"W—wat?"
Mata Win membesar, melihat wajah Lin terpampang jelas di status harian media sosial milik Wat.
Win lemas seketika. Merasa telah dibodohi oleh Wat yang kesannya masih mencintai dan tidak bisa melepaskan Lin.
"Tidak perlu jadi kekasih pura-pura, aku juga tidak akan mengejar Lin lagi, Wat. Kalau sudah seperti ini, yang kecewa adalah aku. Kamu sangat bisa membuat semua yang melihatmu jatuh cinta seketika, termasuk aku."
***
June melipat kedua tangannya di atas perut seraya memasang raut ketusnya, yang kesal karena Wat hari ini tidak masuk kuliah. Hari ini adalah presentasi, dimana June berpasangan dengan Wat. Selama melakukan kolaborasi untuk menyelesaikan tugas itu, June jelas sangat senang karena bisa mengambil kesempatan untuk dekat dengan Wat. Tapi sayangnya, senang yang dirasakan oleh June terkalahkan dengan perasaan kesal, tanpa hadirnya Wat di hari presentasi.
Dengan sangat terpaksa June melakukan presentasi sendiri, tanpa Wat. Meskipun Wat tetap akan mendapatkan nilai tugas tersebut karena ia ikut andil dalam pengerjaan, tetapi di pihak June jelas merugi, karena ia yang harus mempresentasikan dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seorang diri, tanpa ada yang membantu memikirkan jawabannya.
"Aaaa …!!! Kesal …! Kesal …!!!" gerutu June ketika jam perkuliahan usai.
"June … Wat sudah bilang, bukan? Dia itu sakit, bukannya menghindar dari presentasi," ujar Mario menenangkan June agar tidak terlalu emosi.
"Sakit? Kamu tahu, Lin juga tidak masuk kuliah, Mario … pasti mereka sedang bersama sekarang. Kamu juga lihat bukan, kemarin Wat memposting foto Lin."
"Berpikir positif saja, June. Jangan terus menggerutu dan men-judge orang seperti itu," timpal Tom.
"Ah! Kamu dan Mario sama saja. Menyebalkan!" rengek June, kemudian berlalu meninggalkan kedua temannya.
Tom dan Mario menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan sifat temannya yang satu itu.
Tidak selesai sampai di situ, June kini sedang menuju ke gedung perkuliahan jurusan Lin. Entah apa maksudnya, tetapi ia terlihat sangat murka.
"Ran!" seru June, meneriaki nama sahabat Lin.
Ran yang mendengarnya segera menoleh dengan memasang raut penuh herannya.
"Ran!" panggil June lagi, kini mereka sudah berhadapan.
"Ada apa, June? Lin tidak masuk kuliah, jadi sebaiknya kamu tidak perlu mencarinya padaku," ujar Ran, tanpa basa-basi dan terlihat tidak senang dengan kehadiran June.
"Kenapa Lin tidak masuk kuliah?" tanya June, masih saja penasaran.
"Kamu tanya saja pada teman yang kamu agungkan itu. Bukankah mereka memiliki hubungan?"
"Kamu cemburu?" tanya June.
Kaki Ran satu langkah maju ke depan, kini semakin dekat dengan June.
"Bukankah yang cemburu itu, kamu?"
Tangan June mengepal kuat, menahan emosinya yang semakin membara karena ucapan Ran.
"Jangan asal bicara, ya kamu. Kalian di sini, yang menyukai dan tergila-gila pada Wat, tidak bisa dekat padanya, bukan? Jadi … yang cemburu itu, aku … atau kamu dan teman-temanmu?!" tanya June dengan gertakan.
"Aku dan yang lainnya adalah penggemar Wat. Tidak seperti kamu yang jatuh cinta kepadanya, sehingga tidak terima saat tahu kalau Wat memiliki hubungan dengan Lin," balas Ran, memiliki alasan kuat untuk membela diri dan menyudutkan June.
Dengan geram, June memilih untuk pergi, menahan rasa malunya. Ia berlalu tanpa berkata sama sekali.
***
Di hari yang sama, Win juga tidak masuk kuliah dan memilih beristirahat di rumah saja.
Sama seperti June, Win juga sedang gundah gulana karena Wat. Sejak kemarin mengantarnya pulang, Wat sama sekali belum menghubunginya lagi.
'Ah! Untuk apa aku memikirkannya,' batin Win menggerutu.
Ia tidak pernah mau mengakui kalau dirinya memiliki rasa gundah ketika tidak mendapat kabar dari Wat dan juga jelas terlihat cemburu saat tahu kalau Wat masih memiliki hubungan dengan Lin.
Sementara itu, Wat masih sibuk dengan kedua anaknya, sembari menemani Lin yang sedang masak di dapur.
"Jangan nakal, Nas … Kakaknya sendiri di pukul," oceh Wat ketika mendapati anak perempuannya yang lebih nakal dari anak laki-lakinya.
"Kenapa Wat?" tanya Lin, sembari memotong daun bawang, masih di dapur.
"Nas itu seperti kamu, kalau ke laki-laki tidak bisa lembut. Pin saja di pukul olehnya," jawab Wat, yang juga berada di dapur, tapi duduk di lantainya bersama kedua anaknya.
Lin hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Hari ini Lin merasa cukup bahagia, bukan hanya karena sembuhnya Pin dan Nas, tetapi juga kebersamaannya bersama suami dan kedua anaknya.
Ting!
Ponsel Wat berbunyi, menandakan ada notifikasi yang terpampang di layar ponselnya.
Wat melihatnya, itu adalah pesan dari Win.
Wat menoleh pada Lin, yang masih asyik dengan masakan dan juga alat masaknya.
Wat mengambil ponselnya dari saku celana pendek yang dipakainya. Ia mencuri kesempatan untuk membaca dan membalas pesan dari Win.
Win : Wat?
Pesan dari Win, hanya memanggil Wat saja.
Wat tersenyum dan memilih untuk membalas pesan dari Win.
Wat : Bagaimana keadaanmu? Tanganmu sudah baikan?
"Wat!" panggil Lin dengan sedikit ketus.
Wat tersentak dan menoleh pada Lin.
"Aku tidak ingin kejadian saat itu terulang lagi. Kalau kamu tidak bisa mengenyampingkan ponselmu, biar aku saja yang menjaga Pin dan Nas, kamu yang lanjutkan masak," ujar Lin.
Wat segera menyimpan kembali ponselnya. Kali ini ia menyimpannya di atas meja, di ruang tengah rumahnya.
Wat kembali dan bermain bersama Pin dan Nas, sementara Lin tetap melanjutkan memasak.
***
Hari kembali normal. Lin menitipkan Pin dan Nas kepada orang tuanya –Nam dan Khiel-. Dan melanjutkan perjalanannya menuju ke kampus dengan menggunakan transportasi umum, yakni bajaj.
Sementara itu, Wat sudah lebih dulu tiba di kampus dan ia melihat Win yang sedang berjalan masuk ke kampusnya, sendirian.
Wat membunyikan klakson mobilnya agar Win menoleh dan segera masuk ke dalam mobilnya.
Tetapi … itu hanya ada dalam pikiran Wat saja. Karena kenyataannya, Win hanya menoleh sejenak dan tetap melanjutkan perjalanannya tanpa merespon apapun lebih lanjut.
"Win …kenapa, ya?" tanya Wat yang heran dengan sikap Win.
Ia segera mengambil ponsel miliknya dan melihat kembali pesan dari Win, yang kemarin tidak sempat dibalasnya lagi.
Win : Kamu sedang apa?
Wat menngaruk kepalanya, benar-benar lupa untuk membalas pesan Win. Karena teguran dari Lin, ia benar-benar melupakan ponselnya hingga pagi dan saat ia mengambilnya, ia sama sekali tidak melihat pemberitahuan apapun pada ponselnya.
"Apa dia marah karena aku tidak membalas pesannya?" gumam Wat bertanya-tanya.
Wat memilih untuk bergegas menuju area parkir dan mencari tempat parkir yang tidak terlalu jauh dari gedung perkuliahannya.
Setelahnya, ia segera keluar dan berlari, mengejar Win yang kini masih berjalan di koridor menuju ke gedung perkuliahannya.
"Win!" seru Wat seraya menarik lengan tangan Win.
Win menghentikan langkahnya dan menoleh pada Wat.
Ia menepis tangan Wat dengan raut ketus.
"Kamu kenapa? Apa aku ada salah?" tanya Wat.
"Aku sedang buru-buru," jawab Win masih ketus.
"Kamu cemburu?"