Van berpamitan kepada kedua orang tuanya, lalu diikuti dengan adiknya yang ikut nebeng bersamanya. Karena ini masih pagi, jadi Vin mengajak laki-laki itu terlebih dahulu ke sebuah tempat yang biasa mereka kunjungi sedari dulu.
"Bang, lo tunggu sini, ya. Gue mau pesen dulu," ujar Vin yang kini berjalan menuju kasir untuk membeli es krim vanila kesukaan mereka berdua. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ia pun kembali membawa dua buah es krim ditangannya itu. "Nih, Bang."
Van pun dengan senang hati menerimanya, lalu menjilatnya. Begitu pula dengan Vin yang melakukan hal serupa. ia sibuk membaca bukunya, sedangkan adiknya yang merasa bosan pun menghela nafasnya. Ia benar-benar bosan karena tak ada satu pun notifikasi yang masuk ke ponselnya.
"Bang." panggil Vin.
"Hm."
"Bolos, yuk!"
Van yang sedari tadi tengah fokus membaca buku pun langsung mendongak menatap adiknya itu dengan tatapan tajamnya. Sedangkan Vin yang melihatnya langsung mengangkat satu jari telunjuk dan tengahnya sembari memperlihatkan beberapa deretan giginya itu.
"Canda, elah. Serius mulu lo, Bang."
"Bukan gitu, jangan-jangan lo sering bolos, ya, di Sekolah?" tanya Van penuh selidik. Vin mengulum bibirnya dengan mata yang menatap kearah lain, lalu berkata, "Sering," jawabnya singkat.
"APA?!"
"Eh, enggak, canda. Enggak sengaja, kok, itu."
Van yang mendengarnya langsung memutar bola matanya, jengah ketika melihat adiknya yang sudah seperti ini. Vin langsung memasang wajah memohonnya itu agar Van menutup mulutnya kepada kedua orang tuanya itu, terlebih kepada Ayahnya.
"Bang." panggilnya lagi.
Tak ada sahutan dari abangnya membuat Vin tak menyerah begitu saja. Ia dengan jahil langsung mengambil buku yang sedari tadi membuat abangnya hanya terfokus pada bukunya itu. Van tentu saja kesal bukan main dan langsung menatap adiknya itu dengan tajam.
"Vin, jangan bikin mood gue rusak pagi-pagi begini."
"Apa, Bang? Gue gak denger, lagi baca buku."
"Vin, gue hitung sampe tiga, ya. Gue bener-bener lagi gak mood buat sabar-sabaran."
"Hitung aja, apa hubungannya sama sabar?"
"Satu ..."
"Dua ..."
"Tig..." Sebelum mengucapkannya sampai akhir, Vin langsung memberikannya pada Van. Dengan wajah kesal, ia langsung memalingkan wajahnya itu. Sedangkan, Van yang melihatnya langsung tersenyum kemenangan. "Nah, gitu dong. Ini baru, adik abang yang baik."
Van yang melihat adiknya masih cemberut pun langsung berdiri dari duduknya, kemudian memasukkan buku yang sedari tadi dibacanya itu kedalam tasnya.
"Ayok, berangkat, udah telat, nih. Nanti kita kena hukum lagi, males banget gue."
Vin dengan terpaksa berjalan menyusul abangnya itu yang sudah menaiki motornya. Selama perjalanan mereka berdua hanya saling diam, Van fokus dengan jalanannya, sementara Vin diam membisu dengan wajah yang ditekuk.
Setelah sampai di Sekolah Vin, adiknya itu tanpa aba-aba langsung menuruni motor, lalu membuka helmnya dan memberikannya pada abangnya itu. Saat Vin hendak berbalik, Van menahan lengan adiknya itu, membuat Vin terpaksa menghadap kembali abangnya.
Van tersenyum, lalu mengacak-acak rambut adiknya itu dengan gemas. Sedangkan Vin yang diperlakukan seperti itu pun menjadi tersenyum, tetapi setelah itu kembali cemberut.
"Dih, udah senyum malah ngambek lagi. Tenang aja, gue gak akan bilang Ayah, kok."
Mendengar itu Vin langsung tersenyum, tetapi tak lama kembali cemberut. "Bunda?" tanya Vin.
"Bunda juga, kok."
Akhirnya setelah mendengar itu, Vin langsung memeluk Van yang masih duduk diatas motornya itu. Sedangkan Van hanya terkekeh melihat kelakuan adiknya yang satu ini jika sudah merajuk.
"Yaudah, sana, masuk. Gue telat nih, kek, nya."
"Maaf, ya, Bang." Mendengar itu, Van hanya membalasnya dengan senyuman, lalu memakai kembali helmnya, lalu berlalu meninggalkan Vin disana.
Vin yang melihat kepergian Van pun tersenyum, lalu masuk ke area Sekolahnya itu dengan terburu-buru, karena Vin tahu ini sudah lebih sepulu menit.
Untunglah Van sampai dengan cepat, karena pintu gerbang yang hampir tertutup itu. Ia tersenyum pada satpam Sekolah itu yang telah memperbolehkannya masuk. Ia pun memarkirkan motornya di area parkiran Sekolah.
Van dengan santainya berjalan melewati lorong Sekolah untuk menuju kelasnya, tak sadar sedari tadi banyak para siswi yang memperhatikan gerak-geriknya. Laki-laki itu terlalu acuh untuk itu semua, ia terus berjalan dan berjalan sampai akhirnya ia menemukan Aldera yang tengah menghalangi jalannya.
"Apaan sih, lo? Minggir!" usir Van ketika melihat Aldera yang merentangkan kedua tangannya itu dihadapannya, menghalangi jalannya. "Gak," jawab Aldera dengan ketus.
Sharon yang ternyata satu kelas dengan Van pun menghampiri mereka berdua. Ia menatap Van dan Aldera secara bergantian membuat semua siswi menatap kearah mereka bertiga.
Benar, saat ini Van, Aldera dan Sharon menjadi pusat perhatian para siswi yang sedang berlalu lalang disekitarnya.
"Ada apa, nih?" tanya Sharon meminta jawaban dari kedua orang itu.
"Tau nih. Gue baru aja dateng, eh dia tiba-tiba halangin jalan gue," ujar Van yang mendengus kesal.
Para siswi yang melihat itu langsung berteriak histeris, membuat ketiga laki-laki itu langsung melihat sekitarnya dengan tatapan bingungnya. Tak lama, datanglah San yang membuat ketiga orang itu menghela nafas.
"Kok, San gak diajak, sih. Jahat banget." Sharon yang melihat itu langsung mendelik. "Ngapain juga ngajak lo, kan, lo udah ada disini."
Van dan Aldera yang melihat itu tertawa, entahlah, ketika melihat interaksi kedua orang temannya itu, Sharon dan San selalu bisa menghiburnya. Baik, Sharon atau San, mereka selalu bersama tapi tak pernah akur. Maka dari itu, Van dan Aldera pun tak mengerti dengan cara berteman dari kedua sejoli itu.
"Kenapa jadi kalian yang ribut, sih?! Aneh lo pada."
Sharon dan San yang mendengarnya pun langsung saling menyalahkan satu sam lain, itu semua tak lepas dari pandangan Van dan Aldera yang kini menggelengkan kepalanya itu.
Bel pun berbunyi membuat Aldera mendengus kesal, lalu ia menatap Van yang kini tersenyum kearahnya. Aldera langsung melotot tajam kearahnya, "Urusan kita belum selesai," ujar Aldera yang kini berjalan memasuki kelasnya, begitu pula dengan Sharon dan San.
Bel istirahat pun berbunyi, semua murid berhambur keluar kelas untuk mengisi perutnya masing-masing, berbeda dengan Van dan Sharon yang kini masih berada didalam kelas. Benar, hanya mereka berdua yang tersisa.
"Van."
"Hm."
"Lo ada masalah apa sama Aldera?"
"Gak ada. Kenapa emangnya?"
"Terus, tadi pagi?"
"Oh... itu. Jadi, semalem si Aldera ngechat gue, katanya ada yang nyebarin gosip kalau dia pacaran sama Neyna."
Sharon langsung melongo ketika mendengarnya, lalu menoleh kearah seorang gadis pendiam yang katanya sih tak pernah bergaul dengan siapapun. Ia akui, selera Aldera tinggi juga, sudah cantik, pintar pula.
"Loh, bukannya itu bagus, ya?" tanya Sharon yang membuat Van terkekeh mendengarnya. "Itu masalahnya, Ron. Aldera bilang ke gue kalau tuh cewek jadi jutek sama dia."
"Oke, gue paham. Aldera nuduh lo sebagai orang yang nyebarin gosip itu?"
"That's right. Nah, tuh, paham," ujar Van sembari terkekeh, karena mengingat bagaimana tadi malam Aldera mengirim spam chat kepadanya.
"Tapi bener gak, lo yang nyebarin gosip itu?"
"Bukan."
"Terus, kalau gitu siapa, ya?"
Tak lama, Van dan Sharon pun saling menatap satu sama lain, seperti memikirkan hal yang sama. Kemudian, mereka berdua pun bergegas keluar kelas, menuju kelas lain untuk mencari seseorang. Kebetulan, orang yang mereka berdua cari ternyata sedang bersama Aldera.
Van menatap Aldera yang kini mendelik ketika melihat keberadaannya, melihat itu Van menghela nafasnya, setelah itu mendekati teman-temannya. Sharon sedari tadi terus menatap San dengan penuh selidik, membuat San yang ditatap seperti itu pun tanda tanya.
"Kenapa? Kok, pada natap gue gitu."
"San," panggil Sharon serius. "Mending lo ngaku, deh."
Sontak tatapan Aldera kini sepenuhnya menatap San, begitu pula dengan Van. Sharon menepuk pipi San beberapa kali, bermaksud memberinya kekuatan kepada temannya yang satu ini. Sharon sebenarnya ingin membela kembarannya itu, akan tetapi jika ini adalah kesalahannya, maka Sharon akan diam saja.
"Ald, mending lo tanya langsung deh sama dia."
"Maksud, lo?"
"Tentang gosip lo itu."
Setelah mendengar itu, Aldera langsung memicingkan matanya pada San, sementara San yang ditatap seperti itu langsung emosi. Sharon tahu betul bagaimana sifat kembarannya ini, selalu bertingkah laku seperti orang bodoh hanya untuk menarik perhatian orang-orang, itu adalah sifat yang paling Sharon tak disukai.
"San, apa bener?"
"Kalau iya, kenapa, kalau enggak, kenapa?"
Aldera menggelengkan kepalanya tak menyangka, "Kenapa? Kenapa lo lakuin ini sama gue?"
"Kalau gue jawab, lo pasti gak akan pernah percaya."
Van mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan San itu, begitu pula Sharon yang kini menatapnya mengintimidasi. Aldera mulai terpancing emosi, hampir saja laki-laki itu hendak memukul San yang berada disampingnya.
"Ald, tahan. Inget, San juga temen lo, temen kita."
Aldera yang emosinya sudah berada diubun-ubun pun langsung berdiri, lalu berjalan keluar kelas meninggalkan Van, Sharon dan juga San yang kini menyeringai tipis. Van yang melihat itu tak tinggal diam, ia langsung menyusul Aldera karena takut terjadi sesuatu pada temannya itu.
"San," panggil Sharon. "Jujur sama gue, lo ada masalah apa sampe ngelakuin ini sama temen lo sendiri?"
"Masalah, lo mau tahu masalahnya apa?" tanya San dengan emosi yang tertahan. "Masalahnya adalah gue iri liat dia deket sama Neyna! Puas, lo?!"
Sharon yang mendengarnya langsung menggelengkan kepalanya, "Jangan bilang, lo..." ucapannya menggantung, San dengan muaknya langsung menjawab.
"Iya, gue suka sama Neyna!"
"San, lo gila," ujar Sharon yang kini menatap saudara kembarnya itu tak percaya. "Dan, lo fitnah Van sebagai orang yang udah nyebarin gosip itu. IYA, KAN?!"
San terkekeh sinis, "Iya, kenapa?"
"KENAPA?! KENAPA LO LAKUIN ITU?!"
"Gue juga gak suka sama Van. Inget waktu kita pertama kali ketemu, gimana dia datang dengan sombongnya sama kita, lo gak lupa itu, kan?!"