Chereads / Toy For You / Chapter 31 - Reasons I Let To Bleed

Chapter 31 - Reasons I Let To Bleed

"Biar aku ulang ya. Jadi selama ini kamu absen karena menjalani program studi tambahan di luar kota karena donasi ayahmu dan program sukarela karena ayahmu membuka panti asuhan?" Lestia mengernyitkan dahinya pada Agatha yang menumpuk tangannya dan duduk rapi karena rasa gugupnya. Agatha mengangguk sambil menarik ke dua bibirnya kedalam mulutnya namun kemudian tersenyum.

Lestia mengerjap sambil memperbaiki posisi kacamatanya lalu kembali menengadah kepada Isaac yang makan bakso dengan tenang di sebelah Agatha, "lalu Isaac ini adalah penanggungjawabmu dan kedepannya akan sering berada bersamamu?" Agatha lagi-lagi mengangguk sambil menoleh pada Isaac yang ikut menoleh menjawab pandangan Agatha lalu kemudian ia itu tersenyum singkat pada Agatha. Ia kelihatan tidak begitu peduli pada semua kebohongan yang dilontarkannya. Justru Isaac kelihatan terlalu tenang, berbeda dengan Agatha yang sedari tadi resah. Seakan Isaac sudah sering melakukan ini seumur hidupnya.

Dahi Lestia semakin mengernyit. Ia memang pernah mendengar bahwa keluarga Agatha adalah keluarga pengusaha dan punya sejarah yang panjang dalam menyelenggarakan banyak program di bidang pendidikan dan perawatan. Tapi ia tidak pernah benar-benar tahu aslinya bagaimana.

"Lestia." Panggil Agatha yang sudah selesai mengaduk-aduk baksonya. "Aku harap kamu tidak bilang siapa-siapa ya. Aku tidak suka keributan." Kata gadis itu. Lestia mengangguk lalu tersenyum. "Aku hanya khawatir kamu lagi di rumah sakit terus kita semua pada gak tau terus malah gak jenguk. 'Kan lumayan tuh belajar setengah hari doang kalo kita jenguk kamu. Hehe"

Agatha tertawa mendengar candaan Lestia itu. Gadis ini memang selalu bisa membuat pikirannya terasa lebih ringan dengan kejujurannya yang brutal. "Iya benar juga." Agatha mengiyakan sambil mengangguk-angguk lalu kembali mengarahkan pandangannya kepada bakso di hadapannya.

Isaac tak henti-hentinya menunggu waktu-waktu seperti ini hadir di hadapannya. Agatha yang tertawa sambil dengan santainya makan di sebelahnya. Pria itu mengalihkan pandangannya pada Lestia yang mulai mencari topik lain untuk dibicarakan dengan Agatha. Sesuatu tentang pelajaran Sosiologi dan guru yang telat masuk. Agatha merespon dengan mata yang berbinar diikuti sebuah tawa manis karena teringat kejadian pada pelajar Sosiologi itu.

Isaac menyembunyikan bibirnya yang hampir melengkung sempurna ke dalam mulutnya. Ia begitu senang dan tenang saat ini. Melihat Agatha yang tertawa lebih dari satu kali. Melihat Lestia yang punya mulut yang manis dan baik pada Agatha.

"Agatha," bisik Isaac ketika ia selesai membayar bakso yang mereka makan. Agatha mendekatkan tubuhnya dan membuka telinganya dengan lebar kepada Isaac. "Kenapa kamu gak bawa saja mobilku dan kartuku lalu pergi bersama Lestia? Entahlah, mungkin seperti staycation atau apa gitu, aku juga kurang ngerti."

Agatha menengadah kepada wajah Isaac yang berbinar dan mengangguk, memberikan restu sepenuhnya kepada pertemanan Agatha dan Lestia. "Lalu kamu bagaimana?" Tanya Agatha.

Isaac mendekatkan wajahnya kepada bagian leher atas Agatha dan menghembuskan napasnya yang hangat pada belakang telinga gadis itu. "Malam ini jangan pergi dulu kalau begitu." Kata pria itu. Agatha membelalakkan matanya lalu berusaha menutupi wajahnya yang terasa panas. Dia mempertanyakan harga dirinya pada dirinya yang saat ini secara tidak sadar juga menjadi antusias menunggu apa yang akan dilakukaan Isaac malam itu.

"Aku tidak yakin Lestia mau. Dia banyak tugas, dia ranking dan juga anggota OSIS."

Isaac menggeleng, "minta saja dia bawa tugas-tugasnya lalu kalian melakukannya di kamar hotel yang nyaman. Aku akan mengurusnya. Menginap dan bersenang-senanglah dengan Lestia sampai kalian puas."

"Isaac itu terlalu berlebihan," Agatha kelihatan semakin ragu.

Isaac mencium sisi kepala Agatha sambil mengelus puncaknya, "aku tahu, aku hanya ingin kamu dan temanmu lebih dekat saja."

"Aku 'kan bisa jalan sendiri saja."

"Gak aman."

"Kok gitu?"

"Kamu 'kan anak pejabat, Agatha. Semua pengen nyulik kamu. Mas itu pengen nyulik kamu, mbak itu pengen nyulik kamu, adek itu pengen nyulik kamu." Kata Isaac sambil menunjuk satu-satu orang yang berlalu lalang di hadapan mereka. Agatha tertawa melihat tingkah Isaac. Pria itu berhenti, terdiam dan menoleh dengan rasa terkejut. Ia baru saja membuat Agatha tertawa. Lalu ia menggeleng-gelengkan rasa senangnya keluar dari kepalanya, "intinya gak aman ya Agatha. Kalau bisa kamu sekalian aku kasih sekuriti, tapi entar malah jadi bahan berita, kamu malah gak nyaman."

"Mau, 'kan?" Isaac mengulang penwarannya meneliti kedua mata Agatha bergantian. Agatha ragu, tapi di hatinya yang masih delapan belas tahun itu, sebuah liburan singkat yang lepas dari semua masalah dan jalan-jalan besar yang mengingatkannya akan hidupnya yang aneh itu adalah sebuah tawaran yang menyenangkan.

Apalagi Agatha juga bisa mengajak Lestia, teman yang selalu Agatha ingin dekati. Ia menoleh kembali kepada Isaac yang tersenyum dengan binar di wajahnya. "Boleh?" tanyanya ulang. Isaac terkekeh lalu mengangguk dan menepuk puncak kepala Agatha seperti foam dari sabun mandi.

"Ayo balik dulu tapi." Kata Isaac dengan suara beratnya sambil tangannya mendarat kepada pinggang Agatha.

Sejenak ada listrik yang mengalir tipis di balik kulit Agatha. Ia... menginginkannya juga. Kembali bersama Isaac ke tempatnya.

"Kenapa Agatha?" Tanya Isaac ketija mereka tengah berhenti di hadapan lampu merah. "Daritadi kamu kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Ayo beritahu aku."

"Bukan pikiran yang penting sih," kata Agatha.

"Ya, tidak apa-apa, beritahu saja. Aku suka hal-hal tidak penting. Yang penting itu dari kamu."

"Aku.. merasa sedikit lebih lega. Maksudku, aku tidak tahu bagaimana dan sejak kapan tapi aku sekarang lebih lega."

"Oh, ya?" Isaac menaikkan kedua alisnya. "Apa kamu mau beritahu perasaan legamu itu bagaimana?"

"Mm.. Selama ini.. Aku merasa sering kebingungan. Mungkin karena Lucas tidak banyak menjelaskanku tentang hidupnya. Lalu dia juga sering tidak bisa bertemu denganku."

"Iya, lalu?"

"Aku selalu merasa.. sendirian.." Agatha mengatupkan mulutnya lagi setelah sadar apa yang baru saja ia lakukan. ia membicarakan pria lain dengan pria yang saat ini tengah bersamanya.

"Aku dengar kamu sempat sampai mencarinya ke semua sudut kota." Isaac mengusap bibirnya sambil mengingat-ingat lagi apa yang dikatakan Kai kepadanya.

'Nona Agatha punya hubungan yang buruk dengan semua orang di sekitarnya. Ia juga sepertinya punya hubungan yang buruk dengan dirinya sendiri. Ia punya riwayat menjadi pasien Rehabilitasi Edelweis selama enam bulan lalu dirawat jalan karena didiagnosa membaik dari kondisinya. Itu baru terjadi setahun yang lalu. Ia juga punya riwayat keluar masuk penjara anak untuk beberapa waktu tapi tidak ada catatan yang benar-benar berarti, kebanyakan hanya keterlibatan dalam kenakalan remaja biasa.

Tapi satu hal yang penting adalah seseorang bernama Lucas. Dia sepertinya selalu dicantumkan sebagai penanggung jawab dan pemberi dana nona untuk sebagian besar waktu. Dia juga memiliki catatan kriminal yang mirip dengan nona Agatha. Saya rasa juga Agatha tidak pernah memberitahu situasinya pada ayahnya dan beliau juga tidak pernah mencari tahu.

Kalau yang saya dapat dari teman-temannya nona Agatha memang selalu berada di sisi Lucas. Nona itu sepertinya terpaksa melakukannya karena suatu hal yang tidak bisa ia sebutkan. Tapi sepertinya hubungan itu sedikit menguntungkan untuk nona karena dia bisa mendapatkan dana yang tidak bisa ia cairkan dari ayahnya. Salah satu temannya yang mengenal nona Agatha sejak SMP sempat tahu satu hal. Kalau Agatha mulai tertutup dan waspada semenjak tahun akhir SMP. Ia mulai kelihatan selalu berjalan kaki. Tidak bersama mobil ayahnya, tidak jajan, menolak kalau diajak ke tempat hiburan, ia kelihatan sedang memotong dana besar-besaran sejak SMP. Hanya menggunakan uangnya ketika suatu hal yang mendesak. Karena itu sulit untuk mengetahui kalau Agatha adalah anak penerus dari Ivy League.'

Ini rumit. Pikir Isaac. Yah. Kalau soal uang, tempat berlindung dan kasih sayang, Isaac tidak begitu mengkhawatirkannya. Bahkan, pikirnya, kalau Agatha meminta Isaac untuk memberikan semua kota itu untuknya, Isaac yakin ia akan melakukannya.

Tapi ini soal sesuatu yang tak bisa Isaac lihat. Sesuatu yang tidak bisa Isaac berikan perban dan jahitan. Isaac sedang menghadapi hal yang mustahil. Menyelamatkan Agatha dari dirinya sendiri. Isaac sedang melihat itu. Ini terlalu rumit.

Isaac dihadapkan pada banyak kemungkinan tapi ia mau terus berusaha. Setidaknya kali ini ia akan melakukannya untuk Agatha dan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Tapi ia tahu ini rumit. Ia takut akan semua kemungkinan itu.

Bagaimana kalau cara menyelamatkan Agatha adalah dengan memutus Agatha dari semua orang-orang itu? Apa Agatha akan terima? Apa gadis itu akan siap dengan merasa sendirian di sisi Isaac?

Dan bagaimana kalau cara menyelamatkan Agatha dari kondisinya adalah dengan menjauhkan gadis itu dari Isaac? Itu adalah kemungkinan paling buruk yang Isaac tak mau akui ada.

"Ya." Kata Agatha, menarik Isaac keluar dari spiral pikirannya yang dalam dan kelam. "Aku sempat mencarinya ketika ia menghilang begitu saja." Kata Agatha, menyesali berbagai pilihan hidupnya pada saat itu.

"Kamu tidak perlu menyesal, sayang." Kata Isaac sambil meraih tangan Agatha dan menggenggamnya erat-erat. "Aku tidak menyesal karena kehilangan Lucas."

"Lalu?"

"Aku menyesal karena aku memilih Lucas."