Dua bulan sudah aku menunggu Mutia membalas suratku. Sebenarnya isi surat itu adalah aku jujur menyatakan perasaan pada gadis manis itu. Akupun jujur jika sudah lama mengaguminya. Jika dia menerimaku aku meminta Mutia mengirimkan foto menggunakan jilbab yang aku berikan padanya.
Surat Sampurno
Assalamualaikum Mutia...
Mutia, kamu ingat sama seorang gadis yang kulitnya kuning langsat, suka judes sama pemuda, kalau diboncengin motor duduknya di jok polll belakang?
Sore itu di minimarket aku melihat seorang gadis melompat-lompat mau mengambil barang di gudang. Karena tubuh mungilnya dia gagal mengambil barang yang ada di tumpukan paling atas itu. Melihatnya jiwa super heroku langsung muncul. Aku menawarkan bantuan, dan dia menerima bantuanku. Gadis bertubuh mungil itu lalu mengucapkan terimakasih dan tersenyum. Itu pertama kali aku melihatnya tersenyum selain ke pelanggan.
Aku tak tahu saat itu aku jatuh cinta atau hanya kagum belaka. Yang ku tahu aku mulai tertarik pada senyum gadis manis yang terlihat jutek tapi ternyata sangat ramah.
Mulai saat itu aku sering cari-cari kesempatan untuk dekat dengan gadis itu, melontarkan kalimat ambigu yang tak bisa kuucap karena aku terlalu pengecut untuk jujur.
Gadis itu bernama Mutiara Amalya.
Gadis yang tangguh dan tak malu bekerja untuk mencukupi kebutuhan kuliah. Gadis yang meskipun tidak memiliki uang melimpah selalu menyisihkan sebagian rejekinya untuk bersedekah di hari Jumat.
Seiring waktu aku sadar kalau aku sudah mencintai gadis itu. Tapi aku tak ingin mengikatnya dengan ikatan yang tak halal. Aku ingin mengingatnya dengan cara terhormat dan halal.
Mutia jika kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku pakailah jilbab dan bross ini. Foto dan kirimkan ke aku.
Maka dengan persetujuan darimu aku akan segera melamarmu. Aku ingin membuat cintaku menjadi ibadah sepanjang hidup kita nanti.
Maaf ya Mut, aku gak bisa romantis. Hehe....
Wassalamu'alaikum
Sampurno.
Aku memberikan kado jilbab wayang warna biru yang lagi hits. Selain karena memang suka budaya daerah terutama wayang, aku pernah melihat gadis manis itu memakai jilbab warna biru dia terlihat makin manis, Ehm. Aku juga memberikan bross wayang untuk melengkapinya.
Aku juga memilih warna biru karena secara psikologis warna biru berarti kepercayaan, keamanan dan perintah. Artinya aku ingin mendapatkan kepercayaannya bahwa aku menyayanginya sepenuh hati, mencintainya karena Allah.
Keamanan artinya aku ingin memberikan rasa aman saat Mutia bersama lelaki yang bertanggung jawab, makin pede ya. Mohon maaf kalau minder terus entar ketikung lelaki lain.
Perintah, maksudnya aku memohon pada gadis itu untuk menerima lamaran lelaki yang udah mentok hatinya sama gadis manis nan imut di Kota Rembang. Itu sama saja perintah kan? Perintah supaya cintaku DITERIMA. Aamiin.
Penampakan kado dari Kang Pur.
Sayangnya setelah dua minggu, dua bulan aku menunggu jawaban dari gadis imut itu, hatiku dipatahkan sepatah-patahnya. Bahkan beberapa kali aku mencoba menghubungi, nomor Mutiara sudah tidak aktif lagi. Mugkin ini jawaban dari Mutia, dia menghindar karena menolakku.
Apa mungkin dia sudah dijodohkan dengan lelaki bernama Dika seperti yang dikatakan oleh Mbak Mala? Memikirkan kemungkinan tersebut hatiku makin tak karuan rasanya.
----
Beberapa hari ini pikiranku kurang fokus. Mas Reza, teman mengajar menegurku karena beberapa kali aku terlihat melamun.
"Pur, kamu ada masalah? Beberapa minggu ini bahkan sudah beberapa bulan sehabis wisuda kok kamu kayak sering ngalamun to? Ada yang bisa kubantu?" Tanya Mas Reza.
"Nggak papa kok Mas."
"Jangan kayak cewek PMS deh Pur, lesu gitu nggak semangat. Apa banyak tugas kuliah sampek bikin begadang? Lihat tuh matamu udah kayak mata panda."
"Mosok to Mas, kelihatan banget ya?" aku mengelak. Sebenarnya aku menyadari perubahan kantung mataku yang makin manghitam, akhir-akhir ini aku terserang insomnia. Aku menghabiskan malamku untuk membaca buku apa saja, karena tiap merebahkan badan pikiranku langsung teringat Mutia. Ah gadis itu benar-benar mengacaukan hidupku.
"Nek tak sawang ya Pur, kamu itu kayak lagi patah hati. Kalau kamu butuh teman cerita aku siap kok, jangan dipendem terus itu masalah. Kalau nggak kuat nanti bisa jadi penghuni RSJ. Haha." Mas Reza coba menghiburku.
"Lagian ya Pur, kamu itu sudah 7 bulan lebih kerja disini banyak yang naksir lho Pur. Dari guru, tenaga TU, sama tantenya murid-murid yang suka antar ponakannya mereka banyak yang ngidolain kamu. Aku to sampek bingung tiap ada yang titip salam." Lanjut Mas Reza.
"Ho oh to Mas. Mosok ana sing seneng karo aku? Sing disenengi apaku? Ganteng ora sugih ya ora."
"Dasar cah semprul." Lelaki yang usianya empat tahun diatasku itu menoyor kepalaku.
"Kamu iku sadar nggak sih Pur kalau kamu iku ganteng, cerdas, baik hati, lulusan terbaik, ibadah wajib nggak bolong, ibadah sunah sregep. Ngaji juga suaramu bagus malah sudah hapal qur'an meski baru 3 jus, jadi lelaki juga nggak pernah neko-neko. Itu sudah nilai plus buatmu. Wong wedok saiki sing dicari nggak cuma sugihnya, mereka udah pinter. Yang dicari lelaki yang beraklhak. Nah, semua iku ada dalam dirimu Pur. Sadar ora sih?" Mas Reza menjelaskan panjang lebar tentang diriku, aku malah baru menyadarinya.
"Mas, kalau hati kita sudah lama mencintai gadis tapi kita hanya memendamnya itu salah nggak sih?" Akhirnya pertahanan rahasiaku jebol juga. Biarlah, toh aku curhat pada orang yang tepat. Mas Reza selain lebih dewasa dia juga orang yang bijaksana, sudah berumah tangga dan sudah memiliki satu anak bayi yang berusia tiga bulan. Dia sudah seperti kakak bagiku.
"Bener kan? Patah hati! Kalau menurutku sih nggak salah Pur. Malah langkahmu itu benar, menghindari dosa zina berpacaran. Memangnya sekarang gadis itu dimana?"
"Dia ada di rumahnya Mas."
"Sableng tenan cah siji iki. Iya sudah tahu dirumahnya, dimana maksudku?"
"Di Rembang Mas. Dia asli sana."
"Rembangnya mana? Istriku juga wong Rembang lho."
"Oh ya? Istri Mas Reza wong Rembang to? Tapi sayangnya aku nggak tahu alamat gadis itu Mas. Aku cuman tahu kalau rumahnya dekat makam Kartini. Itupun aku tahunya baru pas wisuda kemarin."
Bapak satu anak itu menepuk jidatnya. Kelihatan kalau dia geregetan melihat betapa pasifnya diriku sebagai lelaki.
"Dulu aku terlalu percaya diri Mas. Kukira dia mudah diraih dan kami bakal selalu dekat. Eh tak taunya aku ditinggal pas sayang sayange." akuku.
"Bwahahaaa, ngenes banget nasibmu to Pak Guru. Lulusan terbaik, nilainya sempurna tapi galau karena ditolak gadis pujaan. Kamu itu jadi lelaki nggak tegas Pur, kurang yak des. Ibaratnya mau melangkah aja mikirnya kelamaan." Bukannya memberiku solusi malah ditertawakan, iya aku tahu aku memang kurang tegas jadi lelaki. Aku terlalu penakut jadi lelaki cuma karena status sosialku yang dari golongan rendahan. Cuma anak buruh tani.
"Setahuku sih kalau makam Kartini itu di Kecamatan Bulu. Tapi Kalau Desanya nggak tahu kan ya kangelan nyarinya Pur."
"Kalau istrimu Rembangnya mana Mas?"
"Kalau istriku orang Sarang Pur. Jauh kalau sama Bulu. Kamu itu kenal sama Mutia sudah berapa lama sih?"
"Sudah lima tahun Mas. Dulu kami sama-sama kuliah sambil kerja. Kenal pertama di minimarket tempat kerja kami, nggak nyangka sih Mas kalau dia juga kuliah, satu kampus lagi."
"Lha wong kenal limang tahun kok nggak tahu info apa-apa to Pur, Pur. Heran aku. Pas deket itu ngapain aja kalian?"
"Ya, deket biasa aja kayak ke temen yang lain Mas."
"Cuma itu doang? Nggak pernah pacaran gitu?"
"Mana berani pacaran aku Mas. Aku masih ingat dosa. Lagian boro boro pacaran, diboncengin aja duduknya poll belakang gak mau pegangan kok."
"Itu artinya dia gadis baik, pinter jaga diri. Kalau mau pegangan paling juga udah kamu gerayangi tuh gadis. Wakakakaa."
Bener juga ya? Kalau seandainya Mutia itu gadis yang gampangan pasti aku juga mungkin sudah kebablasan bergaul dengannya. Aku harus bersyukur mengenal gadis langka itu. Langka karena dijaman canggih seperti ini, dia termasuk orang yang malas memiliki akun media sosial. Cuma ada WhatsApp itupun untuk mempermudah komunikasi dengan teman dan dosen katanya waktu itu. Aku benar-benar beruntung jika bisa menjadi suaminya. Aku langsung terbayang senyum gadis manis nan imut di seberang kota sana
Tukk. "Pur, Pur, Woyyyy malah bengong!
"Eh ada apa Mas? Tadi ngomong apa?"
"Ya Allah Ya Robb, berikanlah hidayah untuk Pak Guru yang katanya pinter ini Ya Allah. Semoga dia tidak stress karena cintanya ditolak gadis pujaannya."
"Asyeeemmmm emang kamu Mas."
"Lagian diajak ngomong sampek lambeku meniren kok gak nyaut blas. Jangan sering melamun, nggak baik. Lagian masih banyak gadis lain yang juga cantik. Kalau jodoh tak akan kemana."
"Iya mas teorinya sih gitu. Tapi ngejalaninnya kok sulit ya? Jujur ya Mas, aku baru pertama kali jatuh hati sama seorang gadis. Rasanya sulit banget menerima kenyataan kalau cintaku bertepuk sebelah tangan."
"Jadikan ini sarana mendekat sama sang penggenggam hati Pur. Dia Maha pembolak balik hati. Aku nggak mau adikku ini larut dalam kesedihan dan lupa banyak kenikmatan lain yang udah kamu dapatkan. Mana Pur yang selalu semangat dan pantang menyerah? Belum tentu yang kamu anggap baik itu baik juga bagimu. Allah lebih tahu mana yang terbaik buat hambaNya. Percayalah."
Mas Reza menepuk punggungku, krmudian mengajakku beranjak dari serambi masjid sekolah, karena kami harus melanjutkan tugas kami mendidik generasi muda penerus bangsa.
Selama di perjalanan dari masjid sampai ruang guru aku mencerna nasehat Mas Reza. Yang dikatakannya semua benar. Tak seharusnya aku larut dalam kesedihan. Aku harus ikhlas, hidup harus terus berlanjut. Mutiara, jalan apapun yang kau ambil semoga itu terbaik. Semoga kau selalu bahagia.
-----
"Assalamualaikum," setelah mengetuk pintu aku mengucap salam pada Pak Hafiz, Kepala Sekolah SD Al Azhar. Bu Fatma tadi memberitahuku kalau aku dipanggil oleh beliau.
"Waalaikumsalam warahmatullah, mari silakan duduk Mas Pur." Jangan kaget kalau Pak Hafiz memangggilku dengan sebutan Mas, karena beliau memang seumuran dengan Bapakku. Kalau di kantor atau hanya dengan rekan guru beliau biasa memanggil guru yang lebih muda dengan sebutan Mbak dan Mas, kata beliau supaya lebih terjalin keakraban dan suasana kerja yang hangat. Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi kami para guru jadi harus menciptakan iklim kerja yang sama seperti keluarga di rumah agar kami bisa betah dan lebih semangat dalam bekerja. Beda lagi kalau berhadapan dengan wali murid, maka panggilan resmi harus berlaku.
"Nggih Pak, makasih. Tadi kata Bu Fatma, Bapak memanggil saya. Ada apa ya Pak?"
"Begini Mas Pur, sekolah kita akan mengikuti seleksi penulisan karya ilmiah guru. Kamu apakah berminat untuk mewakili sekolah kita? Saya rasa Mas Pur ini berbakat, masih muda ilmunya masih fresh." Sebenarnya aku tak sehebat itu, tapi aku tak menampik jika tersanjung mendapat kepercayaan mengikuti lomba mewakili lembaga sekolah Al Azhar.
"Alhamdulillaah atas sanjungannya Pak Hafiz. Tapi apa nggak sebaiknya yang mewakili sekolah kita guru yang lebih senior saja? Saya rasa ilmu saya masih sedikit dan juga saya belum punya banyak pengalaman Pak."
"Kamu ini selalu merendah Mas, saya tahu kemampuanmu. Makanya saya langsung merekrutmu jadi guru di Al Azhar. Rendah hati boleh asalkan jangan rendah diri. Rendah hati itu bagian dari tawadhu. Dan saya suka orang yang berilmu tapi tawadhu. Sikapmu perlu dicontoh sama anak muda jaman sekarang."
Sebenarnya aku masih bimbang. Tapi sudah kewajibanku mengerjakan tugas dan perintah atasan. Apalagi perintah itu baik.
"Nggih Pak, insyaallah saya siap maju. Mohon bimbingannya agar saya mendapat hasil maksimal."
"Alhamdulillaah. Iya tentu Mas Pur, sebagai atasan saya akan selalu mensupport dan mendoakan kamu. Terimakasih anak muda, Bapak bangga ada generasi penerus yang cerdas, cekatan dan sigap menjalankan tugas." Lelaki yang masih terlihat sehat di usia yang tak lagi muda itu menjabat tanganku dan menepuk punggungku. Setelah mendapat juknis lomba, aku berpamitan dan mengucap salam.
----
Satu bulan ini aku disibukkan dengan aktivitas mengajar, kuliah dan persiapan lomba. Waktu lomba masih satu bulan lagi. Aku bersyukur dengan banyaknya kegiatan, kesedihanku ditolak Mutia berangsur hilang. Bukannya aku sudah melupakan gadis itu, bukan. Aku masih melangitkan doa di sepertiga malam untuk Mutia supaya dia selalu bahagia. Sekarang aku telah ikhlas. Aku sadar mencintai di tingkat tertinggi adalah ikhlas melihat orang yang kita cintai bahagia.
Seminggu sebelum kegiatan lomba berlangsung aku mendapat undangan dari sahabatku Juna. Sayangnya tanggal pernikahannya bersamaan dengan waktu lomba. Jadi bisa dipastikan aku tidak bisa hadir di pernikahan sahabatku itu.
Seandainya aku bisa hadir, kemungkinan besar aku bisa bertemu Mutia. Pasti Mutia juga diundang sahabatnya Vika karena Juna menikah dengan Vika. Bagaimana ini? Kenapa aku malah berandai-andai?
Ya Allah kenapa saat ada kesempatan bisa bertemu dengannya aku malah harus ada kegiatan lain yang tak bisa kutinggalkan begitu saja? Aku tak mungkin mangkir dari lomba ini, aku membawa nama baik sekolah. Tapi aku juga sangat ingin bertemu dengan gadis manis itu.
Ya Allah berilah hamba keikhlasan menjalankan takdir ini. Aku yakin Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hambaNya.
---