"Jangan takut. Ayo main bersamaku."
Uluran tangan berada tepat di depan wajah Win.
Ia menengadahkan kepalanya, melihat sosok tampan dengan usia yang bisa ditebak, Win jauh lebih muda darinya.
"Aku Tird. Kita bisa berteman, bukan?"
Win hanya diam, menatap Tird penuh curiga.
Tird jongkok dihadapan Win, mengusap air matanya.
"Jangan sedih. Ada aku di sini …."
Win menggapai uluran tangan Tird dan memberikan senyum. Ia berdiri dari tempat duduknya dan dengan sumringah berlalu bersama Tird.
***
Flash back off
Lin tidur dengan tangan yang terus mendekap Wat. Merasa hangat dan juga sangat nyaman. Namun tidak dengan Wat, yang sudah dini hari masih belum juga bisa tidur.
Ada beban yang sedang dipikirkan olehnya. Beban yang harus ia hadapi selama beberapa waktu ke depan, namun entah sampai kapan.
Flash back
"Lin!"
"Promise, to be my man, Wat," ucap Lin.
Tangan Lin menarik kaos yang dipakai oleh Wat.
Wat menarik tangan Lin, hingga tubuh wanita itu jatuh tepat di atasnya. Ia merubah posisi tidur mereka dan kini Lin berada di bawahnya.
"W—wat …."
"Lin … maaf. Untuk melakukan itu—"
"W—wat … a—aku hanya bercanda," ucapnya, tidak ingin memaksa Wat untuk melakukan hubungan intim dengannya.
Wat memberikan kecupan di leher Lin.
"Istirahatlah … besok kamu masih harus berjuang, bukan?"
Lin tersenyum.
"Wat," panggil Lin.
"Hm?"
"Aku … sudah bukan kekasih pura-pura kamu, bukan?"
"Maksud kamu?"
"Anggap saja hubungan kita sudah berakhir. Aku … a—aku tidak ingin disudutkan di kampus."
"Kamu baik-baik saja?"
"Maka dari itu … berjanjilah padaku. Di luar kampus … kamu tetap menjadi suami dan papa terbaik."
Wat tersenyum, menepikan rambut Lin ke belakang telinga.
"I promise …."
***
Tiiin …!!!
Wat menekan klakson mobil yang ada di kemudi, melihat Win yang sedang berjalan masuk ke dalam kampus.
Ia menurunkan kaca mobil dan menyapa Win.
"Masuk," ajaknya.
"Terima—"
"Masuk. Aku tidak menerima alasan," ujarnya.
Win menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian ia menghampiri sisi kiri mobil Wat dan masuk ke dalamnya.
"Wat, ini sudah di dalam kampus, aku bisa jalan kaki menuju ke gedung perkuliahan," tutur Win, malu karena Wat secara tidak langsung memaksanya untuk masuk ke dalam mobil.
"Aku tidak ingin kamu lelah," jawab Wat.
Win menghembuskan napasnya, mendengus.
"Bagaimana dengan Lin?" tanya Win.
"Dia … baik-baik saja," jawabnya begitu santai.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan?" tanya Win lagi.
"Cukup lama," lagi-lagi Wat menjawabnya tanpa menoleh pada Win, matanya fokus mencari tempat untuk parkir mobilnya.
Win menggelengkan kepalanya.
"Sudah selama itu … pantas saja, kamu rela menggantikan Lin untuk dekat denganku."
"Ya … kalau kamu memang gay … tidak perlu memaksakan diri untuk jatuh cinta pada seorang wanita. Ikuti saja jalan takdirmu," ucap Wat.
"Tapi aku tidak bisa janji, akan tertarik padamu."
"Kamu sudah mengatakannya, kalau kamu tertarik padaku sejak di rumah sakit itu, bukan? Kamu hanya perlu melanjutkannya saja," ujar Wat.
"Tapi aku sudah berniat untuk mengencani seorang wanita, bukan pria lagi. Rencanaku gagal karena harus melakukan pendekatan denganmu," gerutu Win.
"Pendekatan?" tanya Wat, tangan kirinya menarik rem tangan, kemudian mematikan mesin mobilnya.
"Iya … kamu sedang berpura-pura mendekatiku, bukan?"
"Bukan. Kamu adalah kekasihku," ucap Wat menatap mata Win penuh arti.
"K—ke … kasih?"
"Kamu adalah kekasih pura-pura ku dan kita sudah menjalaninya sejak kemarin," ujar Wat, melepas seat belt nya.
Ia keluar dari mobilnya dan disusul oleh Win.
"Wat! Kita harus bicara dulu," panggil Win, mengejar Wat yang sudah berlalu lebih dulu.
"Sambil jalan saja," balas Wat.
"Tidak bisa, Wat!"
Tangan Win menarik pergelangan tangan Wat, ia menahannya agar Wat tidak melangkahkan kakinya dengan laju.
Wat menghentikan langkahnya, melirik pada tangannya yang sedang digenggam oleh Win. Ia tersenyum, namun sinis.
"Kamu ingin aku menggandeng tanganmu?" tanya Wat.
Win segera menepis tangan Wat dan bertolak pinggang.
"Bukan seperti itu," ucapnya.
"Lalu?" tanya Wat, melipat kedua tangannya di atas perut.
"Kita perlu bicara … mengenai hubungan kita," jawab Win, mengecilkan volume suaranya.
"Kamu adalah kekasihku," balas Wat dengan santai, tanpa mengecilkan volume suaranya.
"Wat!" tegur Win.
Wat semakin mendekat pada Win dengan melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di hadapan Win, seolah tidak memberikan jarak.
"Kamu kekasihku, Win … kekasih pura-pura," ujarnya kemudian tersenyum.
Wat melangkah mundur, kemudian berlalu, membiarkan Win masih tetap di posisinya, dengan raut yang masih tercengang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Wat.
Sementara itu, Wat sama sekali tidak lagi menoleh pada Win dan membuat Win semakin geram dengan sikapnya pagi ini.
"Wat!" panggil Win, namun tidak dihiraukan oleh Wat.
Win mendengus, kesal.
'Wat, lihat aku … menoleh lah … please!' batinnya menggerutu.
Sayang … Wat sama sekali tidak menoleh.
"Sial!" umpat Win kesal.
***
Lin masuk ke dalam kelasnya, menghampiri Ran dan duduk bersebelahan dengan sahabatnya itu.
Ia menunjukkan raut, seolah sedang memiliki beban yang cukup berat.
"Kamu kenapa?" tanya Ran.
"Aku baik-baik saja, Ran … bagaimana dengan tugas yang kemarin kita bahas?" tanya Lin dengan menjawab pertanyaan dari Ran sebelumnya.
Ran menarik lengan tangan Lin, hingga mereka duduk hampir tanpa jarak.
"Hmmm, Lin … tugasnya nanti dulu saja. Ada hal yang jauh lebih penting, yang ingin aku tanyakan," ujar Ran, sedikit berbisik pada Lin.
"A—ada … apa, Ran?" tanya Lin, ikut berbisik.
"Kamu … benar-benar kekasihnya Wat … atau memang hanya kekasih pura-pura saja?"
Lin sedikit mundur, menggeser tempat duduknya. Ia seolah tidak ingin menjawab pertanyaan dari Ran.
"Lin?"
"Ran—"
"Lebih baik kamu cerita padaku … daripada kamu jadi bulan-bulanan mereka," balas Ran, berbisik lagi, sembari melirik ke arah tempat duduk di belakang, sekumpulan mahasiswa yang disinyalir terobsesi pada Wat.
Lin melipat kedua bibirnya, benar-benar bingung. Bukan bingung karena harus menceritakannya kepada Lin atau tidak, tetapi bingung … mengapa hanya karena menjadi pasangan seorang Wat, ia menjadi bulan-bulanan di kampus.
"Lin!"
Seru seorang temannya dari arah pintu.
Lin menoleh, melihat seseorang yang kini sedang berdiri di tengah pintu, melambaikan tangan kepadanya.
Lin tersenyum dan beranjak menghampiri pria itu … siapa lagi, kalau bukan Win.
Kini Lin sudah berada di hadapan Win.
"Ada apa, Win?" tanya Lin, memberikan senyumnya.
"Ada kelas pagi ini?"
"Tidak ada," sahut teman kelas Lin yang tadi memanggil Lin.
"Tidak ada," jawab Lin, mengulang sahutan teman kelasnya.
"Bisa bicara? Sebentar saja," tanya Win, berharap Lin mengiyakannya.
Lin mengangguk dan tersenyum.
"Boleh."