Shela mendengar gumaman Darlie, meskipun demikian dia tidak masalah akan hal itu. Darlie sendiri dengan cepat membaca Mardalena calon ibu mertuanya. Ia tidak menyangka bahwa Mardalena sungguh wanita yang mampu beracting dengan sangat baik.
"Aku tak menyangka kau bisa menyayangi kedua orang tuamu!" Bisik Darlie masih mencari gara-gara.
Malas berdebat Shela terus makan dengan santai sampai mereka bisa agak legah karena sesi makan bersama akhirnya selesai.
"Pa, ma, kakek. Apa aku boleh keluar sebentar?" Ujar Shela melihat para orang tua sudah selesai dengan makanan mereka.
"Kau membutuhkan sesuatu? Katakan saja. Nanti kakek bisa suru orang untuk mengantarmu. Hmm, lebih baik kau pergi dengan Darlie." Balas Pramu.
"Apa? Ngakk ah..." Ketir Darlie malas.
Pramu dengan cepat melototi Darlie yang saat itu duduk di samping kirinya. "Kau bilang apa tadi?" Ulang Pramu menyondongkan telingannya.
Darlie ragu-ragu, namun ia harus mengikuti keinginan kakeknya. "Aku siap kok mengantar calon istriku tercinta kemana pun ia ingin pergi."
Darlie tersenyum sambil melirik Shela dengan manis. Jelas sekali bahwa senyuman itu sedang dibuat-buat oleh Darlie Wijaya.
Shela menyembunyikan senyuman sinisnya untuk Darlie. Ia sedikit menunduk, lalu mengibas rambutnya ke samping telinganya untuk memperbaiki ekspresi mimiknya.
"Ngak perlu sampai segitunya kek. Tampaknya Darlie sangat lelah untuk pergi keluar. Sudah 5 hari acara di gelar dan Darlie harus menyambut semua tamu yang tiba di pulau ini. Aku bisa pergi sendiri kok kek. Lagi pula ngak lama. Hanya ingin bertemu teman lama." Jelas Shela.
"Bagus deh kalo gitu." Kata Darlie sambil menyandarkan punggungnya ke arah kursi.
"Ah, apa teman-temanmu sudah tiba semuanya?" Tanya Pramu. "Kalau mereka butuh akomodasi, bilang saja sama kakek. Kakek akan kirim pelayan untuk melayani mereka dengan sangat baik." Pramu menjadi sangat bersemangat.
"Kakek berlebihan. Lagi pula semua yang tiba di pulau ini kan memang sudah mendapatkan pelayanan yang baik. Toh kan sekarang semua karyawan yang ada di pulau di bayar untuk melayani setiap tamu yang ada." Lugas Shela.
Pramu tertawa terbahak-bahak. Ia lupa bahwa pulau dan segala isinya tersebut adalah miliknya. "Kamu benar. Kakek sampai lupa itu."
"Tapi bukannya hari ini kalian akan mencoba baju pengantin ya?" Mardalena mengingatkan.
"Iya, kami akan pergi bersama kalo soal itu tante. Tapi mungkin agak sorean." Jawab Darlie.
"Begitu rupanya." Senyum Mardalena, sambil melirik Emel yang duduk di sebelahnya.
Sepertinya Emel kurang peka sesaat, namun ia bisa mengerti arti dari lirikan mata dari istrinya tersebut. "Om titip Shela ya. Dia memang agak tegas dan sangat mandiri, tapi dia adalah anak yang baik dan kadang-kadang bisa ceroboh." Untuk pertama kalinya Emel mengeluarkan suaranya untuk hanya sekedar basa basi hal yang menurutnya tidak perlu.
Seperti biasa, Emel terdengar sangat kaku jika itu menyangkut Shela. Padahal saat membicarakan bisnis atau hal mengenai Dara ia adalah jagonya.
Shela sendiri tak menyangka bahwa ayahnya akan berkata demikian. Matanya membulat dan berbinar saat tahu Emel memperhatikannya untuk pertama kalinya.
"Om tenang saja, Shela aman kok. Benarkan sayang?"
Shela mengangguk. Aneh mendengar Darlie memanggilnya dengan sebutan hangat seperti itu. Padahal ia dengan leluasa menunjukkan betapa tidak sukanya ia kepada Shela dengan bertingkah seenaknya.
"Kalau kalian lelah, kakek bisa suruh desainernya yang datang ke sini. Ngak perlu kalian yang capek-capek ke penginapannya." Ujar Pramu.
"Ngak apa-apa kek. Soalnya dengar-dengar desainernya baru akan tiba siang sebentar. Dia pasti sangat lelah. Jadi kami berinisiatif yang mengunjungi desainernya." Balas Darlie.
"Tumben banget kamu pengertian!" Gumam Pramu tak menyangka cucunya akan mengalah hanya karena alasan sepele.
"Jadi, kalo semuanya mengijinkan apa boleh saya kembali untuk bersiap-siap?" Tanya Shela enggan.
"Tentu saja nak." Ujar Pramu. "Kamu bisa bersenang-senang dengan teman-temanmu sebelum hari perayaan besarmu." Sambung Pramu Wijaya.
Dalam dua hari Shela akan resmi menjadi istri dari Darlie Wijaya. Shela menjadi sangat tegang dan meragu. Apakah hal yang ini pilih saat ini adalah benar adanya.
Saat Shela sudah beranjak pergi dari ruang makan, Darlie pun undur diri buru-buru menyusul Shela.
"Jadi kau punya teman juga?" Gurau Darlie.
"Apa urusanmu?" Tegas Shela. Ia membenci saat-saat dimana dia harus meladeni sikap kekanak-kanakkan Darlie Wijaya.
"Tapi berdasarkan researh yang aku dapatkan kau sama sekali tidak mempunyai seorang teman wanita satu orang pun, kecuali Willy!"
Langkah kaki Shela terhenti. Darlie pun berjalan dan menunjukkan wajahnya dengan jelas di hadapan Shela sambil memegang pundak dari wanita itu. "Willy yang merupakan komikus yang bahkan tidak terkenal itu. Dia cinta pertamamu bukan?" Kata Darlie dengan senyuman miring.
"Sebenarnya apa yang hendak akan kamu katakan?" Sorot mata Shela berubah menjadi sangat tajam dalam memandang calon suaminya tersebut.
Darlie tertawa puas saat ia tahu ia memberikan tekanan yang cukup, sehingga Shela berekspresi sangat menggemaskan menurut versi Darlie.
"Ngak ada. Kamu boleh pergi sekarang." Darlie kemudian berbalik arah dan pergi begitu saja. Saat kaki Shela hendak ingin melangkah maju, Darlie berkata lagi: "Ah, jangan lupa undang Willy saat pesta pernikahan kita."
Shela mengambil langkah tegas tanpa membalas ucapan Darlie. Darlie pun tersenyum penuh kemenangan. Bahkan kerutan di kedua matanya terlihat dengan jelas, saking senangnya ia mengganggu ketentraman gadis itu.
"Kau akan menerima akibatnya karena membuat aku terjebak dalam hal yang begitu rumit sampai harus menandatangani kontrak ngak jelas!" Gumam Darlie Wijaya.
Shela yang telah bersiap pergi ke sebuah resto di sebuah pulau paradise milik keluarga Wijaya. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di pulau itu, namun ia ingin menghibur dirinya sendiri dengan berjalan-jalan sebentar.
Pulau itu kini dipenuhi oleh tamu-tamu keluarga Wijaya dan beberapa kolega kerja ayahnya. Sebenarnya Shela sama sekali tidak mengundang satu pun dari teman-temannya. Karena benar kata Darlie, ia hanya memiliki Willy sebagai teman satu-satunya yang ia punya, sekaligus cinta pertamanya.
Shela memilih untuk berjalan kaki, ketimbang duduk di atas kursi mobil mewah hanya untuk pergi ke resto yang jaraknya hanya berkisar 1 km dari rumah induk. Sambil memandangi langit ia menyusuri jalanan menurun.
Pemandangan begitu indah, di samping kirinya terdapat laut lepas sepanjang mata memandang. Dan di sebelah kanannya terlihat pohon-pohon yang tersusun begitu rapi. Pulau itu juga sangat bersih, dapat dilihat bagaimana Pramu memang menjaga kebersihan pulau itu dengan sangat teliti.
"Hidup sungguh menyesakkan ya!" Kata Shela sendirian sambil menendang botol bir kaleng yang ada dihadapannya.
"Awww!" Terdengar suara teriakan seorang pria yang mungkin terkena botol kaleng bir yang ditendang oleh Shela.
~To be continued