Chereads / MUTIARANYA KANG PUR / Chapter 7 - 7. Mut Imut vs Yuyu Kang-kang

Chapter 7 - 7. Mut Imut vs Yuyu Kang-kang

Setelah sampai di tempat si imut, aku mendorong motornya ke bengkel terdekat. Terdekatnya cuma sekilo kok. Demi si imut tersayang aku rela mendorong motor mogok sampai pegel, kemejaku sudah basah kuyup karena keringat yang bercucuran. Semoga saja Mutia tidak bisa membaui keringatku yang pasti baunya wangi. Wangi asem maksudku, hahaaa.

Mutia membuntuti dari belakang naik motorku.

"Capek ya Kang? Apa gantian aku aja yang nuntun motornya sampeyan naik motornya aja ya Kang."

"Ndak papa Mut Imut, demi kamu nuntun motor satu kilometer mah Yuyu Kang Kang rela. Asal bisa lihat senyum manismu." padahal tubuhku sudah pegel linu capek remuk redam, tapi kutahan. Gengsi dong mengeluh di depan gadis kesayangan. Bonusnya wajah manisnya jadi bersemu merah. Aihhh nggak sia-sia gombalanku kan, meskipun badan pegel semua.

"Gustiii Allah, bisa manis juga sampeyan Kang. Manis tapi rasa gombal mukiyo."

"Bukan gombal mukiyo Mut, ini jujur dari hatiku yang paling dalam. Kamu memang imut, makanya aku suka panggilan itu. Ngomong-ngomong kamu panggil Yuyu Kang-kang itu panggilan kesayangan ya Mut. Apa artinya? Tapi kan Yuyu Kang-kang itu..." kalian tahu kan cerita yuyu kang kang di legenda ande-ande lumut? Dia kan playboy sukanya mencari keuntungan pada gadis yang minta tolong padanya. Apa jangan-jangan aku dicap playboy karena suka gombalin gadis imut itu ya? Wah bahaya, jatuh dong wibawaku sabagai lelaki setia dan penyayang.

Mutia terkikik, "kikikikkkk bukan maksudku begitu Kang. Aku kan suka manggil sampeyan Kang, nah dicerita ande-ande lumut itu kan si yuyu kang-kang kan nolongin cewek-cewek nyebrang sungai buat ngelamar ande-ande lumut. Kalau Kang Pur akn nolongin aku karena ban motorku kempes. Intinya kan sama-sama membantu masalah transportasi Kang. Bedanya kalau yuyu kang-kang ngajak banyak cewek kalau kamu cuma ngajak aku gak suka modusin banyak cewek. Eh, maksudku..."

"Cieee ngakuin ya kalau aku cuma deket sama kamu. Aku jadi ge er nih Mut. Apalagi kalau malu gitu wajahmu jadi merah, salting ya? Iya kan iya kan. Ngaku deh, aku juga seneng kok lihat wajahmu yang merah jadi makin imut. Pas kan sama panggilan sayang aku, Mut Imut." Sumpah demi apa aku juga kaget bisa seberani itu sama Mutia. Sampai umur 21 tahun ini aku sama sekali nggak pernah gombalin cewek. Walaupun banyak yang nembak aku jadi pacarnya tapi selalu kutolak mereka dengan halus. Aku memang suka berteman dengan siapa saja tapi aku membatasi diri dekat dengan cewek. Aku selalu ingat pesan Bapak Emak kalau aku tidak boleh mempermainkan hati wanita.

"Udah deh Kang, nggak pantes kamu gombalin aku. Lha wong kenyataannya aku jelek gak ada manis-manisnya kok. Lagian kalau sampeyan gombalin aku nanti ada yang marah lho."

"Emang kamu punya pacar ya Mut, makanya kalau tak gombalin ada yang marah. Wahh patah hati aku Mut." aku memasang muka sedih dan memelas.

"Wkwkkkkkkkk, dasar Yuyu Kang Kang. Gak peka banget jadi lelaki."

Apanya yang salah ya? Ada yang mau memberitahu salahku apa? Kok aku dibilang nggak peka sih. Emang aku nggak peka di bagian mana? Aku jadi malah makin bingung pemirsa dengan ucapan Mut Imut.

------

Setelah berjalan 40 menit akhirnya ketemu bengkel juga. Alhamdulillaah rejeki anak sholeh. Saat menunggu motor sedang diperbaiki tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang dingin di pipiku.

"Nih Kang air dingin, biar badan jadi adem. Maafin aku ya Kang, udah ngrepotin Sampeyan terus. Apalagi bentar lagi kan Sampeyan masuk shif sore, bisa telat nanti. Aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong sama siapa tadi. Yang dipikiranku cuma Sampeyan Kang. Sekali lagi Muti minta maaf ya Kang"

"Udah Mut?"

"Udah apanya Kang?" Tanya gadis manis ini dengan penuh tanda tanya.

"Nggremenge(bicaranya) to Mut. Dari tadi minta maaf terus. Kapan minta dinikahnya?" candaku.

"Dih ngawurrr, Kesambet jin dari mana tadi." Balas gadia manis nan imut yang duduk di sebelahku.

"Oh iya maturnuwun ya airnya, rasanya kaya ada manis-manisnya gitu. Apa karena aku minumnya di sebelah gadis yang senyumnya manis ya?" jawabku menggodanya. Dan bisa ditebak mukanya pasti bersemu merah lagi. Bikin aku gemas dan pengin nyium. Eh maaf khilaf, bisa digampar sama gadis manis ini kalau sampai itu terjadi. Wkwkkkkk.

Bugh, bugh, bugh. Gadis imut itu memukul bahuku dengan tas ranselnya. Bukan memukul dalam arti kekerasan sih, tapi dalam artian sayang. Hahaa itu hanya khayalanku saja sih.

"Ngawuur tenan Sampeyan saiki Kang. Wis ngalahke raja gombal pokoke."

"Nggak papa digebuki gadis manis dan mut imut seperti kamu. Asal memukulnya penuh dengan perasaan dan kasih sayang. Iya kan kan kan kan."

godaku sambil menaik turunkan alis.

Wajahnya bersemu merah lagi. Kemudian dia menutup wajahnya yang bersemu merah dengan kedua telapak tangannya. Mungkin malu dia. Ah aku malah semakin ingin menggodanya. 30 menit berlalu tanpa terasa motor Mutia sudah selesai diperbaiki. Setelah kubayar biaya perbaikan motor, kami meninggalkan bengkel dengan menaiki motor beriringan menuju mini market tempat bekerja karena kebetulan shift kami sama sore ini.

-----

"Kang nanti kalau mau pulang tunggu sebentar ya, aku mau ganti uang Sampeyan tadi."

"Emang siapa yang suruh ganti Mut? Aku kan nolongnya ikhlas ridho Lillahi Ta'ala.  Nggak perlu diganti, nggak bakalan aku terima. Alhamdulillaah aku ada rejeki, kemarin dapat tambahan bonus dari Bos."

"Tapi kan Kang,"

"Udah beneran aku ikhlas kok. Itung-itung bantu calon."

"Hah, calon? Calon apa?!"

"Calon is, eh calon sarjana maksudku." jawabku sambil mengelak. Karena memang kami sebentar lagi memang akan lulus menjadi sarjana. Jadi aku nggak salah kan?

"Yawis maturnuwun ya Kang. Aku doakan semoga rejeki Sampeyan tambah kathah lan barokah bisa buat pergi ke Mekah dan Madinah. Aamiin."

"Aamiin, doa yang sama juga buat kamu Mut."

-----

"Pur, kamu sama Mutiara pacaran ya? Deket banget kelihatannya kalian." Juna sahabat satu jurusan dan juga satu kos.

"Nggak Jun. Aku memang suka dan sayang sama dia. Tapi aku takut mengambil langkah serius. Kamu tahulah keadaanku. Cuma anak buruh tani, bisa kuliah juga mengandalkan beasiswa. Apa yang bisa kubanggakan kalau mau melamar anak gadis orang."

"Eh Bro, sekarang udah nggak jaman ada perbedaan kasta. Kamu lihat dulu dong, dia kan nggak terlihat matre, pinter, dapat beasiswa juga. Malah aku suka lihat dia sama teman satu jurusannya suka bagi-bagi nasi bungkus gratis sama pemulung dan tukang becak, satpam sebulan sekali."

"Eh masak sih, Jun. Aku kok gak pernah tahu ya? Lagian kamu dapat info tentang Mutia dari siapa Jun? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia ya. Apa selama ini kamu jadi stalker-nya Mutia? Ayo Jun jawab, ngaku aja." aku memberikan sederet pertanyaan sekaligus tuduhan sama Juna. Entahlah aku merasa ada yang sakit di dadaku mendengar ada cowok lain yang tahu tentang Mutia sedetail itu. Apa aku cemburu?

"Yaelah Bro satu-satu napa kalau tanya, wis kaya gerbong sepur pitakonanmu. Ternyata jatuh cinta bikin hilang akal bener juga ya. Sebenarnya aku tahu tentang Mutia dari Vika."

"Haaa. Tunggu dulu tunggu dulu, sejak kapan kamu dekat sama Vika Bro? Apa kalian temenan?" aku curiga sama kedekatan Juna sama Vika. Mereka tak pernah terlihat berduaan atau ketemuan. Aku sedikit banyak tahu tentang Juna. Tapi sepertinya aku melupakan sesuatu. Mereka kan berasal dari satu Kabupaten. Apa jangan-jangan...

"Eheheheee. Emmm anu sebenarnya aku sama Vika udah kenal lama Bro. Kami kan dari satu Kota ya beda Kecamatan sih. Kami kan sama-sama dari Solo. "

"Dekat dalam artian apa nih kalian?" lanjutku karena penasaran.

"Sebenarnya kami udah tunangan Bro. Kami kenal karena dijodohin sih. Orangtua kami teman akrab dulu. Entahlah mereka memiliki janji apa, sampai menjodohkan kami. Awalnya aku sama dia sama-sama berontak gak setuju. Tapi akhirnya luluh juga karena kami nggak mau mengecewakan orangtua. Akhirnya kami sepakat untuk saling mengenal dulu, semakin kenal sih so far kurasa Vika gadis yang baik, pintar nggak neko-neko. Kemarin aku sempat cemburu sama kamu lho Bro."

Benar kan kecurigaanku. Aku tahu Vika itu pandai jaga rahasia, jadi dia gak mungkin sembarang cerita sama orang yang belum dikenal dengan baik tentang perasaanku ke gadis imut itu. Ah aku jadi ingat Si Mut Imut lagi. Apa aku kangen?

"Cemburu sama aku? Aku kan nggak pernah ngapa-ngapain sama Vika?"

"Kemarin kalian kan berduaan di taman Fakultas Bro. Kirain kamu pedekate sama Vika. Setelah aku tanya ternyata dia cuma nanyain perasaanmu sama Mutia. Maaf ya Bro udah buruk sangka sama kamu. Kayaknya aku sekarang udah jatuh cinta deh sama Vika."

"Ciee cieee cieeee. Yang udah mulai jatuh cinta selamat ya, aku mah apa atuh. Belum berani terus terang sama yang disayang."

"Mau kubantu Bro, tak comblangi nanti sama Mutia."

"Tunggu kalau aku udah kerja aja deh Jun. Sekarang rasanya belum pantes buat melamar Mutia. Lagian kan aku juga belum tahu perasaannya, kalau bertepuk sebelah tangan sakit nanti Bro. Emang sih dia baik tapi aku belum tahu secara pasti isi hatinya. Apa mungkin dia suka sama cowok miskin kayak aku."

Entahlah, kalau membicarakan masalah keseriusan sama Mutia kepercayaan diriku otomatis terkikis habis. Meskipun banyak dari teman yang bilang kalau wajahku ganteng tapi jaman sekarang siapa sih yang nggak pengin punya suami mapan, punya pekerjaan dan kaya? Dan semua itu belum aku dapatkan sekarang.

"Begitu ya pendapatmu Bro. Kalau menurutku sih penting usaha dulu aja. Kalau ditolak ya harus lapang dada, diterima ya sujud syukur, kalau nggak usaha  diambil orang tau rasa Lo. Gitu aja repot! Lagian lelaki ya jangan malu ditolak lah. Biasanya kan kamu yang selalu menolak cewek-cewek yang nembak kamu. Udah berapa tuh yang patah hatinya kamu tolak. Mereka mengira kamu itu terlalu sombong lho Pur. Aku tahu karena ada beberapa yang bilang sama aku setelah kamu tolak."

"Sombong?! Apa sih yang bisa kusombogin Jun. Satu-satunya ya cuma wajah ganteng ini hahahaa. Tapi aku bukan tipe lelaki yang modal tampang doang Jun. Lagian dari semua cewek yang nembak nggak asa yang sreg dihati, cuma Si Imut yang bikin hatiku jedag jedug Jun."

"Yaelahh Bro, jedag jedug kaya musik disko aja. Yaudah deh serah, harga dirimu terlalu tinggi. Gak kuat menek'e(panjatnya) aku Bro."

"Bwahahaaaa bisa aja Lu Jun." jawabku sambil tersenyum, lebih tepatnya meringis sih. Aku berpikir ada benarnya juga perkataan Jun tentang kemungkinan Mutia diambil orang dan harga diriku yang terlalu tinggi. Benarkah?

"Ah kau Jun, bikin aku jadi galau aja. Kalau beneran Mutia diambil orang bisa nangis aku Jun. Sekoga aja Si Imut jodohku deh. Aamiin.

--------

Tanpa terasa kebersamaanku dan Mutia sudah terjalin hampir 4 tahun. Itu artinya kami akan sama-sama lulus dan mendapat gelar Sarjana. Selama 4 bulan terakhir kami jarang bertemu karena sibuk masing-masing mengerjakan skripsi. Kami juga keluar dari minimarket tempat kami bekerja. Jadwal bimbingan dengan dosen waktunya tidak menentu, jadi daripada kami kena tegur manajer lebih baik mengundurkan diri. Kadang mahasiswa sudah menunggu seharian di kampus, dosennya nggak bisa datang karena tugas luar kota. Bahkan aku pernah ketemu dosen jam 9 malam untuk bimbingan karena beliau memang kosongnya hanya di jam tersebut. Namanya mahasiswa butuh nilai ya kami manut saja.

Untuk masalah biaya, alhamdulillah aku punya sedikit tabungan hasil gaji di minimarket. Memang ini sudah kurencanakan dari jauh hari. Aku tahu kalau ngurus skripsi itu nggak gampang, butuh tenaga pikiran dan waktu. Maka jauh hari tiap bulan selalu kusisihkan gajiku untuk persiapan skripsi. Syukurnya lagi aku kan kuliah dapat beasiswa jadi untuk kuliah aku bisa ngirit biaya. Cukup butuh biaya hidup saja.

Awalnya Pak Hadi keberatan aku dan Mutia mengundurkan diri. Beliau suka dengan keuletan dan kedisiplinan kerja kami. Tapi apa daya aku juga nggak sanggup untuk buat skripsi disambi kerja. Ditambah pertimbangan adanya KKN juga yang menyita waktu, akhirnya tetap  kami putuskan mengundurkan diri.

Selama proses penyusunan skripsi aku jarang bertemu dengan Mutia. Kami fokus dengan kegiatan masing-masing. Alhamdulillaah berkat kerja kerasku aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik di jurusanku dengan sebutan cumlaude. Aku sangat bersyukur untuk itu. Aku sampai menitikkan air mata atas hasil yang kuraih. Mutia juga lulus di tahun yang sama, dia juga mendapat IPK yang tinggi meski bukan terbaik. Kami saling mengucapkan selamat lewat telepon sesaat setelah pengumuman nilai kelulusan. Tapi aku seperti mendengar nada kesedihan saat dia mengucapkan selamat kepadaku. Apa yang dirasakannya? Kenapa dia seperti bersedih?

-----

Pagi setelah pengumuman kelulusan banyak mahasiswa yang akan pulang kampung sambil menunggu jadwal wisuda. Aku bertekat menemui gadis manis itu di kosnya.

Saat sampai di depan kos Mutia, aku melihat dia sudah menata barang-barangnya di kardus untuk dibawa pulang.

"Assalamualaikum Mutia."

"Waalaikumsalam Kang. Eh Kang Pur, silakan duduk. Maaf nih disambi mengeluarkan batang-barangku nggak apa-apa ya Kang. Setengah jam lagi travelnya sudah jemput kesini."

Deg. Jantungku seperti berhenti berdetak, aku merasa hatiku tak rela kami akan berpisah. Padahal aku belum menyatakan perasaanku padanya. Tapi aku juga takut mengatakan yang sebenarnya. Baru kali ini hatiku merasa tercabik sakit.

Tapi segera kembali kesadaranku dan kubantu Mutia mengeluarkan barang-barangnya dari kamarnya. Sepuluh menit akhirnya selesai aku membantunya.

"Terimakasih, maturnuwun Kang Pur selalu membantu Muti. Muti nggak bisa bales semua bantuan Sampeyan Kang."

"Iya Mut, sama-sama. Aku juga makasih kamu sudah mau jadi teman terbaikku."

Gadis itu seperti bingung mencerna kalimatku. Aku memang benar-benar pengecut yang tak berani berterus terang. Saat kupandang matanya, keberanianku hilang entah kemana.

"Maksudnya terbaik apa ya Kang?"

"Ah, heheheee kan cuma kamu cewek yang deket sama aku Mut. Jadi ya kamu terbaik."

Gadis manis itu cuma membulatkan mulutnya membentuk huruf O. Tapi aku bisa membaca ada kilatan kekecewaan dalam dirinya. Aku yang telah mematahkan hatinya setelah memberikan harapan yang besar. Bukankah aku pecundang sempurna?

"Mut, kalau wisuda nanti kamu hadir kan?"

"Insyaallah hadir Kang. Masak udah berjuang tinggal wisuda aja nggak datang. Rugi dong."

"Iya, nanti pas wisuda aku mau ketemu kamu dan orangtuamu. Nanti aku hubungi kamu deh biar bisa ketemu."

"Ketemu orangtuaku? Buat apa Kang?'

"Mau ngelamar anak gadisnya. Eh." aku kaget dengan jawabanku yang spontan.

"Ngawurr tenan Sampeyan iki. Palingan yo guyon to Kang."

Tin. Tin. Belum sempat aku menjawab mobil travel yang dipesan Mutia sudah datang. Dia terlihat berpamitan pada Ibu kos dan teman-temannya. Aku membantu sopir menaikkan barang ke mobil.

"Kang, aku pamit ya. Semoga bisa ketemu saat wisuda nanti ya. Eh kalau sebelum wisuda sudah nikah jangan lupa undang aku Kang. Assalamualaikum."

Aku menjawab salam Mutia dengan lirih. Aku melambaikan tangan padanya dan berpesan supaya dia berhati-hati di jalan, tak lupa kudoakan dia selamat sampai rumah.

Mobil travel yang ditumpangi Mutia berlalu. Dan ada satu bagian di hatiku yang terasa hilang. Aku yakin itu karenamu Mut. Tapi aku benar-benar pecundang yang tak pantas mendapatkan cintamu. Tanpa terasa dua tetes air jatuh di pipiku. Aku merasa sudah kehilangan cintaku. Ya Allah semoga aku bisa bertemu lagi dengan Mutiara, dan suatu saat aku bisa menyebut gadis manis itu dengan sebutan MUTIARANYA KANG PUR.