Keesokan harinya, Via yang baru saja bangun itu berjalan keluar kamar dengan wajah yang masih mengantuk. Ia terkejut ketika melihat seorang pria yang tertidur pulas disebuah sofa. Dengan rasa penasarannya itu, Via memberanikan diri untuk mendekatinya.
Matanya membola karena terkejut setelah melihat wajah itu, wajah yang sama ketika dirinya lihat saat itu ketika sedang bersama dengan Ibunya.
"Om John," gumam Via.
Seketika muncul beberapa pertanyaan dalam kepalanya. Setelah dirasa puas memperhatikan wajah tegas itu, Via langsung mencari keberadaan Ibunya.
Via menemukan Mara dihalaman belakang rumahnya, ia melihat Ibunya yang tengah menyendiri sembari melamun. Melihat itu, Via langsung menghampirinya.
"Ibu," panggilnya.
Mara yang tengah merenung pun terkejut dengan kehadiran putrinya itu, ia langsung menoleh menatap putrinya yang baru saja bangun.
Ibu Via mengusap kedua pipi milik putrinya itu dengan lembut, menyalurkan kasih sayang kepada Via. Sedangkan putrinya yang diperlakukan seperti itu pun langsung menutup matanya, merasakan sentuhan lembut dari Ibunya.
"Sayang, kamu kok belum siap-siap?"
Via yang sedang asik merasakan kenyamanan yang Ibunya berikan itu pun langsung membuka matanya dalam sekejap. Ia benar-benar lupa akan hal itu.
Mendengar kata Sekolah, ia menjadi teringat kejadian kemarin, bagaimana Via merasa terasingkan oleh orang-orang disana. Ia masih belum bisa melawan perasaan takutnya itu, apalagi ketika teringat bagaimana orang-orang menatapnya dengan tatapan yang benar-benar membuatnya merasa tak nyaman.
Via meringis ketika mengingat itu semua, ia lalu menatap Ibunya dengan senyum yang dipaksakan. Sedangkan Ibu Via yang melihat itu langsung bertanya, "Ada apa?" tanya nya.
Sejujurnya, Via ragu untuk mengatakan apa yang terjadi kemarin, tentu saja, gadis itu tak ingin Mara merasa bersalah. Keputusan untuk menutupinya itu sudah benar, ia merasa mulai saat ini, detik ini, dirinya harus belajar mandiri.
Ia yakin terhadap diri sendiri, bahwa Via mampu melawan rasa takutnya itu. Karena jika tidak, mata yang selalu mengeluarkan air mata karenanya itu akan muncul terlihat dalam bayangannya, membuatnya menjadi semakin merasa bersalah.
"Via hari ini gak masuk Sekolah dulu, ya, Bu."
"Loh, memangnya kenapa?" tanya Ibu Via yang langsung menyentuh keningnya karena khawatir. "Kamu sakit?"
Via yang melihat Ibunya seperti itu pun menjadi merasa tak tega, mungkin lebih baik jika dirinya pergi bersekolah saja, pikirnya. Ia pun langsung berdiri dengan senyum yang mengembang.
"Via gak sakit, kok. Kalau gitu, Via mandi dulu, ya, Bu."
Setelah kepergian gadis itu, Mara mendadak cemas, pikirannya tiba-tiba tertuju pada masa lalu putrinya. Ia merasa jika Via masih belum bisa melupakan kejadian yang menimpanya ketika masih kecil dulu.
Tetapi Mara langsung menggelengkan kepalanya, ia menghela nafas dan menyangkal pikiran-pikiran yang datang. Itu pasti hanyalah perasaannya saja, karena dirinya yang terlalu mengkhawatirkan Via.
Jujur saja, sejak kehadiran pria itu kembali dalam kehidupannya, Ibu Via merasa kegelisahan datang kembali. Entah kenapa, ia merasa jika akhir-akhir ini perasaannya tak karuan, tetapi semoga itu hanyalah perasaannya saja dan tidak akan mungkin terjadi.
Kini seorang pria baru saja bangun dari tidurnya. Ia langsung melihat sekitar yang ternyata sepi, tak ada seorang pun disini. Ia langsung berdiri dari baringannya itu untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah tidur.
Tanpa pikir panjang, ia langsung memasuki kamar mandi yang berada dekat dengan dapur. Setelah selesai mandi, suara pintu yang ditutup membuatnya menoleh, ternyata itu adalah Mara. Pria itu menghampiri Ibu Via yang sedari tadi menunduk. John paham dengan itu, dirinya bisa mengerti dengan sikap Mara yang seperti ini.
John tahu bahwa tak mudah bagi wanita seperti Mara untuk menerima kehadirannya lagi. Sudah pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk itu.
Senyum pun terbit dari bibirnya, ia benci suasana yang canggung seperti ini, maka dari itu John langsung menyapa wanita itu dengan senyum terbaiknya.
"Pagi, Mara," sapa John. Ibu Via yang mendengarnya pun akhirnya mendongak, menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk.
"Pagi," jawabnya. Kemudian ia melihat Via yang baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian seragamnya yang sudah melekat dalam tubuhnya itu.
John yang melihatnya pun ikut tersenyum, putrinya benar-benar cantik, lihatlah, betapa miripnya Via dengan Ibunya ketika masih remaja dulu. Menurutnya, Via adalah Mara versi muda.
Ibu Via langsung menghampiri putrinya itu, lalu mengajaknya untuk sarapan bersama. Begitu pula John yang kini juga ikut duduk bersama mereka berdua. Via yang menyadari kehadiran orang lain pun langsung menatap John dengan penuh tanda tanya.
Ibu Via yang melihat tatapan putrinya itu langsung menjawabnya, "Sayang, ini nasi gorengnya. Inget, habiskan makanannya," ujarnya.
John dalam diamnya melihat Via, bahkan sesekali memperhatikan putrinya itu sembari mengulum senyumnya. Tak sadarkah Via, jika yang tengah dilakukannya itu benar-benar membuatnya tak tahan ingin mencium seluruh wajahnya.
Suara deheman Mara membuat John menoleh menatapnya. Tatapan John seolah bertanya membuat Ibu Via menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Via yang sudah selesai dengan sarapannya pun langsung tersedak ketika ternyata makanannya dengan John benar-benar sama.
John langsung memberikan segelas susu itu kepada Via yang tersedak. Sedangkan Ibu Via langsung bernafas lega ketika melihat itu.
"Vivi, hati-hati makannya," peringat Mara sembari menepuk-nepuk tengkuk Via.
"I-iya, Bu."
"Via," panggil John membuat gadis itu dan Mara pun menatap padanya. Ia tersenyum menatap Via yang kini tengah menatapnya.
"Berangkat Sekolah dianterin Om, mau gak?"
Mendengar itu membuat alis Mara berkerut. Ia tahu betul jika John datang kemari tanpa menggunakan mobilnya. Lalu, kenapa pria itu menawarkan diri pada Via?
"John," panggil Mara yang membuat John menoleh seakan mengerti arti dari tatapan matanya itu.
Pria itu pun tersenyum, "Tenang, aku temani Via naik Taxi. Kamu jangan khawatir begitu, Mar," ujar John.
Ibu Via yang melihatnya pun hanya menghela nafas, ia pikir John menyuruh suruhannya untuk mengantarkan mobil kesini. Namun, ternyata tidak. Pria itu baru saja mengatakan akan menemani Via berangkat ke Sekolah menggunakan Taxi.
John melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, itu artinya sebentar lagi Via akan terlambat. Ia langsung mengajak gadis itu yang hanya diam saja mengikutinya.
"Ayok, masuk ke mobil," titah John dengan lembut ketika melihat taxi yang sudah berhenti dihadapan mereka.
Selama perjalanan tak ada yang memulai pembicaraan, John tak henti-hentinya tersenyum sembari menggenggam pergelangan tangan Via yang sudah terlihat jelas sekali jika saat ini putrinya sangat begitu ketakutan dan belum terbiasa dengan semua ini.
Rudy benar, Via sepertinya tidak dibiarkan mengenal dunia luar oleh Mara. Tetapi John juga tak bisa menyalahkan wanita itu sepenuhnya, ia mengerti dengan segala ketakutan dan kekhawatirannya.
John dengan penuh perhatian mengusap setiap keringat yang mengalir memenuhi kening dan pelipis dari putrinya itu. Via yang diperlakukan seperti itu pun langsung mempersempit jarak yang dirinya buat tadi karena merasa terlindungi oleh perlakuan pria itu padanya.
"Tenanglah, kita akan baik-baik saja," ujar John berusaha menenangkan Via. Ia bisa melihat jika putrinya menganggukan kepalanya, lalu menyandarkan kepala gadis itu agar bersandar dipundaknya.
Akhirnya, Via dan John pun sampai didepan Sekolah. Mereka berdua pun menuruni mobil setelah pria itu membayarnya. John meraih pergelangan tangan putrinya yang mulai memasuki area Sekolah. Lagi-lagi, John melihat dengan mata kepalanya sendiri jika gadis itu tengah menahan ketakutannya.
Sungguh, melihat itu John benar-benar merasa bersedih. Setelah sampai didepan sebuah kelas, ia melihat Via yang langsung memasuki kelasnya itu dengan kepala yang menunduk. John terus memperhatikannya sampai putrinya itu duduk dibangkunya sendiri.
Via yang merasa diperhatikan seperti itu pun langsung menunduk, ia merasa malu sekaligu takut saat ini karena teman-teman sekelasnya memperhatikannya dan juga John.
Melihat itu John tersenyum, lalu pergi menjauhi kelas Via. Sebelum itu ia menyempatkan diri untuk menyapa para guru yang kebetulan sedang berpapasan dengannya.