar...lie..." Pramu melirik tajam ke arah Darlie cucu kesayangannya itu.
Darlie mengangkat bahu tak tahu menahu soal apa yang terjadi menimpa Shela. Yang benar saja, masa jika Shela terlihat salah sedikit maka Darlie yang akan mendapatkan masalah karenanya. Ini tidak adil!
"Aku baik-baik saja ma, kakek juga tidak perlu khawatir. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan pernikahanku yang sebentar lagi akan berlangsung. Ini wajar untuk seorang pengantin wanita." Kata Shela sambil melangkahkan kakinya ke kursi di samping Darlie.
"Ma... Duduk gih. Lihatkan, aku baik-baik aja." Lanjut Shela.
Mardalena mengangguk. Ia berhasil menjadi ibu yang sangat baik di depan Pramu. Setidaknya jika ia membintangi sebuah drama, ia akan cocok menjadi pemeran antagonis yang luar biasa.
'Lihat anak ini, belum juga menjadi menantu keluarga Wijaya, ia sudah sangat sombong. Awas saja nanti!' Gerutu Mardalena di dalam hati.
"Darlie kamu harus memperhatikan istrimu. Jangan biarkan dia kekurangan apapun itu." Celoteh Pramu.
"Istri? Masih 2 hari lagi baru dia resmi jadi istriku kek." Sanggah Darlie judes.
Pramu melototi Darlie karena nada bicaranya yang terdengar tidak sopan. "Ah, apa yang Darlie ucapkan benar adanya. Shela anak kami baru akan resmi menjadi istrinya setelah mereka melangsungkan janji pernikahan." Sambung Emel memecahkan keheningan.
"Terimakasih karena sudah berbaik sangka terhadap ucapan Darlie. Dia memang anaknya blak-blakkan. Namun aku bisa pastikan bahwa ia akan memberikan kenyamanan kepada Shela seumur hidupnya." Kata Pramu dengan senyuman sedikit meragu.
"Tidak apa-apa. Kami bisa mengerti. Mereka kan baru bertemu beberapa hari. Masih banyak waktu yang bisa mereka gunakan untuk saling mengenal satu sama lain." Ujar Mardalena dengan sedikit candaan tawa.
"Menggelikan!" Gumam Darlie.
~To be continued