Yuanita dengan anggunnya berjalan keluar kamar, ia celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang, namun tak juga terlihat batang hidungnya membuatnya benar-benar kesal bukan main.
Hari ini ia akan pergi bersama teman-temannya ke sebuah tempat yang sudah sangat lama tidak dikunjungi.
Dering ponsel pun berbunyi, ternyata temannya itu sudah menghubunginya kembali, terpaksa Yuanita pun mengangkat teleponnya itu terlebih dahulu.
"Halo."
"Halo, lo dimana sih?! Lama banget, lumutan nih gue nungguin lo."
"Aduh, sorry banget. Gue kaya nya gak bisa dateng, deh."
"APA?! GAK BISA, POKOKNYA LO HARUS DATENG SEKARANG JUGA!"
"Tapi, Bel. Supir gue lagi gak dirumah deh, kek, nya. Lagian, kalau gue minta anter pake supir bisa bahaya gue."
"Yaudah, gini aja. Lo tunggu di Cafe deket rumah lo itu, nanti gue jemput lo disana."
"Wah, beneran lo?! Sip dah, gue berangkat sekarang, bye!"
Setelah selesai berbincang, Yuanita langsung berjalan keluar rumahnya itu dengan senyum cerahnya. Entahlah, baginya tanpa John adalah sebuah kebebasan, karena ketika pria itu ada, ia tak diperbolehkan pergi kemana pun.
Hari sudah mulai siang, Via masih berkutat dengan buku-bukunya itu, sedangkan yang lain sudah berhamburan keluar kelas untuk beristirahat.
Tanpa Via sadari, dibelakang sana ada seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dengan senyum yang mengembang. Betapa senangnya laki-laki itu ketika mengetahui bahwa gadis yang kemarin dirinya antar pulang adalah teman satu kelasnya.
Tanpa berniat menghampiri Via, laki-laki itu tanpa bosan terus memperhatikan seorang gadis yang masih berkutat dengan buku-bukunya itu. Entah apa yang tengah dikerjakannya, akan tetapi ia mengakui bahwa gadis itu akan terlihat semakin cantik ketika sedang fokus seperti itu.
Sudah puas diam-diam melihat, ia pun langsung menghampiri gadis itu. Alasan utamnya adalah karena kemarin belum sempat berkenalan, jadilah saat ini laki-laki itu merasa harus mendapatkan namanya.
"Hai," panggil laki-laki itu. Senyumnya masih mengembang, tetapi gadis itu sepertinya tak menyadari kehadirannya sama sekali. "Hai, lo yang kemarin gue anterin pulang kan?"
Karena mendengar ada seseorang yang mengajaknya berbicara, akhirnya Via mengalihkan tatapannya yang sejak tadi fokus terhadap bukunya kepada laki-laki yang kini tengah berdiri menatapnya dengan senyum manisnya itu.
Via merasa gugup, entahlah, karena mungkin sebelumnya ia tak pernah bergaul atau berteman dengan orang-orang, termasuk seperti laki-laki yang satu ini.
"Hey, lo kenapa?" tanyanya yang kini menatap Via khawatir karena melihat gadis itu yang mengeluarkan keringat dari kening dan pelipisnya.
Tanpa berniat menjawab, Via langsung berlari keluar kelas meninggalkan laki-laki itu yang kini terdiam mematung memikirkan kesalahannya. Dengan penuh kekhawatirannya, ia langsung berlari mengejar keluar kelas untuk mencari keberadaan gadis itu.
Sudah berlari kesana-kemari, namun gadis yang ia cari-cari sedari tadi tak ditemukan. Genio merasa bersalah, mungkin karenanya gadis itu menjadi seperti ketakutan. Hingga tepukan dipundaknya langsung membuatnya menoleh. Ternyata itu adalah Revan, teman semejanya.
"Yo, ngapain lo disini?" tanya Revan sedikit heran, lalu menatap wajah temannya itu yang berkeringat. "Lo abis ngapain keringetan gini?"
"Eh, Van. Gue lagi ..." ucapan laki-laki itu terhenti kalah ia melihat gadis yang dicarinya sedari tadi ada di Taman belakang Sekolah. Laki-laki itu langsung berlari menuju Taman, meninggalkan Revan yang sedari tadi meneriakinya.
"Disini lo ternyata. Lo tadi kenapa kabur?" tanyanya sambil mendekati gadis itu, tetapi yang dilakukan Via ternyata membuatnya terkejut dan berakhir menghentikan langkahnya untuk mendekati gadis itu. "Lo, kenapa? Lo takut sama gue?"
Akan tetapi tak ada jawaban dari Via membuatnya menghela nafas, lalu dengan pelan ia terus berjalan mendekatinya meskipun gadis itu selalu menjauh.
Akhirnya laki-laki itu pun menggenggam kedua tangan Via dengan erat, meskipun gadis itu menggelengkan kepalanya sembari menangis. Ia yang melihatnya langsung merasa bersalah, membawa Via kedalam pelukannya, bermaksud menenangkan gadis itu.
"Tenang, ini gue Genio. Lo gak usah takut, gue bukan orang jahat kok, lo tenang dulu, oke?"
Dengan sabar, Genio mengusap punggung Via yang bergetar hebat. Setelah yang terjadi hari ini, ia merasa ada yang tak beres dengan gadis yang baru-baru ini menarik perhatiannya.
Entah kenapa tumbuh rasa ingin melindugi ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini.
Genio pun dengan perlahan melepaskan pelukannya itu pada Via, ia tersenyum pada gadis itu yang kini sedikit terlihat tenang dari sebelumnya.
Via langsung menunduk, tak berani menatap laki-laki yang ada dihadapannya itu lebih lama. Genio yang melihatnya pun langsung tersenyum.
"Jadi, sekarang gue boleh tahu nama lo gak?" tanya nya yang kini beralih duduk disamping gadis itu, Via.
"Via," jawabnya singkat.
"Oh, nama lo Via," ujar Genio sembari menganggukan kepalanya singkat, "Vi, lo masih takut gak sama gue?"
"Sedikit."
"Gue minta maaf, ya," ujar Genio menyesal, sedangkan Via yang mendengar itu langsung menoleh kearahnya sembari mengerjapkan matanya begitu lucu. Tanpa sadar membuat laki-laki itu tersenyum gemas melihatnya. "Lo lucu juga, ya."
Via yang dipuji seperti itu pun langsung mengembungkan kedua pipinya dengan kedua tangan yang menutupi pipinya yang sudah pasti memerah itu. Genio yang melihatnya langsung terkekeh, tanpa sadar mengacak-acak puncak kepala gadis itu karena tak tahan melihat tingkah menggemaskannya.
"Vi, mulai sekarang kita temenan kan?"
Mendengar kata teman, Via langsung menurunkan kedua tangannya itu, lalu menunduk sedih. Genio yang melihat itu langsung panik, karena gadis itu kembali bersedih bahkan sepertinya hampir menangis lagi.
"A-aku g-gak p-punya t-teman," ujar Via terbata-bata. Mendengar itu, Genio mengangguk mengerti. Ia langsung menangkup wajah gadis itu agar melihat kearahnya.
Genio tersenyum melihat Via yang kini menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Entah ada keberanian dari mana laki-laki itu tanpa seizinnya langsung mengecup kedua matanya yang hampir saja kembali mengeluarkan air matanya.
"Jangan nangis lagi, air mata lo terlalu berharga buat gue," ujarnya dengan senyum tulusnya. Kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain, berkata, "Sekarang lo punya temen kok, mungkin temen satu-satunya yang lo punya, cuma gue, Genio Gadra Gutama," ujar Genio.
Laki-laki itu langsung menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu dengan lembut, kembali berkata, "Jadi, mulai sekarang kita temenan, ok? Lo udah punya temen sekarang dan lo juga gak akan gue biarin sendirian lagi. Kalau ada apa-apa, lo bisa panggil gue."
Via yang mendengarnya pun langsung mengangguk patuh, lagi-lagi Genio begitu gemas melihatnya, ia mengacak-acak puncak kepala gadis itu lagi. Tanpa mereka berdua sadari, sedari tadi ada yang tengah memperhatikannya dari kejauhan, bibirnya tersenyum ketika melihat kedua orang itu.
"Kantin, yuk, atau mau ke kelas aja?"
"Kelas," jawab Via sembari tersenyum.
"Ya udah, yuk!"
Akhirnya mereka berdua pun kembali ke Kelas masing-masing. Berjalan berdampingan membuat para siswa dan siswi yang ada disekitarnya kini tengah menatap mereka berdua dengan berbagai tatapan, bahkan ada pula yang berbisik-bisik membuat Via merasa tak nyaman.
Genio yang menyadari itu langsung menutupi kedua telinga gadis itu, membuat Via menoleh menatapnya yang kini tengah menatap kearahnya sembari tersenyum. Ia yang melihatnya pun ikut menyunggingkan senyumnya, lalu mengikuti langkah laki-laki itu yang menyuruhnya untuk mempercepat langkahnya agar cepat sampai dikelas.
Suara ketukan pintu membuat Mara langsung membukakan pintunya, ia terkejut dengan kedatangan Pak Bram yang kini tersenyum kearahnya. Mara pun membalasnya dengan tersenyum.
"Pak Bram, kok, bisa tahu rumah saya?" tanya Mara, saat Pak Bram hendak berkata, John tiba-tiba datang dan menjawabnya lebih dulu.
"Aku yang suruh dia kesini," jawab John yang kini sudah berada disamping Ibu Via. "Ayok, Pak, masuk."
Melihat itu Pak Bram pun tersenyum mengangguk, lalu memasuki rumah Ibu Via yang sederhana itu. Pak Bram duduk disofa dengan John, sedangkan Ibu Via izin pamit ke belakang untuk membuatkan minuman.
"Jadi, ada informasi apa lagi tentang istri saya?"
Pak Bram pun mulai menjelaskan apa saja yang terjadi hari ini. Dari mulai yang ia dengar, juga yang ia lihat, semuanya. Sedangkan John yang mendengarnya menganggukan kepalanya sesekali sampai Mara pun datang dengan nampan berisi minuman dan juga makanannya.