Chereads / Covenant / Chapter 2 - - 1 -

Chapter 2 - - 1 -

Lampu di sebrang jalan berkedip-kedip. Beberapa pengendara motor dan mobil melewati jalan perumahan kecil tersebut. Salah satu gang kecil gelap melolongkan teriakan kucing yang saling berkelahi. Dentang bunyi tiang yang dipukul satpam bergema dari jauh. Hawa dingin angin malam yang bercampur dengan sisa hantaman hujan badai membuatnya menggigil. Genangan air coklat kotor menyiprati dirinya seiring tiap seretan langkahnya, menggoreskan jalur basah di belakang karung yang ditariknya dengan susah payah.

Di pojok gang kecil tujuannya, di samping tumpukan sampah di bawah dengungan lalat, bayangan itu menunggunya dengan sabar.

"Achlys."

Ia mengangkat kepalanya menanggapi panggilan itu, dengan lega dilemparnya karung itu di samping tumpukan sampah sambil mengelap bulir keringat di dahinya.

"Kau terlihat."

Achlys menengok ke balik bahunya tepat waktu untuk menatap sesosok yang bergegas pergi.

___________________________________________

Siang hari yang terik menerpa kepalanya yang tak berpelindung. Jalan raya penuh dengan kendaraan yang berlalu-lalang, beberapa pengendara bahkan sama sekali tak mengindahkan lampu merah dan garis pembatas jalan. Trotoar juga penuh kegiatan dagang. Penuh sesak. Panas. Kepalanya sakit melihat itu semua bersamaan. Ia mengurut pelipisnya sambil berjalan melewati para pedagang. Motor dan mobil yang terlalu rapat ke trotoar tak dihiraukannya.

"Hei!"

Achlys menoleh, mendapati Xander berlari kecil menyusulnya. Ia menunggunya mengambil napas sebelum bertanya. Tangan kanannya berkedut pelan. "Ada apa?"

"Jangan terlalu ke pinggir," kata Xander. Ia tampak ragu. "Kau ada masalah, ya? Kenapa menghindariku?"

Achlys memutar bola matanya, melanjutkan langkah kakinya yang tertunda tanpa mengacuhkan Xander yang mengekorinya. Lelaki itu tak henti-hentinya merecokinya di perjalanan hingga akhirnya lengannya ditarik paksa untuk berhenti dan menatapnya. Xander meremas kedua bahunya dengan lembut.

"Apa yang terjadi?" Xander menatap kedua bola mata Achlys bergantian, menanti penjelasan yang dapat meredakan keresahannya. Suaranya terdengar lirih. Pertanyaan yang lebih diartikan sebagai kebodohan bagi Achlys. "Benarkah itu kau?"

"Kau melihatku?"

Lelaki itu tersentak kaget, seketika melepaskan genggamannya pada bahu Achlys seakan tengah memegang bara. Xander menatapnya antara ngeri dan tak percaya yang di balasnya dengan senyuman cemooh. Mungkin Xander tak sadar, tetapi kini mereka berdiri tepat di mulut gang yang sama di saat ia terpergoki seseorang semalam. Diapit dua bangunan tinggi membuat gang itu terlihat gelap bahkan di siang hari. Gang itu begitu sempit, hanya bisa dilewati dua orang bersisian. Di tambah tumpukan sampah dan tempat sampah jorok di satu sisi, membuat gang itu lebih sempit lagi. Tidak, ia tidak salah jalan. Memang tempat ini tujuannya.

Achlys memasuki gang sedikit, memasuki bayangan bangunan tinggi di samping tumpukan sampah. Dari ekor matanya, ia melihat Xander mengikutinya perlahan dengan ragu. Tapi kakinya sudah berpijak di tempat yang ia inginkan. Dan Achlys menghilang di balik kegelapan sesosok bayangan. Ia mendengar lelaki itu mencicit pelan. "Achy..?"

Dari balik kegelapan, sosok itu perlahan menunjukkan dirinya pada mereka. Tubuhnya yang muncul berwarna lebih hitam dari bayangan, lebih pekat dari hitamnya malam seakan ialah kegelapan itu sendiri. Kakinya melangkah berat, badannya yang sedikit membungkuk menjulang 3 meter ke atas, tangannya menjuntai hampir menyentuh tanah tanpa kuku, kepala besarnya menyerupai gabungan antara serigala dan beruang dengan moncong pendek letak hidung gelapnya yang tak terlihat lubangnya, telinganya hanya berupa cekungan di kedua sisi kepalanya, makhluk itu menatap mereka tanpa bola mata di tempatnya seharusnya rongga mata berada, perlahan mulutnya membuka hingga ujung rahangnya dan menunjukkan deretan gigi tajam bertumpuk-tumpuk seperti hiu, lidah tebalnya menjulur sejauh setengah meter, pangkal lidahnya hanya menunjukkan hitam pekat tanpa terlihat rongga tempat seharusnya kerongkongan berada.

"Maaf, aku tak bisa membiarkan kau melihatnya," ujar Achlys di belakang makhluk itu, menatap Xander yang terpaku. Sepertinya suara Achlys tidak terdengar di telinganya.

Rahang besar itu mengatup tertutup di atas Xander, melahapnya bulat-bulat dan dengan sigap kembali ke bawah lindungan bayangan. Tanpa ada darah yang menetes sedikit pun. Tak ada yang tersisa dari lelaki bernama Xander itu. Achlys menatap bayangan tempat di mana makhluk itu bersembunyi, yang perlahan merubah bentuk tubuh hitamnya dengan sesosok manusia lelaki seusianya dengan hoodie hitam dan celana kain panjangnya yang biasa. Seulas senyum kecil menghiasi bibirnya.

"Lumayan," katanya seraya mendekat, matanya berbinar lembut tapi entah mengapa sedikit menyeramkan bagi Achlys. "Kita tidak bisa tinggal di sini lagi."

"Kenapa?" tanya Achlys.

"Cepat atau lambat, kita akan menjadi tersangka. Kita harus pergi."

Kepalanya tertunduk. Haruskah? Achlys sudah merasa nyaman tinggal di lingkungan ini walaupun tak banyak yang bisa ia lakukan. Tapi makhluk itu memang benar. Mereka harus pergi. Secercah perasaan aneh timbul-tenggelam dalam pikirannya. Apakah ini keraguan? Sekali pun ia ragu, tidak ada jalan lain baginya. Tidak ada jalan lain bagi pembunuh selain bersembunyi. Jadi Achlys mengangguk padanya, berusaha membalas tatapannya dengan menyakinkan.

"Kau ada ide, Athan?"

Athan menyeringai. "Kurasa begitu."

________________________________________________

Ruangan itu gelap. Tentu saja. Karena sudah kodratnya untuk berdiri di sisi gelap. Jadi segala di sekitarnya akan selalu gelap. Matanya takkan pernah merasa terganggu dengan kegelapan, sama seperti para makhluk lain yang tidak terganggu dengan terangnya cahaya yang membantu penglihatan mereka. Namun ruangan itu tidak selalu gelap, karena gelapnya malam selalu di temani dengan cahaya lembut bulan yang jatuh dari jendelanya.

"Aim."

Seseorang memanggilnya, tapi ia masih terbaring malas di kasurnya. Ia sedang tidak ingin melakukan apa pun di malam yang tenang ini. Seseorang seperti dirinya, yang telah memiliki segalanya, rasanya tak ada lagi yang diinginkannya. Tak ada yang menarik baginya. Mungkin belum. Dan suara itu masih memanggilnya dari dalam kepalanya. Aim mengerang kesal, tapi ia tidak marah. Tentu saja. Untuk apa? Tidak penting.

"Pergi," katanya sambil menutup matanya walaupun ia tahu itu tidak akan membuat suara itu pergi.

Sebenarnya ini jarang sekali terjadi. Bukan jarang lagi, tapi hampir tidak pernah. Memanggil seorang Pangeran iblis bukanlah hal mudah. Dan lagi ia tidak meninggalkan tanda apa pun yang dapat membantu seseorang memanggilnya. Aim membuka matanya kembali. Sekilas ia merasakan sesuatu yang familiar di balik suara itu. Mungkin akhirnya akan ada sesuatu yang menarik, karena sekarang ia mengingat sesuatu yang menjelaskan hal tersebut.

Aim terkekeh geli. "Athan?" [ ]