Chereads / Between Him and Us / Chapter 4 - Pria di Rumah Sakit

Chapter 4 - Pria di Rumah Sakit

Tes!

Belum juga langkahnya sampai pada pintu kamar, ia merasakan sesuatu keluar dan mengalir di antara kedua kakinya.

Lin meringis, tak sanggup lagi melangkah.

"Huft … huft ...," Lin mengatur napasnya, agar tidak panik.

Rasa nyeri di pinggang dan juga perutnya semakin menjadi. Membuatnya seperti tak sanggup lagi untuk melanjutkan langkahnya.

"W—waaaatt!!!"

***

Wat diam, menatap ranjang dengan sprei putih tanpa ada siapapun di sana. Kamar rumah sakit dengan kelas VIP yang sudah dipesannya selama tiga hari itu, terasa sepi dan juga sunyi. Tanpa siapapun yang datang menjenguk Lin.

"Wat?"

Wat menoleh ketika namanya dipanggil oleh sang istri.

Lin melangkah dengan tertatih, dibantu oleh perawat yang ada di rumah sakit.

Wat tersenyum, melihat Lin yang baru saja selesai mandi.

"Thank you so much," ujar Wat kepada perawat tersebut.

Kini tugas Wat, membantu Lin kembali ke ranjangnya dan menunggu sarapannya datang.

"Sepi ya … sudah dua hari kamu di sini, tapi tiada seorang pun yang datang menjenguk."

"Apa perlu kamu memesankan tiket untuk teman-teman, agar mereka datang ke New York untuk menjenguk aku dan juga twins?" tanya Lin terkekeh.

Wat menyeringai, dengan tangan yang digarukkannya di belakang kepala.

"Ummm … a—aku mau cari makanan untuk sarapan dulu ya," ujar Wat mengalihkan pembicaraan.

"Iya … jangan pergi terlalu lama."

"Iya …."

Wat berlalu dari kamar inap Lin dan berjalan menyusuri koridor rumah sakit, menuju ke kantin untuk membeli roti dan susu.

Masih sepi, kesempatan untuknya memilih makanan sesuka hati.

"This one."

Wat menoleh mendengar suara itu.

Diam.

Wat diam mematung melihatnya.

Seorang pria berkulit putih dengan senyum yang menunjukkan lesung pipinya di sebelah kanan. Tinggi yang sejajar dengannya, dengan wajah Asia yang sangat khas.

Pria itu menyudahi transaksinya, berbalik badan dengan mata yang melihat pada Wat yang sedang berdiri di sana, menatapnya.

Wat benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa, sehingga ia memilih untuk diam. Menahan sesak di dada yang sedari tadi terus bergetar. karena jantungnya yang terus berdegup kencang. Ia juga merasa aliran darahnya sesaat begitu deras, sehingga membuatnya berdesir, begitu lemas tak berdaya.

"Excuseme …."

Wat hanya diam, masih menatapnya yang kini berlalu, pergi menjauh dan melangkah semakin jauh darinya, hilang dari pandangannya.

'I—itu tadi … apa?' batinnya bertanya-tanya.

***

"Wat?"

"…."

"Wat?"

"…"

"Hallo … Wat!"

Wat terkesiap, lamunannya buyar seketika.

"Ah, Lin … ada apa?"

"Ada apa denganmu? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Lin, ia khawatir pada suaminya, yang sejak tadi hanya diam dan melamun.

"Tidak … a—aku baik-baik saja kok. Bagaimana dengan Twins, apa sudah diberi susu?"

Wat berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Sudah."

Raut wajah Lin berubah, ia menjadi khawatir ada sesuatu yang terjadi pada Wat.

***

Wat berjalan menyusuri kamar inap, mengintip di setiap pintu dari kaca kecil yang terbuka tanpa tirai.

Wat terlihat aneh, seperti sedang orang yang kebingungan.

'Mana ya?' batinnya terus bertanya-tanya.

Kakinya berhenti melangkah.

Melihat apa yang ada di hadapannya kini.

Pria yang tadi ia temui di kantin, keluar dari kamar inap yang berada di koridor yang sama dengan kamar inap Lin.

Wat melanjutkan langkahnya, namun tidak terburu-buru. Ia berusaha untuk dapat mengikutinya tanpa diketahui oleh pria itu.

"Mister Water!"

Suara seorang perempuan memanggilnya dari belakang. Membuat Wat menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

Seorang perawat datang menghampiri Wat dengan menunjukkan sebuah kertas seperti dokumen yang harus dilengkapinya untuk kebutuhan administrasi.

"Mrs Lin's husband?"

"Yes."

***

Hari terakhir Lin dirawat di rumah sakit. Seharusnya Wat senang, karena ia bisa dengan bebas bersama dengan istri dan anak kembarnya. Tetapi raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan raut bahagianya. Ada beban yang masih dipikirkan olehnya, beban yang membuatnya penasaran, beban yang juga telah membuat hatinya menjadi tidak karuan, beban dari pria yang ia temui di kantin pagi itu, yang sampai saat ini masih saja terlintas dalam ingatannya.

"Wat …"

"…"

"Wat …?"

"…"

Puk puk!

Lin menepuk bahu Wat, pelan. Membuat Wat sadar dari lamunannya.

"Lin … ada apa?" tanya Wat seperti orang yang baru saja dikagetkan.

"Kamu kenapa? Aku perhatikan, dari kemarin kerjamu hanya melamun saja. Jangan melakukan hal yang tidak berguna untuk saat ini, Wat. Tertawalah, sambut kedua anakmu dengan suka cita," ujar Lin.

"Huft … iya … aku tidak melamun, hanya lelah saja," balasnya meyakinkan kalau tidak ada yang sedang mengganggu pikirannya.

Wat beranjak dari tempat duduknya, kemudian meregangkan ototnya dengan menarik kedua tangannya ke atas.

"Mau kemana?" tanya Lin.

"Keluar sebentar. AC di kamar terlalu dingin … aku mau cari udara segar dulu, ya …," jawab Wat kemudian berlalu dari kamar inap Lin.

"Ada apa dengannya? Aku merasa ada yang lain darinya," gumam Lin, curiga dan khawatir.

Sementara itu, Wat berjalan perlahan menghampiri kamar inap dimana pria yang selalu mengganggu pikirannya, kemarin keluar dari kamar itu.

Matanya membesar ketika melihat tidak ada siapapun yang berada di dalam sana. Bukan hanya kosong, tetapi kamarnya juga gelap.

Wat mengalihkan langkahnya, kini menuju meja resepsionis, dimana seharusnya ia bisa mendapatkan informasi alamat atau nama pasien yang berada di kamar inap tersebut.

Tapi sangat disayangkan, pihak rumah sakit tidak bisa memberitahunya karena itu adalah hal yang bersifat privasi. Wat tidak bisa memaksa, apalagi yang bisa dilakukannya selain hanya menyesal.

'Bodoh! Kenapa tidak sejak awal aku mengajaknya berkenalan?! Saat sudah seperti ini, aku hanya bisa menyesal!' batinnya menggerutu, menyalahkan dirinya sendiri.

Tidak bisa mendapatkan informasi apapun, akhirnya Wat memutuskan untuk kembali ke kamar inap Lin, menemai sang istri yang pasti sudah curiga dengan sikapnya yang berbeda sejak kemarin. Ia harus mengembalikan mood Lin kembali baik, karena saat ini Lin baru saja melahirkan dan ia tidak diperbolehkan untuk memiliki beban pikiran, apalagi sampai stres. Karena itu bisa membuatnya terkena baby blues.

Cklek

Wat masuk ke dalam kamar inap Lin dan melihat sang istri sedang menyusui salah satu anak kembar mereka, dibantu oleh suster yang juga menemani Lin disana.

"Sedang menyusui?" tanya Wat yang kemudian menghampiri.

"Iya … gantian. Kamu mau menggendongnya tidak? twins yang satunya sedang tidur tuh."

Wat menoleh pada keranjang bayi yang berada di sebelah perawat itu. Ia melangkahkan kakinya menuju kesana, menghampiri anak perempuannya yang sedang tidur.

"Hati-hati ya Wat," pinta Lin, masih khawatir suaminya belum bisa menggendong bayi.

"Hai twins … ini papa …."

Wat menggendong anaknya pelan dan juga dengan sangat hati-hati.

"Lin … apa kamu sudah memikirkan namanya?" tanya Wat.

Lin membulatkan matanya, kemudian menggeleng.

"Belum," jawabnya kemudian.

"Ummm … aku sudah mempersiapkannya, tapi … aku tidak tahu kamu akan setuju atau tidak."

"Siapa namanya, Wat?"

"Nama yang sudah aku persiapkan adalah …."