Wat bergegas pulang, tidak ikut merayakan kemenangan pertandingan tersebut, meskipun ialah yang membuat jurusannya menang dalam pertandingan ini.
Baginya, mengejar Lin dan Win adalah hal yang jauh lebih penting dari merayakan kemenangan tersebut.
Wat melangkah menuju ke parkiran mobil dan segera mengemudikannya dengan kecepatan rendah, mengikuti Win, Lin dan Ran yang sedang berjalan keluar area kampus.
Ia menepikan mobilnya, melihat sang istri yang pulang dengan bajaj bersama dengan Ran. Wat memutuskan untuk keluar dari mobil dan menghampiri Win yang masih berdiri di tepi jalan, sepertinya menunggu jemputan.
"Win!"
Terdengar suara seseorang memanggil pria tampan itu. Win menoleh, menuju ke arah sumber suara.
"Ada apa?" tanya Win yang kini sudah berhadapan dengan pria yang memanggilnya.
"Apa kamu menyukai Lin?"
"Maksud kamu?"
Wat melangkahkan kakinya, hanya sejengkal. Hingga berdiri tepat di hadapan Win, dengan jarak yang sangat dekat.
"Jangan dekati Lin lagi."
Win tersenyum, begitu sinis pada Wat.
"Apa hak kamu melarangku untuk mendekatinya?"
"Itu … karena aku tidak yakin … kalau kamu benar-benar menyukainya," ujar Wat, mencari alasan yang cukup baik.
Win diam, merubah raut wajahnya. Ia mengerjapkan matanya, terlihat seperti ada beban yang tiba-tiba menumpuk padanya.
"Ada apa?" tanya Wat, tiba-tiba menaruh perhatian pada Win.
"Tidak ada," jawabnya.
Sebuah mobil menepi di dekat mereka, tepat di tepi jalan.
"Aku harus pergi," ujar Win, kemudian berlalu, masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu.
Wat diam, melihat mobil itu berlalu, hingga hilang dari pandangan.
'Aku menangkap seperti ada yang lain … apa yang tiba-tiba merubah mood Win menjadi muram seperti itu? Dia benar-benar menyukai Lin?' batinnya bertanya-tanya.
***
Saat di rumah, Wat menemani Lin yang sedang meniduri kedua anaknya. Ia hanya duduk mengerjakan tugasnya di lantai kamar twins dan Amara sedang berbaring di atas tempat tidur bersama kedua anaknya.
Terdengar Lin bersenandung guna membuat anaknya segera terlelap.
Benar … tidak perlu menunggu lama, Pin dan Nas sudah tidur nyenyak dengan posisi tidur yang tidak beraturan.
"Wat, sini!" panggil Lin, meminta sang suami untuk menghampirinya.
Wat beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Lin.
Istrinya menunjukkan kedua anaknya yang sedang tertidur sangat pulas.
"Mereka tidur dengan sangat pulas, tanpa beban. Tidak perlu merasakan pahitnya kehidupan," tutur Lin.
"Kita juga harus memastikan, kalau hidup mereka tidak sulit saat beranjak dewasa nanti. Dan kamu … tetaplah seperti ini … menjadi ibu terbaik untuknya," ujar Wat mengusap kepala Lin.
"Terima kasih … kamu juga, papa yang sangat diandalkan untuk mereka—"
"Tapi aku belum bisa menjadi suami yang bisa kamu andalkan, bukan?"
Lin diam, menarik bibirnya membentuk bulan sabit.
"K—kita tidak perlu membahasnya. Ummm … apa kamu tidak lelah?"
"Lelah, bagaimana?"
"Tadi … kamu, kan … habis bertanding. M—maksudku … kalau lelah, aku bisa membantu memijatmu," ujarnya malu-malu.
Wat tersenyum. Ia berbalik badan dan mengambil laptop yang ia letakkan di lantai.
Ia kembali menghampiri Lin.
"Pijatnya di kamar saja, ya …."
Wat berlalu keluar dari kamar anaknya lebih dulu dan Lin segera menyusulnya.
Diwaktu yang bersamaan, Win, di rumahnya sedang melihat isi beranda di media sosialnya. Saat ini ia sedang berada di beranda milik Wat, pria yang melarangnya untuk mendekati Lin.
Win menarik napas panjang dan menghelanya dengan mendengus. Ia melihat beberapa foto milik Wat. Dimana slide pertama adalah foto dua ranjang bayi, lalu di slide berikutnya adalah foto sebuah koridor rumah sakit, lalu slide berikutnya lagi adalah sebuah kantin dan yang terakhir adalah pintu kamar inap dengan nomor yang membuat Win tercengang.
'I—ini, kan … rumah sakit di New York?'
***
"Aku pikir kamu pergi merayakan kemenangan bersama tim, ternyata tidak," ujar Lin, sembari memijat kaki suaminya.
"Tidak. Aku tidak mau kamu menunggu terlalu lama di rumah ibu," jawabnya.
"Hmmm, W—wat … tadi … aku lihat kamu pakai sepatu hitam, yang aku pilihkan untukmu. Apa itu benar?"
Wat memajukan bibirnya dengan menarik kedua alisnya. Ia mengangguk, berarti jawabannya adalah 'iya'.
"Kamu tidak jadi membeli yang putih? Bukankah kamu menginginkan yang—"
"Aku hanya ingin mendengarkan apa katamu. Lagipula … pilihanmu juga tidak buruk. Aku sudah menyukai sepatu itu, kok," timpal Wat, tidak ingin Lin mempermasalahkannya.
'Kenapa sukanya pada sepatu pilihanku? Seharusnya kamu menyukaiku,' batinnya lagi-lagi mengeluh.
"Lin!"
"Hm?!" sahut Lin, tersentak.
"Kamu kenapa?" tanya Wat heran, mengapa istrinya tiba-tiba tersentak.
"Ah .. a—aku hanya melamun saja," jawabnya.
"Ouh … aku mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Wat.
"Bertanya mengenai apa?"
"Pria yang bersamamu tadi … itu siapa?"
"Ouh .. itu Win … yang aku tahu, ia satu jurusan dengan kamu, Wat. Kamu memang tidak mengenalnya?"
"T—tidak … tapi, ya … aku minta … kamu jangan mendekatinya."
"A—aku tidak mendekatinya, Wat," elak Lin, membesarkan matanya.
"Tapi dia mendekatimu, kan?"
"Tapi aku hanya menganggapnya teman biasa saja … sama seperti yang lainnya," ujar Lin.
"Aku percaya padamu. Sangat percaya … tapi aku minta, jika ia mendekatimu lagi, tolong menjauhlah … anak-anak dan aku, adalah prioritasmu selain kuliah, paham?"
Lin menganggukkan kepalanya, merasa tidak adil.
'Dia yang membebaskan, tapi kini dia juga yang membuat larangannya,' batinnya selalu mengeluh,
***
Wat tiba di kampus, ia segera melangkah menyusuri koridor, menuju ke gedung perkuliahannya.
Suasana cukup ramai di pagi hari ini, sayangnya … di saat ia ingin bergegas menuju ke lift, ia dihadang oleh seorang pria yang terlihat sedari tadi sedang berdiri, bersandar di depan mading.
"Aku sedang buru-buru," ujar Wat, menolak.
"Berikan kontakmu, jika saat ini kamu terburu-buru."
Wat menatap sinis pada pria yang saat ini sedang berada di hadapannya. Pria itu adalah Win, pagi-pagi sudah membuat mood nya tidak baik.
"Untuk apa dan ada perlu apa?" tanya Wat.
"Sebaiknya kita cari tempat untuk bicara," ujar Win.
"Aku buru-buru, kamu tolong jangan memaksa."
"Ta—"
"Win!"
Terdengar suara seseorang meneriaki Win.
Wat dan Win menoleh ke arah sumber suara. Itu adalah suara Lin.
Lin berlari menghampiri keduanya dan menatap Win penuh arti.
"Lin?" sapa Win.
"Win, tolong jangan mendekatinya," pinta Lin.
"Hm? Maksud kamu?"
"Pa—gi ini, W—wat ada kuis. Dia harus segera ke kelasnya," ujar Lin membantu Wat untuk menghindar dari Win.
"Masuk sesi masih satu jam lagi, Lin … aku hanya ingin bicara sebentar saja dengannya," ujar Win, mengutarakan maksudnya.
"Tapi pagi ini aku ingin sarapan bersama dengan Wat," ujarnya dengan lantang.
Lin merangkul tangan Wat dan mendekatkan tubuhnya pada pria itu.
"Kamu janji kalau kita akan sarapan bersama, bukan?"