Sehari setelah kepergian Mutiara ke kampung halamannya di Rembang, aku mendapat tawaran kerja di salah satu Sekolah Dasar bergengsi di Semarang sebagai guru mapel IT. Bagai mendapat pencerahan, aku langsung menerima tawaran tersebut. Tentunya setelah mendapat ijin dari kedua orang yang membesarkanku.
Allah seperti memberiku banyak kemudahan. Tempat kerjaku dekat dengan kos, jadi aku tak perlu pindah kos. Selain itu suasana kerja disini enak, gurunya ramah-ramah dan suasana keagamaan sangat terasa bukan hanya bagi murid tapi seluruh warga sekolah. Jadi guru dan murid terbiasa sholat fardhu dan sholat sunnah.
Meskipun memakai kurikulum keagamaan tetapi budaya juga tidak dilupakan di sekolah ini. Tiap hari Kamis anak-anak maupun guru memakai pakaian adat jawa tengah dan diwajibkan berbasa jawa saat komunikasi. Bagi yang awam diperbolehkan berbahasa jawa ngoko, bagi yang sudah terbiasa terutama murid kelas 4, 5 dan 6 memakai basa krama. Sungguh aku sangat senang bisa menjadi bagian dari sekolah yang menerapkan kurikulum yang luar biasa perpaduan ilmu agama, budaya dan akhlak.
Sambil mengajar aku mencari informasi pendaftaran S2 di Semarang biar lebih dekat. Akhirnya aku mendaftarkan S2 ku di UNDIP. Aku bersyukur akan segala kemudahan yang diberikan Allah. Aku mendapat beasiswa lagi karena mendapat nilai cumlaude di kampusku dulu. Aku sangat bersyukur untuk itu. Jadi untuk kuliah ini aku bisa mengirit biaya kuliah, jadi aku bisa membantu Emak Bapak di kampung dan menabung untuk melamar si Imut, ups hehee.
----
Akhirnya hari wisuda yang kutunggu terlaksana juga. Kemarin aku sudah menjemput orangtuaku dari kampung untuk mendampingiku wisuda. Aku ingin menghadiahkan ini untuk jerih payah mereka telah membesarkan dan mendidikku. Aku juga menanti hari ini untuk bertemu dengannya, iya si manis nan imut yang selalu membuat hatiku merindukannya. Aku juga sudah menyiapkan sesuatu yang spesial untuk gadisku itu. Jangan protes aku menyebut Mutia 'gadisku', ini doaku supaya terkabul. Doakan aku ya.
Prosesi upacara wisuda sudah dimulai sejak pukul sembilan. Aku dipanggil untuk memberikan sambutan mewakili wisudawan dan wisudawati serta mendapat penghargaan lulusan terbaik dengan nilai cumlaude dan kehormatan untuk diwisuda pertama kali.

Setelah prosesi wisuda yang ditandai dengan pengalihan tali toga dari sebelah kiri ke kanan didampingi Emak dan Bapak aku kembali ke tempat duduk kembali. Sebelum duduk orangtuaku memelukku penuh haru, mereka menciumiku sambil meneteskan air mata keharuan.
"Emak bangga karo kowe Pur, meskipun Emak Bapak wong miskin tapi awakmu isa mbanggakke Emak Bapak Le. Maturnuwun Gusti kula diparingi putra sing sholeh lan pinter. Muga-muga anak lanage kula niki saget ngamalke ilmune kanti manfaat. Saget dados tiyang sing mbeta cahaya kangge masyarakat sekelilinge, nggadhahi akhlak ingkang sampurno." Aku mengaminkan doa orangtuaku, ikut terharu menitikkan airmata ternyata dibalik nama yang sering diejek temanku ternyata tersemat doa yang sangat baik dari Emak Bapakku.
"Bapak juga bangga sama kamu Le. Tetep jadi orang yang rendah hati ya Le, aja dumeh dadi wong sing berilmu. Wong sangsaya akeh ilmune kudu saya akeh manfaate ya." Bapak ganti memelukku sambil menepuk pundakku.
"Enggih Mak, Pak. Nyuwun pangestune Bapak Emak nggih. Semoga Pur selalu tawaduk dan bisa membawa manfaat nggih Pak, Mak, jauh dari marabahaya."
"Aamiin..." Emak Bapakku mengaminkan doaku bersamaan.
"Tanpa kamu minta, kami selalu berdoa untuk anak lanang sing paling tak sayangi iki." Kata Emak.
"Maturnuwun Mak, Pak. Pur bangga dados putrane penjenengan." Aku memeluk lagi kedua orangtuaku.
Setelah acara wisuda selesai aku berfoto dulu dengan kedua orangtuaku, teman-teman satu jurusan juga teman lainnya. Alhamdulillaah aku termasuk orang yang mudah bergaul jadi banyak teman. Ucapan selamat tak hentinya mereka ucapkan. Aku hanya bisa mengucap syukur atas prestasi ini.
"Bro, selamat ya kamu memang hebat. Sudah kerja pula." Itu ucapan dari Juna temanku.
"Alhamdulillaah, makasih Jun. Selamat juga buatmu. Wis sudah wisuda sebentar lagi wisuda di depan penghulu. Jangan lupa undangannya Jun, insyaallah kalau nggak ada halangan aku bakal datang."
"Hahaa, iya alhamdulillaah Pur, bener datang ya insyaallah bulan Oktober tahun depan datang ya ke Kendal. Undangannya tak kirim lewat WA ya."
"Yawis nanti amplopnya juga tak kirim lewat WA juga ya. Hahaa."
"Aseeem lo Bro. Eh Betewe kamu udah ketemu sama Mutiara belum? Kelihatannya tadi ada deh sama grup trionya."
"Trio? Siapa?" tanyaku bingung.
"Siapa lagi, Mutia, Eli sama Vika. Mereka kan udah kayak trio Bro. Kemana-mana selalu bertiga."
Mulutku membentuk huruf O. Kemudian kami lanjut mencari trio itu. Aku juga mengajak Bapak Emak untuk mencari Mutia dan keluarganya. Siapa tahu aku dijodohkan sama anak gadis mereka. Uhukkkk mimpiku ketinggian.
"Vik, El selamat ya." Kuucapkan selamat untuk teman Mutia.
"Eh iya Pur, makasih ya. Selamat juga buat lulusan terbaik tahun ini. Sampurno the best deh. Eh tapi cuma kita berdua nih yang dikasih selamat. Mutia dilupain nih." Jawab Vika.
"Selamat ya Pur atas prestasinya. Selamat juga kabarnya udah dapat kerjaan jadi pak guru ya? Udah lanjut S2 juga. Ck ck ck kamu emang selalu selangkah di depan dari kami. Mut, ini lho kamu dicariin Kang Pur-mu. Kangen katanya Mut, ehem ehem." Itu godaan dari Eli. Kuucapkan terimakasih untuk mereka berdua.
"Selamat ya Mut, semoga ilmunya manfaat. Selamat berjuang semoga lolos CPNS tahun ini ya." Aku mengucapkan selamat untuk gadis imut didepanku ini. Dan jantungku mulai berulah melihat Mutia yang biasanya dengan wajah polos kini berias. Tampak lebih manis dan ayu. Ehemmm jantung kumohon jangan berulah. Bisa malu aku kalau sampai mereka mendengar suara degup jantungku.
"Aamiin, maturnuwun atas doa Kang Pur. Selamat juga untuk sampeyan atas prestasinya. Eh Kang kenalkan ini Bapak Ibuku, ini kakakku. Pak, Buk, Mbak Mala kenalkan ini Kang Pur, teman Mutia waktu kerja di minimarket."
"Ehemmm.. uhukk."
"Ciyeeeeee."
"Pak Arif, kenalkan ini calon mantu Pak."
Itu suara-suara ledekan dari Jun, Vika sama Eli. Hadduhhh sudah memerah mukaku menahan malu.
"Sampurno rencange Mutia, Pak."
"Arif, Bapaknya Mutia. Wah selamat ya Le, Bapak bangga sama anak muda yang berprestasi dan tidak malu bekerja keras seperti kamu. Asalmu dari mana Le?"
"Saking Solo Pak. Mangga pinarak mbok menawi Bapak Ibu tindak Solo." Kucium dan kusalami tangan calon mertua, (eh jangan protes lagi) lalu memperkenalkan diri. Kalau ini bukan modus lho ya. Memang sejak kecil aku selalu diajarkan tentang sopan santun sama orang yang lebih tua.
"Iya-iya, kamu juga Pur. Kalau kamu pas ke Rembang jangan lupa mampir ke rumah Bapak. Rumah Bapak ada di dekat makan Kartini."
"Tuh Pur, udah dapat kode tuh udah dapat restu dari Pak Arif, buruan lamar Mutianya." Jun memang kompor sejati. Aku jadi salah tingkah. Kulihat Pak Arif hanya geleng-geleng kepala melihat kekonyolan kami.
Setelah bersalaman sama Mbak Mala, dia tersenyuman seperti senyum meledek Mutia atau entahlah senyum yang aneh.
"Oh ini to Sampurno yang sering kamu ceritain itu. Yang diam-diam dikag... Hmmppff."
Belum selesai Mbak Mala berkata mulutnya sudah ditutup Mutia sambil geleng-geleng kepala tanda memohon supaya kakaknya tidak meneruskan kalimatnya. Apa tadi yang mau dikatakan Mbak Mala ya? Dika, dika. Apa Mutia dijodohkan sama Dika? Ah semoga saja tidak.
"Oh iya, Pak, Bu, Mutia, perkenalkan ini Bapak Emakku."
Kedua orangtuaku dan orangtua Mutia saling berkenalan. Mereka asyik berbincang setelahnya. Kemudian Vika, Jun sama Eli berpamitan kembali mencari keluarga masing-masing. Setelah saling berpelukan merekapun berpisah. Aku meminta ijin mengajak Mutia untuk agak menjauh dari kerumunan untuk berbicara.
"Mut, emmmm aku mau ngasih ini buat kenang-kenangan dariku." kuserahkan kado yang semalam kubungkus untuk gadis pujaanku.
"Apa ini Kang?"
"Hadiah sederhana kok, sebagai ucapan selamat dan terimakasih selama ini sudah jadi sahabat terbaikku. Dan ini surat, tolong baca ya tapi setelah sampai di rumah saja."
"Maturnuwun kadonya Kang. Maaf Muti malah nggak nyiapin apa-apa buat sampeyan. Padahala kan seharusnya dapat hadiah sampeyan. Wong yang dapat predikat lulusan terbaik bukan aku kok."
"Hadiahnya cukup baca isi surat itu sama lakukan apa isi surat itu. Semoga kita bisa berjodoh ya Mut."
Gadis itu menoleh ke arahku mengernyitkan kedua alis tanda berpikir dan bertanya. Aku buru-buru melanjutkan kalimatku.
"Kan sekarang kita jauh Mut, nggak bisa ketemu lagi tiap hari seperti dulu. Semoga masih berjodoh untuk bertemu, semoga ini bukan pertemuan terakhir kita."
"Aamiin. Iya semoga kita bisa berjodoh. Eh maksudku bisa bertemu lagi Kang." Muka gadis manis ini memerah, seperti menahan malu menyadari kesalahannya.
"Aamiin, kalau memang berjodoh aku juga malah seneng Mut. Eheheee."
"Dih, mulai lagi deh gombalya Yuyu Kang-kang satu ini."
"Nggak papa, siapa tahu diterima beneran jadi calon suaminya Si Imut. Hahaaaa."
Aku tertawa sambil menutupi kegugupanku. Sebenarnya aku sangat gugup berhadapan dengan gadis ini. Rasanya juga hatiku berbunga-bunga. Mungkin aku terkena virus merah jambu.
----
Seminggu setelah acara wisuda aku berdebar menunggu jawaban gadis imut di Kota Rembang. Semoga saja aku mendapat jawaban baik.
Akan tetapi sudah dua minggu aku menunggu Mutia belum juga menghubungiku. Aku patah hati, benar-benar patah hati. Apa mungkin dia sudah dijodohkan dengan lelaki bernama Dika? Aku terpuruk dalam jawaban yang tak jelas. Aku seperti kehilangan harapan. Mutiara, terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku. Maaf aku memang lelaki yang pengecut. Aku hanya mampu mengagumimu dalam diam, mencintaimu dalam doa-doaku.