Berjalan mondar-mandir sembari menunggu kedatangan seseorang, itulah yang saat ini sedang Yuanita lakukan. Ketika mendengar suara gerbang dibuka, ia langsung menoleh dan menatapnya penuh selidik, seakan ia tengah menatap John yang selalu pulang telat akhir-akhir ini.
Namun, setelah itu, yang dirinya lihat hanyalah Pak Bram, membuatnya menimbulkan tanda tanya. Ia pun langsung berjalan menghampiri sopir pribadi Suaminya itu dengan tatapan tajamnya. Sedangkan Pak Bram hanya bisa menghela nafas dan menunduk saja ketika wanita muda itu datang menghampirinya.
"Dimana suami saya?!" tanya Yuanita setengah kesal, sebenarnya ia kesal kepada John, bukan Pak Bram. Tetapi karena orang yang tengah membuatnya kesal itu tak ada, maka dari itu, ia melampiaskannya pada sopir Suaminya sendiri. "Jawab! Dimana John?!"
Dengan gugup, Pak Bram pun menjawab, "Pak John mendadak keluar kota, Nyonya. Dia titip salam sama Nyonya, untuk jaga diri baik-baik selagi dia tidak ada di Rumah," ujarnya.
Mendengar itu, Yuanita mendelik, ia sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Pak Bram katakan. "Benar kah dia mengkhawatirkanku?" tanya nya dalam hati.
Yuanita langsung menatap penuh selidik, jujur saja tatapannya itu membuat Pak Bram saat ini begitu ketakutan, bahkan sulit bernafas, untuk membalas tatapannya saja, ia tak berani. Wanita itu langsung mengulum senyumnya, namun tak dihadapan Pak Bram, ia akui bahwa John sedikit manis padanya, padahal sudah beberapa hari ini tak bertegur sapa.
Setelah kepergian Yuanita, akhirnya Pak Bram bisa bernafas lega, ia langsung masuk kedalam rumah untuk beristirahat. Sementara itu, Yuanita yang saat ini tengah berada dibalkon kamarnya pun terheran, entah kenapa rasanya begitu sulit untuk dipercaya jika John mengatakan itu untuknya.
Jujur saja, saat ini Yuanita tengah mencoba menghubungi pria itu, akan tetapi tak satu pun dari panggilan itu yang diterima oleh John, membuatnya lagi-lagi merasa kesal setelah diterbangkan begitu saja.
"Kamu kemana sih, Mas?" gumamnya, lalu mengecek ponselnya dan memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Suaminya itu. "Kalau keluar kota, kenapa gak bilang-bilang dulu, sih?"
Setelah mengirimkan pesan pada John, ia langsung terduduk sembari merenungi perbuatannya belakangan ini. Ia sedikit menyeringai ketika mengetahui John sedang pergi keluar kota, dengan begitu ia bisa melakukan sesuatu untuk menghibur dirinya sendiri.
"Party time!" teriaknya sembari mengangkat kedua tangannya itu tinggi-tinggi.
Disisi lain, Pak Bram sedang mencoba menghubungi John, untungnya panggilan terakhir John mengangkatnya, panggilan pun tersambung.
"Halo,"
"Halo, Pak. Akhirnya Bapak angkat telepon saya," ujar Pak Bram dengan senyum sumringahnya, membuat alis John terangkat.
"Ada apa, Pak? Kok, kaya nya senang begitu,"
"Anu, Pak," ujar Pak Bram, ia sedikit kikuk saat ini, lupa akan apa yang dirinya katakan pada John, tujuannya.
"Anu apa, Pak?"
"Anu... apa Bapak sudah sampai di Rumah, Bu Mara?"
John terkekeh, "Ya ampun, saya pikir ada informasi tentang Istri saya."
"Hehe, informasi tentang itu juga ada, Pak."
Membuat John yang baru saja terkekeh pun langsung terdiam dengan raut wajahnya yang mulai serius.
"Informasi tentang apa?"
"Tadi setelah saya baru sampai, Nyonya sudah menunggu didepan rumah, terus matanya itu loh, Pak."
"Matanya kenapa, Pak Bram?" tanya John sembari terkekeh.
"Ah, serem deh, Pak. Kalau Bapak pulang sama saya, pasti Bapak kena amuk Nyonya lagi."
Terdengar gelak tawa dari seberang sana, memang benar adanya jika John pulang ke rumahnya itu pasti Yuanita selalu memberikannya wejangan terlebih dahulu, akan tetapi, karena malas, maka John hanya mendiamkannya saja atau melengos pergi dari hadapan wanita galak itu.
"Terus, gimana lagi, Pak?"
"Terus..." Pak Bram sedikit mengingat kejadian tadi sembari meringis ketika membayangkan bagaimana garangnya Istri dari majikannya itu. "Nyonya menanyakan keberadaan Bapak, saya jawab saja sesuai permintaan Bapak, kalau Bapak mendadak keluar kota."
John terkekeh sembari mengangguk meskipun Pak Bram tidak akan melihatnya, memang sopirnya yang satu ini selalu bisa membuatnya terhibur, padahal dimata Pak Bram, jika dirinya itu tidak pernah berniat membuat lelucon sama sekali.
"Hm... Pak,"
"Iya, Pak."
"Saya tidur dulu, ya. Jangan lupa kabari saya besok."
"Oh, iya, baik, Pak."
Setelah itu sambungan telepon pun terputus, Pak Bram adalah satu-satunya sopir yang masih setia sejak dulu kepada keluarganya, termasuk Papa John. Sedari John kecil, Pak Bram memang sudah bekerja sebagai sopir dikeluarganya, menjadi sopir pribadi dari Papanya sendiri.
Sampai suatu ketika, John kecil pun beranjak dewasa dan mulai sibuk mencari pekerjaan kesana-kemari sampai bisa seperti sekarang ini itu dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Meskipun awalnya orang-orang mengira bahwa John bisa sesukses ini karena berasal dari keluarga kaya, John sempat down, namun berkat kebaikan dan support dari wanita yang dicintainya itulah, John akhirnya bangkit kembali, membuktikan kepada dunia bahwa itu tidaklah benar.
John menatap Mara yang kini baru saja keluar kamarnya dengan mata yang sembab, ia yang melihatnya pun tersenyum geli, begitu menggemaskan baginya.
"Mara, mau kemana?" tanya John yang melihat wanita cantik itu menuju kearah lain, tadi ia pikir akan menuju kamar Via tetapi ternyata tidak.
"Eh, kamu belum tidur? Aku pikir kamu udah tidur, John."
John yang mendengarnya pun tersenyum, lalu menghampiri Mara yang sedari tadi berusaha menutupi wajahnya yang sudah pasti begitu terlihat jelas sehabis menangis.
Ia menggenggam kedua tangan yang menutupi wajahnya itu untuk menyingkirkannya dari wajah Ibu Via, John ingin melihat mata yang indah itu setelah sekian lamanya.
Perlakuan John membuat Mara tanpa sadar membalas tatapan matanya, dengan mata yang bengkak karena menangis itu membuat John begitu gemas melihatnya, ia mencium kedua mata itu dengan tangannya seolah itu adalah bibirnya sendiri yang tengah mencium mata dari wanita itu.
Ibu Via menutup matanya, ia merasakan perasaan yang telah lama hilang saat ini, entahlah, ia dibuat tak bisa berkutik oleh John, pria itu memang benar-benar membuatnya melayang sampai detik ini. Benar, hanya pria ini saja yang bisa melakukannya.
"A-aku..."
John menatapnya begitu dalam, meskipun ia masih mencintai wanita yang ada dihadapannya saat ini, ia tidak pernah berpikir untuk menyakitinya hanya karena perasaannya yang sering kali tak bisa ia tahan, karena kerinduannya yang teramat besar selama beberapa tahun terpisah dengan wanita ini dan putrinya.
"I love you, Mara."
Ibu Via yang mendengarnya mematung, ia tak bisa berbuat apapun, bahkan untuk membalasnya saja rasanya begitu sulit, maka dari itu, yang bisa dirinya lakukan hanya tersenyum lalu pergi dari hadapan pria itu dengan hati yang senang sekaligus sesak itu.
Melihat itu, John hanya bisa diam sembari menatap sendu kepergian wanita itu, bibirnya tersenyum pedih, entahlah, ia benar-benar begitu bodoh telah melepaskan wanita sebaik mantan Istrinya itu. John bisa membayangkan betapa sulitnya membesarkan anak seorang diri, ia sangat tahu betul bagaimana perasaan dan hatinya yang juga ikut hancur dan sakit disaat yang bersamaan.
"Andai kamu tahu, Mar, aku pun tersiksa selama bertahun-tahun ini, terpisah dari orang yang aku cintai itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Tunggu aku, Mara."