Chereads / The God Eater Hidden Hero / Chapter 4 - Malam Bencana

Chapter 4 - Malam Bencana

"Mal!!" teriak seseorang dari arah belakang. Langkahku terhenti di lorong kelas waktu istirahat. Menoleh ke sumber suara yang tidak asing. Membalas dengan tatapan cemberut.

"Hohoho. Ngapain muka lo begitu. Akibat telat tadi?" sudah kuduga itu Zakky.

"Nggak lah. Biasa aja. Lo mah enak, brangkat sekolah pake mobil. Lah gua, boro-boro ngebut kena hujan aje langsung minggir gua." Jawabku santai.

"Makanya lu bawa mobil. kalau lihat cuaca udah mendung gini. Lu kan anak orang kaya. Mobil lo banyak, motor apalagi.

"Itu punya bokap gua. Bukan punya gua." Jawabku ketus.

"Ce elah. Sama aja."

"Terserah lu dah."

Zakky mengangkat bahu. Tanda tak peduli.

Kami berdua menuju kantin. Turun kebawah lantai satu. Suasana selalu ramai saat jam istirahat, murid-murid lalu lalang berkeliaran ke sana sini. Kegiatan rutinitas waktu istirahat halaman sekolah selalu digunakan untuk bermain sepakbola, basket, dan tempat nongkrong murid-murid menonton pertandingan sepakbola antar kelas. Di ujung lapangan aku melihat Heni berjalan sendirian keluar kelas. Gadis yang tadi kukenal, kelas X 2 Bahasa. Tadi kami berdua beruntung, tidak terkena sanksi. Karena alasan tepat kami diperbolehkan masuk ke dalam sekolah. Orangnya agak pendiam, saat naik motorku ia lebih banyak diam, justru seringkali aku yang mengajak bicara. Aku terkejut saat tahu bahwa kita satu kompleks perumahan. Hanya berjarak berberapa rumah dari rumahku. Jika kupikir-pikir kami memiliki berberapa kemiripan. Jika aku sangat menggilai sains ia sangat menggilai sastra. Ia amat menyukai berberapa sastra, hanya saja ia lebih mendalami sastra berupa tulisan. Aku sangat terkejut saat tahu bahwa ia termasuk dalam sepuluh penyair terbaik Indonesia, berberapa karyanya pernah kubaca tapi kala itu aku nggak tau siapa pembuatnya, dan menurutku semuanya bagus. Ia juga sudah menerbitkan berberapa karyanya dalam berberapa buku. Dua diantaranya berupa novel dan menjadi bestseller. Dan katanya, ia sekarang dalam proses membuat novel ketiganya.

"Hoi mal!" kata Zakky membuyarkan lamunanku.

Astaga aku baru sadar kalau melamun. Bahkan jarak Zakky denganku agak jauh saat aku melamun tadi.

"Jadi makan gak?" Zakky malah sekarang menyelidik seluruh tubuhku. Merasa ada yang aneh.

"Ahh iya sorry-sorry."

Segera ku hilangkan lamunanku, bergegas menyusul Zakky. Meninggalkan tatapan kosongku dari seorang gadisyang kukenal kemarin.

"Soal camp gimana? Jadi gak? Katanya lu mau ikut." Tanya Zakky sekali lagi.

"Ohh soal itu gua setuju. Sekalian gua juga butuh liburan, penat banyak tugas. Belum lagi bimbingan tambahan."

Zakky manggut-manggut paham. Memasukkan tangan kanannya ke saku celana.

"Ok. gua udah ajak Iqbal! Biar tambah seru. Tu anak udah lama gak gua contact tapi dia selalu bisa sih setiap kali gua ajak."

"Oiya. Gua sampai lupa sama tuh anak. Untung lo ingatin lagi tentang tuh anak." Jawabku.

Iqbal, teman SMP ku dengan Zakky. Habis sekolah, kami selalu melakukan hal-hal konyol remaja pada umumnya. Yah meski aku tak selalu sempat bermain dengan mereka, tapi kami selalu akur satu sama lain. Khususnya Zakky dengan Iqbal. Biasanya weekend mereka selalu berkumpul, entah camp, Kumpul dirumah Iqbal, atau apalah itu. Aku sering diajak Zakky main kerumah Iqbal, tapi aku menolak karena banyaknya tugas dan agenda yang selalu menghalangi kami untuk berkumpul kembali. Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya. Walau satu tahun tapi rasanya seperti kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Karena berbeda sekolah, jarak kita semakin melonggar satu sama lain.

"Yaudah lu bisa ajak dia sekalian. " kataku berdeham pelan.

Zakky hanya tertawa pelan tidak merasa tersinggung. "Cuma bertiga doang ni ceritanya?" tambahnya. Zakky menarik kursi kosong, duduk. Lengannya ditekuk menopang wajahnya. Menatapku duduk di depannya. Meja kami berada di pojok belakang kanan. Sebelah kiri kami segerombolan gadis tengah asik ngobrol, sesekali melihat kearah meja kami. Tepatnya lebih memperhatikan dua cowo cukup fenomenal disekolah. Depan kami dihuni tiga sampai enam kakak kelas, sibuk makan bakso.

"Iyah emang kenapa? Bukanya dari dulu cuman betiga doang." Aku mengeluh dalam hati berusaha menjawab pertanyaan. "Lu gak mau gitu, bawa gadis lu ikut." Jelas Zakky. Aku hampir tersedak air liur. Padahal belum makan apa-apa. Pesan aja belum. Sejak kapan Zakky mulai berani menanyakan hal konyol seperti itu. Yah walaupun aku tahu sih ia populer, jadi wajar aja ia digandrungi banyak gadis. Sedangkan gua? Boro-boro dekat. Kenal aja ogah.

Aku cuek membalas perrtanyaan Zakky dengan muka masam. Berdiri melangkah keluar mendekati tukang bakso. Lebih baik aku pesan bakso daripada dibuat males sama semua pertanyaannya. "Woi mau ke mana lo? Gua belum selesai ngomong." Teriaknya. "Pesen dulu lah, kalo kesini buat dengerin pertanyaan lo doang, buat apa? Buang waktu." Balasku melambaikan tangan berjalan memunggungi.

Aku mulai mengantri. Lumayan banyak yang ingin pesan bakso hari ini. Biasanya tidak. Karena postur tubuh tinggiku, aku merasa ditengah lautan para manusia rata-rata. Tinggi mereka cuma sebatas lengan bagian atasku. Aku menguap, bosan menunggu. Sejenak keseimbanganku kendor. Sedikit roboh ke samping kanan. Menyenggol seseorang. Refleks tubuhku langsung menoleh.

"Sorry-sorry."

"Gak masalah kok." Jawabnya.

Aku kenal suara itu. Sedikit samar-samar, tapi aku masih ingat.

Heni. Ia menatap ke bawah, malu. Suara lembutnya langsung kukenali seketika. Heni menyeka rambut. Mendadak gugup, kaku. Sejenak canggung.

"Anu, sorry tadi beneran gak sengaja. Gua tadi kelepasan." Kataku menggaruk kepala yang tidak gatal. Kami berdiri berhadapan ditengah gerombolan siswa lain. Seperti tengah menyaksikan adegan drama korea dimana si cowo akan menggungkapkan cintanya ke si gadis, si gadis malu-malu tapi mau. Persis denganku sekarang. Bedanya di sini tidak disertakan backsound romantis ala drama korea, melainkan suara riuh saling bersahutan antar murid sana sini. Beda abis.

"Gak masalah." Jawabnya pelan.

"Habisnya gua gak tahu kalau lu di sini. Tadi gua lihat lu keluar kelas, jadi gua pikir lu gak di bawah."

"Ohh, tadi itu gua dipanggil ke ruang guru. Gak lama sih. Terus gua ke sini." Kata Heni mulai nggak canggung.

"Tumben sendirian. Biasanya anak gadis sukanya bergerombol gitu." Tanyaku mencoba mencairkan suasana. Suasana kantin mulai sedikit reda, berberapa orang mulai kembali ke kelas. Meski masih banyak yang nongkrong di kantin. Antrian lenggang.

"Temen-temen gua udah banyak yang kembali ke kelas. Tinggal gua doang."

"Ohh ternyata lu punya temen, gua kira lu orangnya antisosial gitu. Jadi selalu sendiri, makan sendiri, mandi sendiri. Apa-apa sendiri." Ejek ku dengan ekspresi mendelik ala ngejek. Heni menahan ketawa. "Kalau itu mah semua orang harus sendiri. Ngapain pula mandi harus dimandiin. Amit-amit." Jawabnya santai sedikit tersenyum.

"Mungkin aja kan." Kami berdua tertawa. Entah kenapa kenal berberapa jam dengan Heni. Kami begitu cepat akrab. Padahal sifat kami bertolak belakang satu sama lain. Beda seperti Zakky, Iqbal. Sifat kami sama. Tapi mungkin ini yang dimaksud tuhan. Melengkapi satu sama lain.

"Sendirian?" tanya-nya balik. "Nggak, tuh sama Zakky." Aku menunjuk Zakky tengah duduk bersandar, sesekali bermain ketukan meja dengan jari lihainya. Mungkin ia bosan. "Zakky an-najachi? Ketua Team basket?" Wajah Heni semangat. Aku menoleh malas. "Iye siapa lagi. Lu kira ketua team bola bekel?" Heni terkekeh, "nggak kok cuma nanya doang." "Se populer itukah Zakky di mata para gadis? Sampai-sampai ibu-ibu kantin juga banyak yang tahu." Kataku ketus. "Lu juga populer kok, tapi sayang-"

"Sayang apaan?" tanyaku penasaran.

"Gak laku." Jawabnya singkat, jelas, dan padat. Langsung masuk ke hati. Tersayat habis. Heni tertawa terpingkal pingkal. Aku cemberut. Menatap ke depan. Aku baru tahu dibalik sikap penurutnya. Ia juga menyebalkan. "Ayolah. Jgn cemberut gitu. Just kid." Jika orang melihat kami, mungkin anggapan pertama mereka kami sedang berpacaran. Saling menggoda ala anak alay.

"Kita belum kenalan secara resmi lho." Heni Menatapku

"Katanya tadi udah tahu." Jawabku.

"Iya sih. Tapi secara formal belum." Aku menghembuskan napas perlahan. "Emang perlu?" tanyaku. "Iya. Karena teman nggak akan ada tanpa perkenalan." Heni menjulurkan tangan. Suasana kantin melenggang, menyisakan berberapa murid yang masih setia mengantri.

"Gua Heni Setyawati" tambahnya.

Aku membalas uluran tangannya.

"Gua Akmal Murodhi."

"Salam kenal, Mal. Semoga bisa akrab"

"Semoga aja" jawabku pendek

***

Hari sabtu malam minggu. Jadwal rencana aku dengan Zakky untuk camp. Kami sudah sepakat dari kemudian hari. Cuma ber-tiga, Aku, Zakky, dan Iqbal. Iqbal sudah bilang ia sanggup. Pukul setengah tujuh malam kami berkumpul di rumah Zakky. Mama sudah tahu aku akan pergi camp, Papa apalagi ia bahkan fine-fine aja aku pergi ke mana saja, asal tahu waktu. Papa memang pengertian terhadapku. Semua perlengkapan sudah beres, layaknya pendaki pemula, semua serba dipersiapin. Sampai Mama harus turun tangan. Namanya seorang ibu, pasti khawatir anak sematawayangnya pergi ke alam liar, padahal letak camp kami tidak se-ekspetasi yang Mama khawatirkan. Tanah yang lembab, hewan melata dimana-mana, kekurangan air, pohon lebat yang bisa menyesatkan. Tidak se-horror itu. Kami hanya mencari tempat spot cocok untuk melihat fenomena hujan asteoroid. Malam ini.

"Lama amat ni anak, lu udah bilang gak?" tanyaku penasaran. Zakky tengah asik main ponsel di sofa panjang ruang tamu. Aku berdiri mondar mandir melihat pintu depan apakah Iqbal udah datang, sesekali merongoh ponsel mencari sesuatu.

"Udah tenang aja. Katanya ia bisa, udah yakin aja." Jawab Zakky santai fokus ke layar ponsel.

"Udah telat 15 menit tuh anak." Aku melihat jam tanganku. "Perkiraan hujan asteoroid kelihatan kurang satu jam lagi. Tapi belum kepotong waktu perjalanan, dirikan spot, masang alat-alat gua. Hadeh ribet bgt kalau sampai telat. Gua gak mau kehilangan satupun kesempatan ini." Tabiatku mulai muncul. Terkadang berlebihan. Zakky tersenyum menggelengkan kepala menutup ponselnya, merapatkan jacket parasit coklat ia kenakan. Rambutnya masih berantakan, mungkin terlalu santai sampai lupa rambutnya berantakan. Belum genap menghembuskan napas, sorot lampu datang diteras rumah. Dari sebuah motor ninja hijau, di atas motor, pria dengan jacket gunung warna orange, tas carier di belakang, lengkap helm hijau. Itu Iqbal.

"Hoi yo! Sorry telat. Isi bensin dulu" Sapa Iqbal lebih dahulu.

"Lu harus minta maaf sama orang tuh," sahut Zakky menunjukku, melangkah mendekati Iqbal

"Siapa? Aku? Anak culun tuh?" ledek Iqbal tertawa. Melepas helm. Wajahnya masih belum berubah lebih mirip mahasiswa padahal kita seumuran, rambutnya agak pirang sebelah kanan bagian depan. Kulitnya sawo matang dengan bekas luka di bagian pergelangan tangan kiri. Kalau dalam drama, diantara kita bertiga, Iqbal lah yang paling cocok menjadi peran 'orang tua' memadia dalam postur wajah dan perawakan.

"Siapa lagi kalo bukan tuh anak." Zakky songong. Mereka tertawa lepas, menertawaiku padahal aku persis dibelakang mereka. Sialan kalian. Masih belum berubah.

"Woi! Malah bercanda, apalagi bercandanya tentang gua lagi. Sialan kalian. Gua tendang mokad lu." Kataku sambil menjitak kepala mereka satu persatu. Merangkul mereka menjitak terus menerus. Kami bertiga tertawa bersama.

"Sorry bro. Ini mah salah lu juga. Gua awalnya gak percaya kalau lu jadi ikutan. Dari awal kata Zakky juga lu pasti gk bakal datang gitu. Ehh sekarang lu dateng. Makanya gua sengaja ngulur waktu males malesan gitu. Pas isi bensin tadi Zakky chat gua, katanya suruh cepet. Akmal udah nungguin dari tadi. Emosi katanya. Langsung gua ngebut waktu itu."

Aku menatap Zakky melotot. Mengisyaratkan kalau mataku berkata "Lu baru bilang gua dateng sekarang? dari dulu ngapain aja lu?"

Zakky hanya nyengir. Merasa tidak berdosa sama sekali

"Yaudah brangkat sekarang." tegasku. "Leh gua baru datang nih. Masak langsung berangkat gitu, gk disuruh masuk gitu minum kopi dulu kek biar gak ngantuk." Protes Iqbal.

"Udah lu nurut aja. Udah telat nih. Lagian ini juga salah lu juga. Siapa suruh malas-malasan." Aku berjalan mengambil tas carierku dibelakang, menyiapkan ke atas motorku.

"Ayolah...." Rengek Iqbal. Aku hanya cuek. Zakky hanya terkekeh tak berbuat apa-apa melihat Iqbal. "Udah lu turutin aja. Dia bos-nya di sini." Tambah Zakky sembari ikut menyiapkan barang ke atas motor. Iqbal pasrah. Wajahnya ngenes banget.

Malam ini cerah. Bulan purnama terpampang tepat di atas. Tidak ada mendung yang menghalangi langit malam ini. Udara yang tenang. Suasana damai. Tidak ada satupun yang ganjil. Lampu jalan menyala disepanjang jalan. sekian lama kami terhalang untuk bertemu, tapi malam ini kami bisa berkumpul lagi. Entah berapa lama kami bisa ngobrol bercerita satu sama lain malam ini.

Kami berangkat.

Menuju suatu tempat. Tiga remaja memulai petualangan.

Keberuntungan berpihak pada kita. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat spot kami. Tidak juga terhambat di perjalanan. Melintasi kawasan hutan yang kiranya masih belum terlalu gelap untuk lazim dilewati. Pohon pohon rindang, suara jangkrik besenandung sepanjang jalan mengisyaratkan malam ini terasa begitu menarik.

Kawasan yang sudah Zakky siapkan tidak terlalu buruk, hanya hamparan rumput ditengah dikelilingi semak-semak dan pohon melingkar. Sampah daun kering sudah tertata rapi dipojok kanan. Sejak dua hari yang lalu aku memang memasrahkan Zakky mencari tempat spot yang cocok untuk kami bertiga. Terserah entah dimana. Setelah cocok memilih tempat Zakky mendatangi tempat tersebut untuk membersihkan sekitar sana apabila ada sampah yang mengotori. Seorang diri. Tanpa paksaan.

Kami mulai membangun tenda, mengumpulkan kayu bakar, membuat perapian untuk memasak. Menyiapkan teleskop pribadiku dan banyak alat lainnya. Udara malam ini cukup dingin untuk menyapa kami. Ku kenakan jacket coklat kesukaanku. Meniup udara ditelapak tangan, menunggu air mendidih untuk seduhan kopi hitam.

Waktu menunjukan pukul delapan tepat, waktunya fenomena itu tampak. Berita fenomena asteoroid sudah tersebar ke mana-mana. Tv, radio, ponsel juga terpampang lebar. Menurut BMKG juga dapat dipastikan fenomena itu terjadi malam ini. Ratusan wartawan memadati sejumlah titik yang telah ditentukan bisa melihat. Stasiun televisi juga sedang melaukan siaran langsung di sejumlah titik. Warga net sibuk memantau berita terkini. Banyak orang begitu excited ingin melihat fenomena yang terjadi hanya 2000 tahun sekali. Bahkan dua hari sebelum malam ini pun ada yang rela menginap hanya untuk bisa dapat tempat.

Kami bertiga berkumpul diperapian. Memandangi indahnya langit cerah. Zakky menjulurkan kedua tangannya dekat api. Sesekali menghembuskan napas. Iqbal tengah memasak mie instan. Dan Aku menikmati seduhan kopi dekat teleskop, berkali kali melihat teleskop berharap asteoroid yang dibicarakan tampak. Mencoba menghitung kemungkinan waktu asteoroid tiba, menebak berapa asteoroid yang sekiranya nampak malam ini.

"Mal! Mie-nya matang nih. Lu mau gak?" Teriak Iqbal membuyarkan kosentrasiku tengah melihat teleskop.

Aku menoleh. "Oiya. Tungguin bentar."

"Ki lu juga mau?" Iqbal menuangkan mie dari panci kedalam dua mangkuk sedang.

Zakky menggosok gosokkan kedua telapak tangannya. Menutup kepalanya. "Tentu dong. Ehh perasaan masih jam segini kok badan gua kedinginan ya." Aku melangkah mendekati mereka, duduk di sebelah. "Itu namanya lu kurang fit." Jelasku melemparkan kayu bakar ke nyala api. "Dan juga lu belum makan. Ni makan." Tambah Iqbal menyodorkan dua mangkuk berisi mie rebus. Aku menerimanya, mulai makan.

"Ehh lihat." Kata Iqbal menunjuk ke arah langit.

Kami bertiga menoleh. Ada sekerlip cahaya merah membara keputih putihan terlihat. Kami terdiam sejenak. Aku meletakkan mangkuk mie-ku.

"Itu asteoroid-nya bukan?" tanya Iqbal. Hanya Zakky yang tidak memperdulikan tetap terus makan.

"Masih belum jelas. Jika asteoroid permukaannya nampak putih pekat. Tidak ada nyala api kemerah merahan. Bisa jadi sih. Tapi bukan hal yang wajar jika pergeserannya berapi pekat sampai batas ini." Jelasku mulai melihat teleskop.

Aku kaget. Berusaha menenangkan diri. Itu bukan asteoroid biasa. Ukurannya tidak normal. Jika dihitung sejak memasuki atmosfer pasti akan terkikis oleh pergesekan. Ini tidak. Ukurannya bukan main. Jika dibandingkan temuan terbesar asteoroid saat ini, mungkin yang satu ini berkali kali lipat adalah temuan terbesar dalam sejarah manusia. Aku gemetar. Tidak percaya. Mencoba mengingat ingat seberapa luas kemungkinan area jatuhnya. Aku menoleh melihat Iqbal Zakky bergantian.

Tidak mungkin.

Minimal dua benua rusak parah. Atau paling tidak. Sepertiga belahan bumi akan terkena imbasnya.

Inikah akhir umat manusia?

***

"Ki, Bal. Kalian sekarang beresin barang-barang penting doang. Ok? Kita tinggalin tempat ini secepatnya." Kataku tegas sambil memasukkan barang-barangku. Melihat jam tangan. Keringatku mulai mengalir.

Mereka bengong. Mencoba menelan perkataan gak jelasku.

"Emang kenapa Mal?" tanya Iqbal mulai cemas. Zakky juga, meletakkan mangkuk. Sepertinya ini serius.

"Nanti gua jelasin sambil jalan. sekarang lu turutin aja, waktu kita nggak banyak. Angkat semua barang penting lu, nggak perlu semuanya. Seperlunya aja."

Wajahku serius bukan main. Zakky hanya manggut-manggut menuruti. Dia tahu ada sesuatu yang nggak beres. Temannya lebih tahu itu, dan ia sekarang hanya mempercayai mencoba membantu secepatnya. Iqbal juga demikian. Suasana mulai sunyam. Tergesa-gesa. Di temani suara jangkrik yang santai meski tahu ada bahaya.

Tidak genap dua menit. Semua yang dirasa penting kami bawa, sisanya kami tinggal. Kami berjalan turun, menuju motor yang sudah terparkir.

"Kita mau ke mana Mal?" Zakky.

"Gua masih bingung. Entah lu berdua percaya ini atau enggak silakan. Gua gak tahu mau ngomong apaaan yang penting ini bahaya banget, percaya gua. Gua awalnya ngira nggak seburuk ini. Cuma asteoroid biasa melintas. Gua juga nggak kepikiran kalau semua hipotesisku ini terjadi. Lu semua nyadar nggak sih? Awalnya satu asteoroid berukuran kecil persis 8000 tahun yang lalu. Menurut sejarah itu asteoroid pertama dan berukuran kecil. 6000 tahun yang lalu asteoroid ditemukan persis 2000 tahun setelah tahun ke-8, ukurannya bertambah dua kali. Begitu seterusnya setiap 2000 tahun pasti ada asteoroid yang datang ke bumi, dan ukurannya lambat laun kian menggila. Dan tahun ini. Gua nggak nyangka ini akhir segalanya dari tuhan atau tidak. Ukuran asteoroid ini setengah diameter planet Jupiter." Jelasku ber-hah letih. Menuruni dataran.

"Lu ngaco ya? Mungkin lu lapar." Kata Iqbal polos, wajahnya santai sekali.

"Sumpah Bal, apa muka gua jelasin gitu?" kataku sedikit meninggikan suara

"Lu tau dari mana Mal?" tanya Zakky

"Situs kuno." Kataku.

"Bisa juga bohongan kan." Kata Zakky.

"Di ukiran piramida Gaza apa itu bohongan? Apa manusia yang sekarang bisa mengukir artefak serumit itu?"

"Cuman itu?"

"Apa manusia bisa menjelaskan Ngarai Olduvai tentang kepadatan tanah secara keseluruhan mengapa berbeda dengan kebanyakan tanah di dunia ini? dan lu baca ini." kataku menyodorkan ponsel berisi catatan-catatan penting yang kucatat. Isinya sebuah studi penelitian bahwa tanah di Ngarai Olduvai presentasinya hampir mendekati dengan bebatuan asteoroid. Kemungkinan asteoroid purba ini menghantam bumi dan menyebabkan terbentuknya Ngarai Olduvai.

Di slide selanjutnya banyak peristiwa alam yang aneh berkaitan dengan tabrakan asteoroid ini. Dan semuanya sesuai. Asteoroid menghantam bumi setiap 2000 tahun sekali.

Mereka berdua terdiam. Menelan ludah, Zakky cemas bukan main keringatnya bercucuran seluruh wajah. Anehnya hanya Iqbal yang terlihat tenang ditengah situasi panik. Atau ini hanya perasaanku saja, ia seperti tengah memikirkan sesuatu. Kami menaiki motor.

"Jadi ini akhir? Maksud lu?" Zakky bicara

"Gua nggak tahu harus ngapain." Balasku mulai pasrah menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Untuk kali ini aku merasa pasrah. Seluruh pengetahuanku sekarang buntu. Tidak tahu ini itu atau harus itu. Perkiraaku asteoroid raksasa itu menghantam bumi paling cepat 4 jam lagi, paling lambat 6 jam lagi. Aku membuka ponsel lagi. Layar ponsel dipenuhi berita akan bencana asteoroid. pihak BMKG juga terkejut melihat fenomena ini, mereka tidak menyangka perhitungan mereka meleset. Tiga hari sebelum hari ini mereka sudah mengamati orbit yang mendekat bumi. Hanya kumpulan asteoroid biasa yang mungkin hanya menimbulkan hujan asteoroid. dua jam sebelum pukul delapan juga mereka memantau lebih lanjut tentang perkembangan tapi tetap sama, hanya asteoroid biasa. Siapa sangka sekarang kumpulan asteoroid biasa itu hanyalah pembuka untuk datangnya asteoroid maha dahsyat ini. Tidak hanya di sini, USA, Inggris, Australia, Uzbekistan dan negara barat timur lainnya sudah mengetahui bencana ini. Pihak PBB dengan cepat mengumumkan protokol darurat kepada semua negara, berharap masih ada kemungkinan harapan. Walau secuil.

Berita pengungsian warga juga banyak terjadi, Pemerintah melakukan evakuasi ke sejumlah titik. Mengantisipasi korban sambil menunggu keputusan perundingan PBB.

"Ini gila sumpah!, jika dipikirkan, dibelahan bumi mana yang bisa kita jadikan tempat berlindung? Kalau jalan satu satunya hanyalah menghancurkan asteoroid gila itu. Teknologi di dunia ini nggak akan bisa. Percuma." Kata Zakky mulai frustasi. Aku menggigit bibir, mengeratkan genggaman. " Nggak, gua tahu harus bagaimana." Kata Iqbal buka mulut. Ia sejak tahu bencana ini tidak terlihat panik sedikit pun. Seakan akan ia tahu bencana ini akan terjadi. Aku Zakky menatap Iqbal tidak percaya. Ia sedang tidak sadar atau hanya berusaha menenangkan situasi?

"Maksud lu apaan?" Tanyaku penasaran. Menatap Iqbal.

Iqbal merongoh isi tas belakangnya. Ia menggenggam dua benda dengan ujung lancip. Itu suntik. Ia turun dari motor. Mengisi jarum suntiknya dari sebotol yang entah tulisannya apa. Aku menelan ludah berpikir apakah Iqbal suka narkoba tiba tiba mengeluarkan jarum suntik yang Aku Zakky tidak tahu maksud Iqbal apa. Zakky mengerutkan dahi, berikirian sama sepertiku.

"Gua tahu lu semua bingung. Tapi gua nggak ada maksud buruk ke lu semua. Ini sebuah rahasia terbesar gua. Bukan hanya gua sih, tapi ini rahasia terbesar dunia. Hanya segelintir orang tahu rahasia ini. Termasuk lu juga akan tahu." Kata Iqbal mencoba menjelaskan, mengangkat lengan kanannya. Sebuah jam biasa berwarna hitam kecoklatan, tidak ada yang aneh. Tunggu. Itu bukan jam biasa. Jika dilihat jarak jauh memang seperti jam pada umumnya. Kalau dari dekat itu bukanlah jam. Didalamnya bukan terdapat jarum jam yang berputar, tapi sebuah logo naga berwarna silver di bawahnya terdapat tulisan on entah apa maksudnya. Mungkin lebih mirip sebagai tanda pengenal daripada disebut sebuah jam. Motif jamnya tidak terlalu mencolok hanya saja orang lain mengira itu jam biasa.

"Kami semua sudah tahu hari ini akan terjadi Mal, Ki." Kata Iqbal menatapku dan Zakky bergantian.

"Kami? Kami siapa maksud lu? Aku masih bertanya.

"Fenrir." Kata Iqbal singkat. Kami berdua bingung. "Lu nggak sedang mabuk kan? Atau karena mie tadi lu mabuk." Zakky mencoba melawak. Gagal. Kami sedang serius.

"Di dunia ini ada sebuah organisasi besar, jumlahnya ada delapan, tersebar di seluruh penjuru dunia. Salah satunya di sini. Mungkin itu adalah satu satunya harapan umat manusia. Dalam menghadapi bencana alam yang mengancam dunia. Percaya atau tidak itu terserah lu berdua. Kejadian 8000 tahun lalu yang lu bicarain Mal. Kami sudah tahu itu. Dalam 2000 tahun sekali bencana ini selalu datang dan kerap menimbulkan bencana. Lu berdua pasti nggak tahu kalau pecahan asteoroid itu jatuh memancarkan suatu partikel baru, awalnya kami beranggapan itu hanya biasa. Tapi tidak. Justru itu adalah sumber bencana. Partikel itu berkumpul membentuk suatu organisme dan tumbuh cepat menjadi sebuah monster bernama aragami." Iqbal menghela napas. Menatap kami berdua yang kikkuk mendengar penjelasannya. "Organisasi ini sudah berdiri 4000 tahun lalu. Tua tapi dengan teknologi termaju di bumi ini. Bahkan Jepang, USA yang digadang-gadang berteknologi maju merupakan sebagian kecil teknologi yang dimiliki kami. Gua tahu ini terdengar seperti cerita dongeng. Tapi perlu gua tegasin. Ini nyata Mal, Ki. Buktinya 2000 tahun yang lalu. Lu semua pasti sudah tahu berita di Srilangka. Sebuah kota besar hancur dalam semalam dan penduduknya hilang entah dimana meninggalkan bercak darah dimana mana."

Aku mengangguk. "Gua tahu itu. Tapi bukankah menurut berita itu ulah perampok?"

"Salah. Itu bukan ulah perampok. Pemerintah hanya menutupi perkara itu. Para petinggi sudah tahu. Tapi menutupi dengan alasan logis. Itu ulah aragami. Segerombolan aragami sisa pembantaian di Samudra Hindia, oleh kami. Bukan kah begitu Mal?" tanya Iqbal.

Aku mengerutkan dahi. Berpikir.

"Benar. Salah satu pecahan asteoroid itu jatuh di Samudra Hindia."

"Tunggu bal, jika makhluk yang bernama apa tadi? Aragami ada. Buktinya apa?" tanya Zakky yang dari tadi hanya diam mendengarkan penjelasan Iqbal yang ia rasa absurd.

Iqbal terkekeh. Ia menjulurkan dua jarum suntik yang dari tadi ia pegang.

"Percaya atau tidak itu terserah lu berdua. Gua sebagai sehabat udah menjalankan kewajibanku. Kalau lu percaya cerita gua suntik jarum itu ke diri lu setelah itu temuin gua ke titik kordinat yang udah gua kasih. Terserah lu mau ngapain. Saran gua pilih pilihan lu, entah itu percaya atau tidak."

Aku Zakky menerima jarum pemberian, Iqbal menaiki motor, melaju meninggalkan kami berdua saling tatap. Aku lihat jarum itu, dengan cairan warna orange entah zat apa itu. Segala penjelasan Iqbal teriang iang di kepalaku. Aragami, asteoroid dan apalah itu membuatku merasa dunia ini lebih mirip film fantasi di serial televisi yang menceritakan bumi dalam keadaan darurat dan ada sekelompok orang penyelamat dunia. Zakky tambah lagi ia berkali-kali mengacak rambut. Berpikir akhir pekan ini merupakan hari menyenangkan lengkap dengan ketiga sahabat sekian lama akhirnya berjumpa. Rusak dengan kabar dadakan sekaligus maha dahsyat mengguncang dunia persilatan. Pertaruhan umat manusia.

Aku teringat Papa Mama. Tanpa pikir panjang segera aku telpon Mama. Nihil tidak ada jawaban, juga Papa. Mungkin karena evakuasi dadakan mereka tidak akan membawa telpon. Apalagi Mama, rasa khawatirnya padaku sekarang mungkin ia sibuk mencari alat komunikasi bertanya sana sini sedangkan Papa mencoba menenangkannya.

"Kita harus bagaimana Mal? Gua nggak tahu harus ngapain. Orang tua gua mungkin sekarang ada di tempat evakuasi. Gua udah hubungin siapa aja. Nihil. " Zakky mulai panik. Aku juga demikian. Memikirkan setiap perkataan Iqbal adalah satu satunya yang kulakukan saat itu. Jika dihubungkan berberapa fakta sejarah, semua perkataan Iqbal benar. Hipotesis awalku juga demikian. Ukuran asteoroid yang semakin membesar setiap 2000 tahun, daya ledakan. Yang aku keliru adalah partikel dan juga radiasi. Aku berpikir hanya menyebabkan efek biasa. Tapi perkataan Iqbal asteoroid yang bisa membentuk suatu organisme patut dibuktikan. Cara satu satunya adalah mengikutinya. Hal yang kukagumi sekarang adalah pendiri organisasi fenrir. Seberapa tahu ia mengenai fenomena ini. Dan juga mengapa ia bisa menyadari, sedangkan orang lain kebanyakan tidak menyadari.

"Kita harus ikuti Iqbal. Di tidak berbohong." Kataku tegas.

Zakky menatap tidak percaya. Ia bingung mengapa seorang Aku percaya yang ia anggap hanya omong kosong. "Lu waras mal? Lu percaya sama semua omong kosong itu. Tentang asteoroid tentang monster monster apalah namanya itu. Yang bisa menghancurkan satu kota dalam semalam dengan penduduk tewas tidak ditemukan satupun mayat. Lu percaya itu semua? Astaga Mal." Kata Zakky masih tidak percaya.

Aku tertunduk berpikir. Mendongak ke arah langit. Cahaya itu semakin membesar walupun terlihat hanya gumpalan titik merah. Aku menoleh kesekeliling, hanya terlihat pohon-pohon dan gelap malam. "Bukannya gua percaya, tapi fakta sejarah menunjukkan hal yang sama persis Ki. Gua nggak maksa lu untuk percaya semua bebas itu terserah lu. Lu lebih tahu Iqbal orangnya gimana. Gua percaya Iqbal nggak mungkin ngarang dongeng panjang kayak gitu. Aneh." Jelasku sedikit tegas

"So lu sekarang mau bilang kalau kita harus ke tempat yang Iqbal maksut dan sebelum itu kita harus nyuntikin obat aneh ini ke tubuh kita yang pada kenyataannya kita nggak tahu ini obat apa narkoba?." Bantah Zakky. Aku terkekeh mendengar pernyataan konyol Zakky. Zakky ikut tertawa. Entah ini kebiasaan dari lahir atau apa. Tabiat sejak SMP kami selalu begini. Selalu santai walau keadaan tidak berpihak. "Kalo lu mau gitu ngapain enggak kita coba dulu. Siapa tahu jadi hulk gitu, dari radiasi sinar gamma. Atau paling nggak jadi superman pake celana dalem di depan."

Kami berdua tertawa lebar.

"Kalau kita mati setelah nyuntikin jarum ini, mungkin besok orang yang pertama kali gua tagih pertanggung jawabannya mungkin lu Mal. Soalnya lu yang ngajak gua." Jelas Zakky tertawa. "Woi enak aja lu. Mokad gua entar. Salahin Iqbal lah. Dia ngasih ini dan nggak jelasin apa-apa terus dia pergi gitu aja. Kurang ajar banget tuh anak." Aku ikut membalas canda. Aku melihat layar ponsel. Titik kordinat kata Iqbal. Sebuah tempat agak jauh ke arah timur.

Aku menatap Zakky bersiap menyuntikan jarum ke tubuh. Zakky mengangguk. Kami langsung menyuntikan jarum ke tubuh. Satu dua detik kami saling pandang. Tidak terjadi apa-apa.

Suasana lenggang sebentar, menyisakan suara hilir angin. Krik-krik-krik.

"Aman bro." Kataku. "Iya gua kira bakal jadi hulk tadi." Zakky terkekeh. Kami menyalakan motor. Melesat pergi ke arah timur. Melewati pelosok hutan yang apabila semakin masuk semakin gelap yang terlihat hanya nyala lampu sorot dari motor kami. Titik kordinat yang diberikan Iqbal arahnya memang menuju sini. Tapi apakah tidak ada tempat yang lebih menarik daripada harus melewati kawasan hutan pekat. Untung jalannya masih kelihatan atau tidak kita pasti salah arah atau justru Iqbal yang salah memberikan kordinat.

Kami berhenti. Tiba di titik kordinat. Tidak ada siapa pun di sini, hanya kami berdua dan gelap hutan menyelimuti. Aku melihat sekeliling, hanya terdapat pohon-pohon melingkari kami. Sisanya tidak nampak. Aku mencoba menghubungi Iqbal. Nihil tidak ada balasan, entah ia sekarang dimana. Atau jangan-jangan ia sengaja mempermainan. Awas aja kalau benar.

GRRGGHH!! Terdengar suara dari belakang. Aku, Zakky sontak langsung menoleh. Suaranya terasa tidak asing, seperti suara gerbang terbuka tapi sepertinya ini bukan gerbang besi pada umumnya, seperti beton yang digesekkan. "Gua tahu lu berdua pasti datang." Terdengar suara. Tidak asing dan aku mengenalnya.

Itu Iqbal. Berjalan keluar dari bayangan hutan. Ia berbeda. tidak mengenakan pakaian yang ia gunakan awal tadi. Lebih tepatnya seperti seragam. Seperti jas warna merah mengkilap dibelakangnya terdapat logo naga putih, mungkin itu yang Iqbal katakan sebuah organisasi fenrir, daleman kemeja putih. Gelang hitamnya di sebelah kanan. Rambut hitam mengkilap seperti habis mandi. Iqbal melangkah mendekati kami. Tersenyum ramah.

"Selamat datang Mal, Ki." Ucap Iqbal membuka tangan seperti menyambut. Aku mendekat, menyerahkan dua jarum suntik yang kosong. "Untuk apa ini?" aku menatap. Angin berhembus cukup kencang mengibaskan rambut kami. Didepan, sebuah gerbang beton atau apa ini namanya rasanya ada yang beda. Sepertinya suara anaeh tadi datangnya dari gerbang ini. Perkiraan tinggi gerbang ini sekitar tujuh puluh meter. Besar sekali dan mustahil dibuat manusia dalam jangka waktu pendek. Aku menatap kagum, seluruh dinding ini memancarkan sinar pendeteksi berwarna hijau, lampu terang dan bangunan bertenaga listrik dari sebuah kaca. Sebuah alat berbentuk tiang bergerak ke kanan dan ke kiri bercahaya, Seperti memandang bangunan masa depan dengan teknologi mutakhir. Penjaga di pos berdiri tegap memegang senjata lengkap. Tunggu dulu senjata itu seperti dilengkapi dengan sinar orange persis warna cairan jarum suntik yang diberikan Iqbal. Tapi ini seperti dalam model perlengkapan militer.

Para penjaga memelototi kami beritga. Iqbal berjalan paling depan. Ia cuek memperhatikan sekelilingnya seperti menjadi hal yang biasa ia lakukan. Ia hanya mengacungkkan lengan kanannya ke atas. Seperti memberikan kode kepada penjaga. Sim salabbim kami berdua melewati gerbang dengan mudah. Seperti menarik pintu dan masuk. Iqbal menuntun kami memasuki suatu ruangan penuh cahaya lampu. Berukuran 4 x 5m luas tempat itu. Dua penjaga mempersilakan kami masuk. Terdapat tabung kaca kubus ditengah, serta peralatan laboratorium lengkap tertata rapi mengelilinginya. Aku tak pernah melihat peralatan super lengkap dan aneh, tabung raksasa melengkung di sebelah kanan, benda mirip teropong tapi ukurannya lumayan besar, kalau dipegang dan dibuat memukul orang mungkin itu ide bagus menurutku, karena tidak tahu itu alat apa jadi ya sudahlah, mungkin lain waktu. Atau mungkin itu alat-alat lainnya yang tak kalah keren terbaru dalam dunia.

Iqbal mengambil alat berbentuk tabung. Pertama menempelkan tabung itu ke tangan kananku. Alat itu mulai berfungsi. Bergetar mengeluarkan sebuah hologram ke atas. Aku melihatnya kagum. Dari mana teknologi ini sudah berfungsi se-normal ini? Hologram menunjukkan sebuah skala pencocokan, turun naik seperti anak tangga. Entah apa yang Iqbal lakukan padaku tapi sepertinya sedang mencocokan. Sedetik kemudian muncul logo naga putih itu lagi bertulisan 'Confirm'

"Bagus. Lumayan juga. Tidak buruk." Iqbal tersenyum

Aku bingung. "Maksud lu apaan Bal?" tanyaku. "Lu bakal tahu setelah ini." Kali ini Iqbal meempelkan tabung itu ke tangan Zakky. "Bal, lu gak bakal bunuh gua kan?" Zakky mencoba melawak. "Tenang aja bro. Sepuluh detik lagi." Iqbal membalas. "Sepuluh detik apaan?"

"Menuju tempat peristirahatan terakhir." Iqbal terkekeh. Aku juga. "Huhuhu" Zakky berpura-pura menangis. Tawa kami pecah dalam ruangan itu.

Confirm.

"Ok selesai. Selamat. Kalian diterima fenrir. Organisasi harapan terakhir manusia. Juga Selamat. Kalian sekarang seorang God Eater."

Sebenarnya itu apaan sih? Dari tadi aku nggak paham.

Zakky menggeleng tidak peduli. Aku menghembuskan napas. Memejamkan mata.