Chereads / Covenant / Chapter 3 - - 2 -

Chapter 3 - - 2 -

"Athan?"

Suara berdebam kakinya saat menghampiri orang yang memanggilnya memenuhi gua kecil itu. Sinar matahari dari mulut gua hanya bisa membuanya meihat sedikit lebih baik. Athan menggeram rendah ketika tiba di hadapan orang itu. Seorang pria renta beruban yang tengah berbaring lemah tak berdaya, sedang berada di ujung usianya. Athan duduk, mengepulkan debu yang membuat pria renta itu terbatuk-batuk. Setelah serangan batuknya mereda, ia menyunggingkan senyum lemah padanya. "Aku sudah memutuskannya."

Athan mengerjap. Pria ini sudah siap mati rupanya. Tak masalah baginya. "Kau melihatnya?"

"Sejelas aku melihatmu," kekeh pria renta itu.

"Katakan."

Ucapannya terdengar tersendat-sendat seiring tarikan napasnya. "Terlalu jauh rentangnya. Kau harus sendirian dalam waktu yang lama."

Athan mendengus. "Katakan saja. Aku lapar."

"96 tahun dari sekarang." Pria renta itu menarik napas sebentar. Athan menunggu dengan sabar. "Keturunan terakhirku."

Athan mengeluarkan suara mirip berdeguk dan batuk bersamaan. "Punya anak?"

"Aku tidak harus selalu melapor padamu, kan."

Ia mengangkat bahu tak acuh. "Lanjutkan."

"Aku ingin kau menjaganya sampai ia memutuskan untuk mati. Jangan sampai ia jatuh ke jurang yang sama sepertiku."

Athan menatapnya dalam diam. 96 tahun dan harus menunggu lagi hingga manusia itu mati, tidak sepadan dengan seorang kakek renta. Jadi Athan menggeleng. "Tidak. Aku lapar. Yang lain."

Pria renta itu memelototinya. "Perjanjian tetap perjanjian."

Ia menggeleng lagi dan mengaum, angin kencang tiba-tiba mendorong pria renta itu sampai tak terlihat dalam kegelapan. "Aku lapar!"

Tertatih-tatih, pria renta itu kembali menghampiri Athan dan perlahan merebahkan kembali tubuh rentanya di tempatnya semula. Desahan lega terdengar dari mulutnya. Tak ada yang bisa membuatnya nyaman saat ini di usia rentanya selain tiduran, walaupun di atas tanah keras.

"Tenang saja," kata pria renta itu. "Kau akan mendapatkan makanan bersamanya. Hanya jaga ia agar tidak menjadi sepertiku. Itu saja."

Athan menggerung pelan sebagai jawaban.

"Ya, ya, janji tetap janji. Lakukanlah."

Dalam satu tarikan napas terakhirnya, Athan memakannya, menjejalkan pria itu ke dalam mulutnya.

_______________________________________________

Hujan rintik kecil di atas jalanan setapak lenggang itu menguarkan bau menyenangkan bahkan bagi hidungnya. Athan mengendus-ngendus sekitarnya dengan semangat. Manusia-manusia itu setiap tahunnya selalu menemukan cara untuk merusak habitatnya. Ia benci sekali.

Bertahun-tahun sudah berlalu dan ia belum menemukan jejak manusia yang diincarnya. Licin sekali kakek tua itu menyimpannya! Bahkan ia sudah menjelajahi seluruh kawasan hutan dan lembah di sekitar tempat tinggal kakek itu dan tak menemukan tanda adanya manusia lain, hingga akhirnya memaksanya memperluas pencariannya ke area manusia.

Beberapa desa di dekat lembah hanya berupa gubuk-gubuk jerami dan kayu yang menyedihkan baginya. Sekali pukul mungkin bisa rubuh semuanya. Tumpukan sampah itu terlalu berdekatan. Tapi memang begitu mereka hidup. Jadi Athan tetap mengendus setiap jalan dan rumah. Tidak ada. Tapi ada satu manusia yang menarik baginya.

Beberapa hari ini ia mengikutinya dan manusia itu selalu berakhir di jalanan setapak kecil ini, masuk ke dalam rumah jerami paling kecil di ujung pedesaan. Athan mengelilingi rumah kecil itu. Menurutnya, pasti hanya ada tempat tidur dan tungku masak saja di dalam sana. Jadi dia memutuskan untuk mengintip di jendela belakang yang hanya ditutupi secarik kain hitam lusuh. Manusia itu sedang menimang seorang bayi mungil, sendirian, di depan tungku masak yang mendidihkan air dan batu. Benar dugannya, hanya ada tempat tidur dan tungku itu serta perabot untuk baju dan meja. Ia mengendus pelan. Baunya samar sekali, tetapi sepertinya hanya petunjuk ini yang dimilikinya.

Athan menatapnya sedikit lebih lama dan memutuskan untuk pergi menjauh, kembali ke hutannya. Ke gua nya.

________________________________________________

Pedesaan berubah menjadi perkotaan. Perkotaan berubah menjadi kota yang lebih besar dan ramai. Hutannya berubah menjadi area industri berkabut hitam. Banyak makanan. Tapi ikatannya akan membunuhnya. Ia dipaksa untuk meninggalkan rumahnya selamanya tanpa perlawanan. Athan mendengus. Ia menuruni lereng terjal di depannya menuju daerah lain yang mungkin masih tidak ada manusia di sana. Semoga saja.

Hawa panas berdenyar di sekitarnya. Lembab tak nyaman. Sudah musim panas. Ia lebih suka hujan atau salju. Athan berhenti ketika terdengar suara beberapa ocehan lirih jauh di depan. Bahkan di bawah lereng ini pun sudah ada manusia. Yang benar saja. Tapi ia penasaran. Di bawah lereng ini banyak hewan buas, mengapa ada manusia?

Semak-semak duri beri beracun menggoresnya tanpa luka berarti. Beberapa tumbuhan karnivora langka mengatup dan menciut atau mati di bawah kakinya. Ia tak suka tumbuhan itu sejak terakhir kali terperangkap di salah satu yang paling besar. Sudah lama sekali, dan tumbuhan itu sudah berevolusi semakin kecil, tapi ia tetap tak suka. Pohon-pohon berdaun lebat dan tinggi dengan jejalin akar dan ranting yang saling mengait, membuat area di sini diselimuti kegelapan. Namun cahaya matahari sudah bisa masuk sejak beberapa manusia mulai menebang ke area ini dan bahkan ada yang berani semakin dalam. Tidak semua selamat. Hewan buas yang lapar makan banyak saat manusia itu datang.

Suara-suara itu akhirnya terlihat wujudnya di tepi pepohonan rapat dan semak lebat. Terdapat area luas tanpa pepohonan, hanya terdapat beberapa bekas tebangan pohon. Kain-kain kerucut didirikan para manusia. Beberapa membuat api besar di tengah. Yang lain membawa makanan. Apa yang mereka lakukan di sini? Tidakkah mereka khawatir dengan hewan buas? Mereka masuk terlalu dalam, hampir ke tengah hutan.

"Nah sebentar lagi kita akan melihat air terjun!" kata seorang pria bertubuh jangkung dengan topi coklat lebar. Pria itu bertolak pinggang di tengah, sementara tampak tak ada yang mempedulikan perkataannya. Beberapa gumaman menjawabnya.

Athan menelengkan telinganya, sepertinya bahasanya lain. Ia tak mengerti. Ia mengendus dan mendapati bau samar tak asing. Athan menjilat hidungnya dan mengendus lagi untuk memastikan. Tak salah lagi. Apa yang dilakukannya di sini? Matanya menatap setiap detail manusia yang ada di depannya. Tak ada manusia yang terlihat mirip dengan wanita yang memiliki bau ini. Athan menggaruk dagunya dan memutuskan untuk menyelidikinya.

Ia memutari area itu dan terus mengendus hingga mendapati baunya sedikit lebih tercium dari jaraknya di tepi penglihatan para manusia. Matanya memicing tajam. Adakah yang terlewat darinya? Apa bau ini bukan wanita yang diintainya? Anaknya? Sudah berapa tahun berlalu sejak saat itu? Ia tak terlalu mempedulikan waktu, namun sepertinya waktu bagi manusia berjalan cepat sekali. Sepertinya memang anaknya. Jadi Athan duduk berdebum pelan, menatap seorang manusia mungil pilihannya yang dicurigainya.

Waktu berlalu dan malam tiba. Kain kerucut yang mereka sebut tenda itu berdiri mengelilingi api besar. Para manusia, tinggi dan pendek, bernyanyi di sekeliling api dan menyantap makanan. Sampai kapan ia harus terus berada di sini? Ia harus memastikan waktu saat ini untuk mengetahuinya. Manusia sepertinya sudah memiliki peradaban yang lebih maju, mungkin sudah bukan anak dari wanita itu lagi. Athan menggeram. Manusia itu menoleh tepat ke arahnya, membuatnya terkejut hampir terguling. Ia segera masuk lebih dalam dan bersembunyi di balik dua pohon dempet yang besar. Ia tak bisa melihat manusia itu dari sini, tapi Athan tak peduli. Ia bisa menemukan manusia itu lagi nanti. Jadi dia mulai berbalik pergi dan seketika mengurungkan niatnya. Sebuah suara berkerasak ribut di telinganya. Suara tapak kaki manusia selalu terdengar lebih ribut dari hewan, seakan mereka harus mengumumkan kehadiran mereka.

Manusia mungil itu mengintip ke balik pohon tempatnya bersembunyi dengan wajah berseri-seri. Athan mengendusnya. Ia hampir tak percaya bahwa manusia itu menghampirinya walaupun seharusnya ia tak terlihat olehnya. Manusia itu terlihat kecewa. Suara kerasak lain menyusulnya dan melongokkan kepala mengikutinya. "Mana? Kau bohong, ya?"

"Aku yakin tadi ada sesuatu, suaranya keras sekali! Masa tidak dengar, sih?"

"Bagus sekali, Detektif, ayo kembali."

Manusia itu merengut, menjejakkan tanah dengan keras seiring tiap langkah menjauhi Athan. "Xander, bodoh! Kau tuli!"

"Achy," jawab suara itu mendesah lelah. "Ayolah. Aku tidak bisa selalu menjadi pengasuh bayi cengeng sepertimu! Ini hutan! Bagaimana kalau tadi binatang buas?"

"Aku akan membunuhnya!" Suaranya semakin menjauh. Athan membayangkan manusia mungil itu membunuh hewan buas yang mungkin ditemuinya.

"Terserah. Aku akan laporkan pada orang tuamu."

Athan mendekati kembali area itu untuk menatapnya lagi. "Achy, ya." [ ]