Chereads / MUTIARANYA KANG PUR / Chapter 10 - 10. Gagal Move On

Chapter 10 - 10. Gagal Move On

Lomba dilaksanakan selama dua hari. Selama dua hari peserta wajib menginap di hotel yang telah disediakan panitia. Sialnya aku harus teringat kenangan dengan mantan terindah, karena hotel tempat lomba ternyata dekat dengan minimarket tempatku dan Mutiara dulu pernah bekerja. Bagaiman bisa move on kalau begini? Jangan salahkan aku ya, yang pernah mengalami seperti aku pasti tahu rasanya.

Disini aku berjuang keras untuk memperoleh hasil maksimal. Hari pertama semua peserta mengikuti tes tertulis. Malamnya untuk presentasi materi karya ilmiah sampai pukul 20.00 dilanjutkan pagi sampai pukul 12 siang. Sesuai jadwal pengmuman pemenang lomba pukul 14.00. dilanjutkan penutup dan check out dari hotel pukul 16.00.

Aku mendapat giliran nomor 1. Rasanya panas dingin dan deg degan. Mendapat giliran pertama itu rasanya seperti berkendara lupa nggak bawa SIM. Mau melarikan diri dikejar terus sama polisi. Kita memilikinya tapi lupa membawa, mau tak mau kita harus mempertanggungjawabkannya. Bayangkan bagaimana rasanya.

Sambil menunggu panitia menyiapkan alat dan tempat aku berusaha meredam kegugupanku dengan memperbanyak sholawat nabi dan dzikir apapun asal hatiku tenang. Padahal aku sudah pernah mengalami ini saat kuliah, berkali-kali presentasi di depan dosen dan teman. Aku juga sudah pernah menghadapi dosen saat ujian skripsi. Dulu aku selalu bisa mengatasi grogi. Tapi kali ini rasanya beda, entahlah nano nano rasanya. Mungkin aku merasa masih sedikit pengalaman di dunia pendidikan. Karena basic yang kuambil dulu bukan pendidikan.

"Maaf Mas, dari Kabupaten mana ya?" Seorang guru yang kutaksir usianya 5 tahun diatasku bertanya.

"Dari Kota Semarang Mas, Njenengan dari mana? Nama saya Sampurno." aku menjabat tangan lelaki di sampingku ini. Dari sorot matanya dia terlihat seperti tipe guru yang smart.

"Nama saya Dika dari Kabupaten Rembang Mas. Salam kenal."

Deg. Aku kaget luar biasa. Kebetulan seperti apa ini Tuhan. Apa ini Dika yang diceritakan Mbak Mala? Tapi nama Dika banyak sekali mungkin saja bukan. Aku memberanikan diri bertanya lebih tepatnya dia dari Kecamatan mana.

"Kalau boleh tahu dari Kecamatan mana ya? Saya punya teman juga di Rembang Mas." Jangan bilang dari Bulu, jangan, jangan, semoga saja tidak Ya Allah. Aku takut kalau kenyataannya dia Dika yang diceritakan kakaknya Mutia.

"Bulu, Mas. Oya, siapa nama temannya? Siapa tahu saya juga kenal." Ya Allah apa benar pemuda tampan ini yang diceritakan Mbak Mala? Dia terlihat tampan, tinggi badannya proporsional, rambut dan alisnya tebal, terlihat ramah dan santun. Pokonya pemuda disampingku ini tipe idaman wanita.

"Mas?"

"Eh maaf nanya apa tadi? Maaf tadi kurang fokus. Maklum saya dapat giliran pertama. Rasanya panas dingin ini mas, gugup. Hehe." aku mengelak, sebenarnya tadi aku melamun.

"Malah enak to Mas, giliran pertama. Deg-degannya sebentar, giliran temannya maju Njenengan sudah nyicil ayem. Lha giliran terakhir gugupnya sampai nanti malem kali Mas. Semangat Mas, semoga hasilnya terbaik. Oh iya tadi saya tanya nama temannya Mas... Em manggilnya apa ya?

"Pur, panggil aja Pur. Ooo, nama teman saya Mutiara, Mas Dika. Katanya dia juga dari Bulu. Tapi Bulu sebelah mana saya juga nggak tahu."

"Emmm... Apa nama lengkapnya Mutiara Amalya?"

Ya Allah apa kini waktunya aku patah hati? Bismillah meskipun kenyataannya menyakitkan aku harus ikhlas.

"Iya Mas, betul. Mas Dika kenal to?"

Sebelum Mas Dika menjawab pertayaanku, ternyata pembawa acara memberikan kode sudah akan memulai acara lomba. Semua peserta hening mendengar tata tertib lomba. Sejenak aku melupakan gadis dari Rembang itu. Aku fokus untuk maju. Saat nama Sampurno dipanggil aku mengucap bismillah, sholawat dan maju dengan menata alat peraga dan laptop yang kugunakan untuk presentasi karya ilmiah yang telah kususun.

Selama presentasi gugup yang tadi kurasakan hilang berganti dengan rasa percaya diri. Apalagi salah dua yuri yang menilai lomba ini ternyata adalah salah satu dosenku dari UNNES dan satu lagi dosen pasca sarjana dari UNDIP tempatku menimba ilmu jenjang S2 saat ini. Aku sudah mengenal karakter mereka, jadi rasanya tidak ada alasan untuk grogi.

Setelah presentasi selama sepuluh menit yang diberikan panitia, diadakan sesi tanya jawab baik dari yuri maupun peserta. Berbagai pertanyaan aku menjawabnya dengan baik. Tepuk tangan kudapatkan dari dewan yuri dan teman-teman pserta lomba. Aku berucap hamdalah, karena sudah melaksanakan tugas secara maksimal. Soal hasil aku hanya bisa pasrah, yang terpenting usaha maksimal.

Begitulah seharusnya prinsip mengikuti lomba. Juara bukanlah tujuan utama, menambah pengalaman dan mengasah kemampuan adalah tujuannya. Juga harus ada feed back yang positif saat kembali ke sekolah masing-masing.

"Selamat Mas, wis ayem to saiki? Aku dapat nomor 8. Masih panas dingin ini."

Mas Dika menepuk pundakku memberi selamat. Selama lomba pesrta harus tenang dan dilarang meninggalkan ruangan lomba sebelum jam istirahat tiba. Karena itulah aku melupakan pertanyaanku yang belum terjawab tadi.

Selama acara lomba aku termasuk peserta yang banyak melontarkan pertanyaan untuk peserta lain. Itu memang sifatku, bukan bermaksud untuk membuat lawan lomba down mentalnya, tapi untuk memberikan koreksi jika ada salah atau memang aku benar-benar belum paham materi yang mereka sampaikan. Sungguh, menjegal lawan lomba dengan pertanyaan yang menjebak bukanlah sifatku.

Waktu masih SMA aku sering diikutsertakan oleh sekolah untuk mengikuti lomba, salah satu lomba yang paling bergengsi saat aku masih SMA yaitu lomba olimpiade Fisika tingkat provinsi. Tapi aku cuma ada di urutan 3. Waktu kuliah aku juga beberapa kali ikut lomba karya tulis ilmiah remaja, lomba pidato, lomba menulis cerpen juga pernah. Alhamdulillaah semua meraih kemenangan, meskipun ada yang cuma di peringkat 3. Satu-satunya lomba yang belum pernah menang adalah lomba meraih hatimu. Ups maksudku meraih hati Mutiara. Hiks kenapa aku jadi golongan lelaki susah move on ya?

Selama acara dua jam istirahat aku gunakan untuk mengunjungi minimarket tempatku bekerja dulu. Setelah sholat dhuhur dan makan siang, aku menyapa teman-teman. Meskipun ada beberapa yang baru tapi masih banyak yang lama juga. Aku masih mengenal mereka.

"Assalamualaikum Bro, apa kabar nih." Sapaku pada Haikal dan Rudi. Mereka sampai sekarang masih bekerja di minimarket ini.

"Waalaikumsalam, widiihhh ada Pak Guru. Kabar baik alhamdulillaah. Wah ada angin apa nih Pak Guru mampir kesini? Masih ingat sama rakyat jelata nih ceritanya." Haikal memang suka bercanda.

"Elahhh... Kaya karo sapa ae Rud, Kal. Sampai kapanpun aku tetep kancamu. Kanca kenthel, aku ya tetep rakyat jelata sama kayak kalian. Buktinya masih doyan sega kucing. Haha." Begitulah kalau kami sudah berkumpul, ada saja candaannya. Kami tak pernah merasa sakit hati jika kami saling ejek, bagiku mereka adalah keluarga. Jadi guyonan dan jokes bercanda kami kadang keterlaluan. Tapi cuma sama yang dekat saja kok kami bercanda seperti itu, tahu tempat dan tahu diri lah intinya.

"Dua hari ini aku ada di hotel seberang jalan. Tapi baru bisa keluar sekarang. Kemarin acaranya padat."

"Acara apa Bro, kok nginep di hotel segala."

"Ikut lomba, dapat tugas dari Kepala Sekolah ya siap aja. Buat tambah pengalaman."

"Wuihhh sangarrrr tenan Pak Guru satu ini. Ngomong-ngomong dapat juara nggak nih? Biasanya kamu kan langganan juara Pur."

"Belum pengumuman sih, nanti jam dua baru pengumuman terus acara penutup. Doakan ya hasilnya baik membawa nama baik sekolah."

"Aamiin... Kudoakan kamu juara deh Pur." Itu doa Haikal.

"Doaku buatmu Bro, semoga dapat juara." Itu doa Rudi.

"Aku juga doain lho Pur, semoga teman kita ini makin berprestasi ilmunya membawa manfaat." Itu doa mbak Fitri, dia senior disini, bisa dibilang emaknya anak-anak

Teman lain juga berdatangan mendoakanku. Aku bersyukur memiliki banyak teman rasa saudara.

"Eh nanti sore pada sibuk nggak nih, kalau nggak sibuk kita jalan yuk, makan di kafe deket sini. Gimana, bisa?"

"Kalau masalah makan sih Emak oke aja Pur, apalagi gratisan. Pantang menolak aku, menolak rejeki dosa. Hahaaa."

Gerrrrr serentak semua tertawa. Dan semua mengangguk setuju dengan yang dikatakan Mbak Fitri.

"Lagi banyak rejeki ya Pur, kok ngajak makan kita-kita?" Tanya Rudi.

"Alhamdulillaah ada sedikit rejeki, lagian uang saku lombanya lumayan sih jadi bisa nraktir kalian. Nanti sore aku selesai jam empat, tunggu aku langsung di kafe apa nunggu disini dulu nih?"

"Langsung nunggu di kafe aja ya Pur, kita kan bubar jam tiga, kalau nongkrong disini kelamaan. Sekali-kali nongkrong di kafe lah biar kekinian. Wakakaka." Haikal memang selucu itu orangnya.

"Ya udah deh. Aku balik lagi ke hotel ya." aku berpamitan setelah mengucap salam ke teman-teman.

----

Acara penutupan sudah dimulai. Aku sudah membereskan semua perlengkapan yang kubawa. Aku cuma membawa satu ransel besar, aku memang nggak seneng ribet. Lagipula rumahku kan dalam kota.

Sebelum upacara penutupan dimulai, terlebih dahulu pengumuman pemenang lomba. Utitan nilai 10 sampai dengan 4 sudah dibacakan. Giliran juara 1, 2 dan 3. Juara 3 dari Banyumas, juara 2 dari Sragen. Pembacaan juara 1 yang begitu dinantikan semua peserta termasuk aku. Tapi rasanya aku sudah pasrah jika tidak menjadi juara, rasanya rivalku kali ini banyak yang hebat dan menciptakan inovasi menarik.

"Mas, Mas, Mas Pur namamu dipanggil Tuh. Namamu Sampurno kan?" Aku kaget dari lamunanku saat Mas Dika menepuk pundakku beberapa kali.

"Eh iya maaf, siapa yang manggil aku Mas?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari orang yang memanggilku. Semua peserta melihatku, aku makin bingung, apa aku berbuat salah?

"Ya Allah, ternyata dari tadi ngelamun kamu Mas Pur. Itu, namamu dipanggil karena kamu mendapat juara satu!"

Aku melongo, kaget dan tidak menyangka bisa mendapat juara satu. Aku langsung tersadar kemudian mengucap hamdalah. Teman di kanan dan kiriku menjabat tangan dan mengucapkan selamat. Setelah namaku dipanggil sekali lagi aku dipanggil ke depan podium untuk menerima penghargaan dan piala. Penyerahan hadiah oleh kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.

Alhamdulillaah aku mendapat uang tunai lima juta rupiah, dan piala. Hasil jerih payahku ini tak lepas dari doa orangtuaku di Desa. Aku bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka.

----

Setelah upacara penutupan lomba, aku check out dari hotel mengendarai motor milikku. Alhamdulillaah motorku sudah ganti baru, motor lamaku kuberikan untuk Bapak. Aku bisa menabung dari gaji mengajar, dan uang les privat beberapa anak. Aku memang membatasi les privat, takut tidak bisa membuat skala prioritas. Sebenarnya banyak yang meminta les. Rencananya aku mau buka bimbel sendiri, ngajak teman dan adik kelas saat kuliah. Itu baru rencana, aku belum tahu cari modal dari mana.

Setelah sampai di kafe, aku menyapa teman-teman dan menyuruh mereka untuk memesan makanan. Satu lagi yang bikin aku gagal move on, lagu yang diputar

Lagi-lagi ucapan selamat aku dapatkan dari teman-teman. Katanya mereka bangga memiliki sahabat seperti aku. Yang tak pantang menyerah pada keadaan. Mereka tahu aku dari keluarga kurang mampu, dan merekalah saksi perjuanganku kuliah sambil kerja untuk mencukupi kebutuhan. Mereka juga saksi kedekatanku dengan Mutia.

"Uhukkk, uhukkkk, air... Uhukkk." Tenggorokanku sakit karena tersedak makanan. Tadi aku membayangkan Gadis Imut dengan senyum manis. Kalau kemarin aku menyebut diriku susah move on, sekarang aku menjuluki diriku sendiri lelaki GAGAL MOVE ON.

Mbak Fitri menyodorkan minuman ke arahku. " Pur, kalau makan Mbokyao aja ngalamun to, akhire keselek. Mikirin apa sih? Apa mikirin Mutia? Iya? Secara kan kalian sekarang jauhan jarang ketemu. Paling kamu galau mikirin dia."

Mbak Fitri ini jangan-jangan cucunya orang pintar. Dari dulu memang dia suka bener nebak isi hati orang. Heran aku!

"Kok tahu? Mak Fitri, kamu iki cucunya dukun ya? Suka bener nebak isi hatiku. Hehe."

"Dasar sableng, dari dulu kok nggak pernah berubah. Seneng kok dipendhem siapa yang bakal tahu? Emang Mutia itu dukun apa bisa baca pikiran orang tanpa dikasih tahu."

"Tau ah Mak. Udah terlanjur juga, mungkin Mutia juga udah bahagia sama pilihannya. Kalau jodoh nggak akan kemana." Aku kadang memanggil Mbak Fitri dengan sebutan Mak.

"Iya deh, semoga juga kamu segera dapat jodoh yang baik hati dan akhlaknya."

"Aamiin. Maturnuwun ya Mak. Semoga hubunganmu sama Mas Rio juga segera diresmikan biar nggak gantung mulu. Emang enak digantung? Wakakaaa."

"Sialan kamu Pur. Bukannya gantung ya. Cuma masih nunggu restu dari orangtuanya mas Rio. Maklumlah Pur, aku cuma rakyat jelata, gadis miskin dan yatim piatu pula. Secara bobot bibit dan bebetku tidak bisa disandingkan sama keluarga Mas Rio, Pur. Mereka keluarga terpandang dan berpendidikan."

Ternyata itu masalah Mas Rio belum meresmikan hubungannya dengan Mbak Fitri lebih serius. Yang terlihat bahagia nyatanya mereka juga menyimpan duka. Tapi aku salut sama Mbak Fitri yang mampu menutupi kesedihannya dengan tetap tersenyum. Semoga hubungan mereka segera mendapatkan restu.

"Apa Mas Rio nggak ada usaha untuk merayu orangtuanya?"

"Sudah berkali-kali Pur. Tapi hasilnya masih zonk. Restu belum juga kami dapatkan. Sebenarnya aku sudah minta Mas Rio untuk mengakhiri hubungan kami saja. Aku nggak mau membuatnya jadi anak durhaka, sudah 6 tahun kami berusaha mendapat restu tapi masih gini aja. Kadang pengin nyerah tapi aku eman juga melepas lelaki baik dan setia kayak dia."

"Aku salut sama cinta dan kesetiaan kalian lho Mbak. Semoga cepat direstui deh cinta kalian biar cepet resmi."

"Aamiin, maturnuwun ya Pur. Oya gimana nih kabar hubunganmu sama Mutia? Meski nggak pernah cerita aku bisa lihat tatapan matamu ke Mutiara itu tatapan orang jatuh cinta."

"Aku ditolak Mbak, ditinggal pas sayang sayange."

"Sabar deh Pur, sebenarnya sulit dipercaya sih. Soalnya yang Mbak lihat kalian itu memiliki rasa yang sama. Apa dia menolakmu secara langsung? Rugi si Mutia nolak kamu Pur. Cowok sempurna, spesies langka di jaman modern seperti ini."

Apa benar yang dikatakan Mbak Fitri? Mutia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku? Jika iya kenapa dia sama sekali nggak menghubungiku? Membalas suratku?

"Emang aku manusia purba? Langka?" Gadis berjilbab hitam yang masih memakai seragam minimarket itu tertawa terpingkal-pingkal.

"Sebenarnya nggak langsung sih Mbak, nolaknya. Tapi sehabis wisuda aku kirim surat nggak dibales sampai sekarang. Nomornya juga nggak aktif, udah nggak bisa dihubungi."

"Kamu udah coba hubungi temen dekatnya?"

"Udah, mereka semua juga kehilangan jejaknya Mutia."

"Semoga siapapun jodohmu nanti dia yang terbaik."

----

Setelah acara makan dengan teman-teman aku meluncur pulang ke kost-kostan. Aku berencana besok akan ke Kendal untuk memenuhi undangan dari Juna meskipun telat. Mumpung besok adalah hari Minggu jadi aku masih libur mengajar.

Setelah mandi, sambil menunggu adzan Maghrib aku merebahkan badan di kasur. Aku buka ponsel dan menemukan banyak chat dari teman guru di grup sekolah. Semua mengucapkan selamat atas prestasiku.

Setelah membalas chat dari teman di grup sekolah, aku melirik jam dinding. Jam 17.45 sebentar lagi adzan maghrib, sku segera mengambil wudhu memakai baju koko dan sarung. Kusemprotkan minyak wangi secukupnya. Minyak wangi ini hadiah saat aku ulang tahun. Ah dasar aku si gagal move on, hanya karena muncium wangi minyak ini saja aku teringat sama gadis bersenyum manis itu. Tuhan, bantu aku untuk segera move on.