"Aku dengar kamu udah berpisah dengan Irene?"
"Hm"
"Bagaimana bisa?"
"Lo pasti tahu... Penyebabnya kan abang lo" ketus Calvin.
"Maaf vin... Aku memang pernah ikut campur dengan urusan kak Alfi, tapi sungguh, aku gak banyak terlibat dengan masalah ini."
"Lalu, siapa guru yang menghubungi seseorang di sebrang telepon waktu di ruang guru?"
"Sumpah! Itu bukan aku... Aku akan jelasin sesuatu ke kamu"
"Halah palingan lo mau sandiwara lagi"
"Aku memang cinta sama kamu, tapi aku gak sebuta itu vin"
"Jelaskan."
"Waktu itu aku gak sengaja dengar kak Alfi ngomong sama orang di telepon, kalau yang kamu dengar suaranya mirip banget sama suara aku, itu fakta. Dan aku juga baru tahu faktanya pada saat itu. Untuk wajah juga wajah kita sama. Dia kembaran aku."
"Drama apa lagi ini Shena?"
"Namanya Aletta. Dia kembaran aku yang kepisah lama dari aku."
"Lanjutkan drama ini"
"Dia memanfaatkan kemiripan wajah kami untuk bisa menarik perhatian Irene. Aletta mencoba berteman dengan Irene, mengatur strategi pertemuan Irene dengan Alfi, hingga pada saat itu, Alfi benar-benar berhasil membuat Irene jatuh hati."
"Saya membenci hal-hal yang bersifat menipu"
"Lalu, mereka mengatur strategi lagi untuk di pertemuan selanjutnya. Irene sangat jatuh hati dengan Alfi karena Alfi begitu perhatian padanya. Alfi slalu berusaha mengabari Irene via chat atau telepon. Irene luluh, dan pada saat itu kebetulan kamu sedang sibuk-sibuknya sehingga kamu jarang pulang dan Irene mendapatkan perhatian dari Alfi. Kamu tahu kan akhirnya seperti apa?"
"Abangmu memang licik"
"Sangat. Aku harap kalian lebih hati-hati.. Alfi masih punya banyak orang yang bisa dia suruh kapan aja buat menghancurkan kalian. Untuk Irene, memang benar bukan Irene yang menjadi penyebab Revin menderita sakit parah. Ada orang dalam yang memang tidak bisa menerima kehadiran Revin di keluarga kalian. Hingga mereka melakukan rencana untuk membuat Revin menderita."
"Siapa?!"
"Maaf aku gak bisa kasih tahu kamu... Aku masih ingin hidup vin.. Aku harap kalian bisa segera menemukan jejak ini. Maaf, aku gak bisa bantu kamu banyak. Tapi aku harap, kamu bisa menjadikan aku teman baik kamu. Setidaknya kita jangan musuhan."
"Aku akan usaha untuk tidak membenci kamu."
"Makasih vin... Aku janji akan terus membantu kalian. Aku memang pernah jahat, tapi pada saat itu aku khilaf. Maaf.. aku janji akan memperbaiki semuanya."
"Di mana Aletta?"
"Dia tinggal di sebuah apartment. Jangan cari dia sekarang. Itu bahaya. Selamatkan Revin terlebih dulu."
"Maksud kamu?"
"Di sana, Revin dalam bahaya"
"Apa maksud kamu na.?"
Shena mengambil ponsel di tasnya, menunjukkan sesuatu pada Calvin.
"Astaga... Jadi ternyata?"
"Selamatkan dia ... Maaf Calvin, aku harus pergi. Aku harap kalian bisa menyelamatkan dia"
Shena berlari meninggalkan cafe. Membuat Calvin membeku di tempat.
"Ya Allah... bantu hamba..." lirih Calvin.
.....
"Ya Allah.. perasaan aku kenapa tiba-tiba gak enak ya? Ada apa ini?" gumam Elven saat bangun dari tidur siangnya.
Ivi memasuki kamar Elven, membawa sebuah nampan.
"El, makan buah dulu nak... Seharian kamu belum ada makan buah."
"Mom, perasaan aku gak enak."
"Kamu mikirin apa nak.?"
"Mom, kita harus ke Jerman sekarang! Aku khawatir Revin akan celaka mom"
"Elven... Revin akan baik-baik saja di sana. Ada oma, opa yang menjaga dia. Jangan khawatir." tenang Ivi sambil mengusap kepala Elven.
Tring!
Sebuah notif masuk di hp Ivi. Ivi mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Ia memeriksa isi pesan itu.
From Calvin :
'Kak, aku akan take off ke Jerman. Aku harap kalian baik-baik aja di sana. Jaga diri kalian...'
Ivi menutup mulutnya tak percaya.
"Kenapa Mom?" Elven melirik layar ponsel Ivi.
"Apa?! Akel ke Jerman?! Aku bilang juga apa Mom.. Akel juga mengkhawatirkan Revin. Aku khawatir Mom"
Ivi memeluk Elven.
'Andai kamu tahu nak kalau Mommy juga sangat mengkhawatirkan Revin.. Tapi Mommy berusaha menutupinya.' Batin Ivi. Ivi pun terisak.
"Mom, ayo kita sholat. Kita do'ain Revin baik-baik aja di sana."
"Ayo nak..." ucap Ivi terisak.
Setelahnya mereka berwudhu dan melaksanakan sholat ashar.
....
Calvin telah tiba di Jerman. Ia baru saja sampai di kamar hotelnya. Ia membersihkan diri dan melakukan hal lain. Setelah semuanya selesai, Calvin mengambil handphonenya yang terletak di nakas dan duduk di tepi ranjang. Ia menekan sebuah kontak di sana dan menghubunginya.
"Halo Joe... Bagaimana perkembangannya? Apa kau sudah menemukan jejak baru?"
Ya, Calvin menghubungi Joe.
'Saya belum menemukan jejak apapun Cal... Semuanya terlihat aman dan baik-baik saja.'
"Sudah kuduga.. Mereka pasti sudah mengetahui semua ini. Baiklah kau boleh ke hotel sekarang. Aku sudah memesan kamar untukmu."
'Baik Cal.. Aku ke sana.'
Tut.
Sambungan telepon pun terputus. Calvin melempar handphonenya ke sembaranga arah. Ia mengusap gusar wajahnya.
"Bagaimana ini?! Revin tidak bisa terus-terusan terbaring di brankar. Kasihan dia. Apa yang harus aku lakukan ya Allah??" monolog Calvin yang terlihat kacau dan frustasi.
Ia kemudian merenung sejenak.
"Bagaimana bisa mereka mengetahui semua ini? Mereka bermain dengan sangat cantik. Siapa sebenarnya kaki tangan mereka? Kalau sampai aku menemukan kaki tangan mereka, aku akan membuat hidupnya menderita! Sialan! Beraninya dia menghancurkan keluarga ini!"
"ARGH!!!" Frustasi Calvin yang menjambak rambutnya sendiri.
...
Joe tiba di kamar hotel yang mana telah dipesan oleh Calvin. Ia berdiri di balkon kamar.
"Maafkan aku Cal... Aku gak sanggup untuk mengatakan kebenaran ini padamu. Ini akan sangat menyakitkan kalian semua." gumam Joe. Joe menatap matahari yang mulai terbenam.
"Senja... Kau memang indah, tapi keindahanmu tak bertahan lama. Meskipun kau hadir setiap hari, tapi kau hanya datang sekejap. Itu benar-benar menyakitkan. Keindahan yang datang setiap hari namun hanya bisa menikmatinya dalam sekejap. Aku membenci senja! Kau sama seperti musuh terburuk di keluarga itu! Keindahannya hanya sekejap!" Joe memukul pengangan besi yang ada di pembatas balkon.
"Kenapa semuanya begitu rumit ya Allah?! Ada apa sebenarnya hingga mereka yang sedarah bisa tega menyakiti?! Ya Allah...." frustasi Joe yang kemudian menundukkan wajahnya di penyanggah besi dekat balkon.
"Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku tetap berpura-pura tidak mengetahui apapun? Ini tidak mungkin. Itu artinya aku membiarkan penjahat berkeliaran bebas." Joe kembali mendongakkan wajahnya.
"Ya Allah.. beri hamba petunjuk... Hamba mohon ya Allah..." lirihnya dengan mata yang terpejam. Joe kemudian memasuki kamarnya dan meninggalkan balkon. Ia berwudhu lalu melaksanakan sholat. Setelah itu, dia berniat akan makan malam di restauran yang ada di hotel tempat ia menginap.
Tok Tok Tok....
Seseorang mengetuk pintu kamar hotel Joe.
"Siapa yang bertamu?" monolog Joe bingung.
Joe kemudian berjalan untuk membuka pintu. Ia mendapati seseorang di depan pintu itu.
"Joe" ucap orang itu.
"Cal? Ada apa?" tanya Joe.
"Ada hal yang harus aku bahas.. "
"Ah kita bahas di restauran saja.. Kebetulan gue juga mau makan malam."
"Ok."
Mereka pun berjalan melewati lorong hotel dan menuju restauran. Di sepanjang jalan, mereka tak saling membuka suara. Calvin yang bersusah payah menyembunyikan rasa penasarannya. Joe yang dengan susah payah memikirkan apa yang akan dibahas oleh Calvin.
'Apa yang akan Calvin bicarakan? Ya Allah.. apapun pembahasannya, semoga hamba bisa meresponnya dengan baik... Huuuh...' batin Joe cemas.
'Apa firasat ku benar ya Allah? Benarkah Joe mengetahui sesuatu? Entahlah aku merasa demikian. Ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.. ' Batin Calvin.