"Mau kemana?" tanya Wat.
"Rumah ibu," jawab Lin, ketus.
"Aku antar."
"Aku naik taksi saja."
"Lin …."
"Ti—"
"Kamu bisa menurut, tidak?!"
Lin diam, menatap tajam kedua mata Wat. Ia terduduk di kursi, memalingkan wajahnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Lin?"
Lin diam, tidak menyahutinya.
"Lin, ada apa?" tanya Wat lagi.
Terdengar isak, yang sepertinya terlepas dari mulut Lin.
"Kamu nangis?"
"Aku hari ini tidak kuliah. Kamu tidak perlu repot mengantarku ke rumah ibu," tutur Lin, kembali beranjak dengan menggendong Nas dan juga mendorong stroller Pin, masuk ke dalam kamar anak-anaknya.
Cklek
Lin menutup pintu kamar itu dan juga menguncinya.
Wat hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
Ia memasang raut kesal, seolah tidak sanggup jika harus menghadapi wanita yang kerap marah tidak jelas, seperti Lin.
"Memangnya aku salah apa lagi? Perasaan hanya membuat Pin jatuh saja, deh," gumam Wat, merasa kalau kesalahannya hanya sebatas lalai sehingga anak laki-lakinya itu jatuh.
Sementara itu di kamar, Lin berhasil meluapkan seluruh amarah dan rasa kecewanya dengan menangis. Meski ia menahan isak dengan menutup mulutnya dengan tangan kanan, tetapi tidak dapat menutupinya dari Wat.
Tok tok tok
"Lin? Aku ke kampus ya … ka—mu … jangan nangis lagi. Pulang kuliah nanti, kita bicara lagi," ujar Wat, yang berada di depan pintu kamar.
Lin hanya menoleh, memandang pintu yang menghalangi keberadaan Wat.
***
Hari ini pria yang memilki ketampanan paripurna itu lebih banyak diam dan melamun. Seolah ada beban yang menganggu pikirannya.
'Aku sudah follow, tapi kenapa belum di konfirmasi, ya?' batinnya bertanya-tanya.
Bukan Lin yang sedang ia pikirkan, tetapi pria bernama lengkap Win Archivitae.
"Siapa itu?" tanya Tom, tiba-tiba melongokkan kepalanya pada ponsel Wat. "Oh, Win. Dia sedang mengejar perempuan di gedung sebelah. Cantik, pantas saja pria setampan Win mengejarnya," lanjut Tom memaparkannya.
"Maksud kamu?" tanya Wat.
"Wah, kamu tersinggung karena aku bilang Win tampan, ya? Kamu tetap paling tampan kok, di kampus," balas Tom.
"Bukan begitu … maksud kamu Win sedang mengejar perempuan di gedung sebelah itu, apa?"
"Aku tidak tahu siapa namanya. Tapi Win memang kerap bersama perempuan itu. Aku yakin, kalau kamu masih lajang, kamu pasti akan menyukainya. Memang cantik, kok."
"Aku jadi penasaran, siapa perempuan itu," gumam Wat.
"Eh, tunggu … sepertinya … kita pernah bertemu dengannya," lanjut Tom.
"Win? Atau perempuan itu?"
"Perempuan itu. Kalau tidak salah, saat di kantin."
Wat diam, mengingat kapan saja ia dan teman-temannya berada di kantin, kemudian bertemu dengan perempuan cantik.
"Yang ditegur June, itu …."
Mata Wat membesar, menoleh pada Tom.
"Lin?"
"Oke! Kamu tidak bisa mengelaknya lagi," celetuk Tom, mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. "Kamu memang mengenal Lin, bukan? Satu kampus sedang ramai membicarakan kalian."
"Itu, kamu sedang apa?" tanya Wat menunjuk pada ponsel Tom.
"Merekam. Kamu selama ini tidak mau mengakui perihal media sosial milikmu, yang saling follow dengan Lin Kalvinaceka. Dan sekarang, kamu menyebut namanya dengan lantang, berarti kamu memang sudah mengenalnya dengan baik, bukan?"
"Kalian kalau membicarakan orang memang ahli, ya …," gerutu Wat, memilih berlalu dari tempat duduknya, di depan kelas.
Wat berjalan menuju ke koridor, tepatnya ke parkiran. Ia ingin pulang awal, karena kesal dan semakin memikirkan pria yang sudah diketahui namanya adalah Win, dimana pria itu diketahui sedang mendekati seorang perempuan, yang diduga adalah Lin.
***
"Aku pulang awal," ujar Wat ketika masuk ke dalam rumah, dimana Lin yang membukakan pintunya.
"Aku sudah masak, makanlah," balas Lin kemudian berlalu.
"Tunggu!"
Wat menahan Lin dengan menarik pergelangan tangan wanita itu.
"Ada apa?" tanya Lin, menoleh.
"Siapa pria yang sedang mendekatimu?" tanya Wat.
"Tidak ada," jawab Lin, sangat dingin.
"Banyak yang sudah membicarakannya, Lin …."
"Kalau ada yang mendekatiku, apa itu menjadi urusanmu?" tanya Lin.
"Aku suami kamu. Aku perlu tahu," jawab Wat.
"Tidak ada satupun pria yang mendekatiku, termasuk suamiku sendiri," ujar Lin, menepis tangan Wat dan kembali menuju ke kamar si kembar.
Wat mengernyit, sedikit memiringkan kepalanya ke kiri.
'Masih marah?' batinnya bertanya-tanya.
***
Wat menghabiskan waktunya seharian di kamar, memainkan game online, menonton, tidur, namun semua itu hanya membuatnya semakin suntuk.
"Kalau ada Pin dan Nas, aku bisa main bersama mereka. Lin ngapain mendekam di dalam sana. Marahnya keterlaluan," gerutu Wat.
Hingga malam tiba, lagi-lagi ia masih saja sendiri.
Teng teng
Wat mengetuk sendok di atas piring makannya. Malam ini ia harus makan sendiri karena Lin masih berada di dalam kamar Pin dan Nas, jelas masih marah.
Nasi yang sedari tadi hanya diaduk tanpa disuap itu, akhirnya diabaikan begitu saja. Wat memilih beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke kamar si kembar.
Tok tok tok
"Lin … buka dong …," panggil Wat, meminta pada Lin agar mau membukakan pintu kamar.
Tidak perlu menunggu lama, Wat sudah dapat melihat Lin, yang membukakan pintu untuknya.
"Ada apa?" tanya Lin.
"Ayo, makan malam bersama," ajak Wat mengulurkan tangannya.
"Aku sudah minum susu," ujar Lin, menolak.
"Itu bukan makan, Lin … ayo!" ajaknya menarik pergelangan tangan Lin, lembut.
"Apa yang kamu ingin tahu?" tanya Lin, seolah tahu kalau sikap Wat seperti itu, karena seperti ada yang ingin ia ketahui.
"Lin … aku hanya merasa sepi, tanpa kamu, Nas dan Pin," tutur Wat.
"Yang benar …?"
"Iya, Lin … jangan marah lagi, ya …," pinta Wat, memegang kedua bahu Lin dengan sedikit membungkukkan badannya.
"Ta—"
"Maaf … maafkan aku … aku tahu aku salah, sudah lalai dan merasa tidak bersalah atas kejadian kemarin. Maafkan aku … kamu jangan seperti ini lagi … kasihan anak-anak seharian di kamar saja," ujar Wat.
Lin menunduk, menganggukkan kepalanya.
Wat tersenyum lega.
Ya, iya cukup merasa lega karena istrinya sudah tidak marah lagi padanya.
'Seperti ini dulu … asalkan dia tidak marah lagi. Aku bisa menanyakan perihal pria itu, lain kali saja,' batinnya sembari mengumbar senyum kepada sang istri.
***
Lin dan Ran berlari menuju ke lapangan sepak bola, dimana sore ini adalah pertandingan sepak bola jurusan mereka yang melawan jurusan Wat.
Lin dan Ran tidak mendapatkan tempat di depan, itu karena semua yang berada di barisan depan adalah para mahasiswi yang bersorak dan menyemangati Wat.
'Wat sepertinya sedang naik daun,' batinnya cemburu.
"Lin … lihat Wat masuk!" seru Ran sembari menepuk bahu Lin, ketika melihat Wat masuk ke lapangan.
Lin menoleh, melihat suaminya yang terlihat sangat tampan dan juga gagah, memasuki lapangan dengan mengenakan seragam tim dan juga sepatu yang dibeli bersamanya.
'Loh, kok … sepatunya …?'