Chereads / The God Eater Hidden Hero / Chapter 9 - Tiga God Eater Berkumpul

Chapter 9 - Tiga God Eater Berkumpul

"Selamat datang pada God Eater. Kali ini, seperti yang sudah di umumkan, kalian akan melakukan tahap pelatihan. Tidak mudah dan tidak sulit. Jadi jalani saja." Keta seseorang penuh semangat di atas panggung. Pria peru baya mengenakan jas fenrir warna putih. Baru ini aku melihat jas warna itu. Kebanyakan yang kulihat hanya berwarna hijau. Seperti yang ku kenakan saat ini

Kami sekarang berbaris di depan pria itu. Zakky di sampingku. Sekiar dua ratus lebih orang berbaris di bawah. Semuanya mengenakan jas hijau fenrir. Aku masih fokus mendengarkan pria itu menyampaikan pidato pembuka. "Kalian sudah tahu persis dunia ini sudah diambang kehancuran. Dunia permukaan sudah tidak ada harapannya lagi. dan sekarang. Kita adalah umat manusia yang terpilih menikmati hidup yang masih panjang. Seluruh cabang mulai mengadakan pelatihan God Eater. Di cabang Timur ini juga mengadakan. Kalian orang-orang terpilih. Hanya petinggi fenrir yang berhak mengusulkan nama calon God Eater. Kalian sudah tahu akan hal itu. Jadi bersyukurlah harapan manusia berada dalam ganggaman kalian. Jika tuhan menciptakan aragami, maka manusia juga menciptakan God Eater-"

Haaaaaa lama banget sih, cih. Merepotkan sekali. Batinku. Aku menengok Zakky. Buset ia tidur sambil berdiri. Matanya terpejam, kepalanya sedikit menganguk-ngangguk. Badannya masih tetap tegak dengan kondisi istirahat ditempat. Ada-ada aja ni anak, nggak di sekolah dulu atau di sini tetep aje. Batinku. Aku memutuskan untuk tidak menggangunya. Padahal membiarakan Zakky kena marah kalau ketahuan tertidur sama petugas. Hehehe.

"Kalian mengerti!!?" teriak orang itu penuh semangat.

"MENGERTI!!" Teriak semua orang juga.

Aku kaget. Ikut-kut teriak nggak jelas. Dan Zakky tidak terganggu teriakan orang-orang di sekitarnya.

"Baik. Kalian akan terbagi menjadi berberapa tim yang telah ditentukan."

Mendadak jam tangan kami muncul hologram. Itu daftar kelompok beserta isi anggotanya. Aku mencari namaku. Ketemu. Kelompok 15, dan anggotanya. "Kenapa harus ketemu anak ini lagi. Siapa sih yang bagi, kenapa harus ada Zakky." Kataku sedikit kesal. Mengkerutkan wajah. "Mal!!" tertiak Zakky.

Aku menoleh.

"Kita se-tim bro. yoi nggak." Katanya. Mengacungkan jempolnya, tersenyum. Aku tidak membalas. Wajahku datar saja. Krik krik!! "Hey Mal, ayolah. Muka lu kok nggak kayak badut sih, diem mulu." Katanya. Emang siapa yang pengen jadi badut bambangg!! Batinku meronta-ronta dibalik wajah datarku. "Oh. Udah gitu doang." Kataku kembali buru-buru menatap ke depan lagi. "Ya ampun Mal!! Tega banget lu. Huhuhu." Kata Zakky pasrah. Brisik.

"Sekarang kalian akan menuju ruangan masing-masing. Silakan. Oh iya, sekali lagi aku mengucapkan selamat berjuang." Kata pria itu.

Pintu masing-masing dinding terbuka. Cahaya putih menyeruak masuk, menyilaukan seperti biasanya. Aku bergegas melangkah memasuki ruangan. Zakky di belakangku dengan muka kusut sedikit kesalnya. Di dalamnya hanya ada hamparan putih sejauh mata memandang. Kosong. Aneh. Tidak, bukan aneh melainkan ini semacam ruangan virtual menurut perkiraanku. Berberapa orang juga ikut masuk ruangan. Enam laki-laki dan empat perempuan. Totalnya ada sepuluh orang. Berarti jumlah ruangannya ada dua puluh. Delapan orang lainnya tidak sempat ku lihat daftar namanya, jadi tidak kenal.

Tunggu dulu. Sekilas ku lihat perempuan yang terakhir datang. Sepertinya aku kenal dia. Pernah bertemu tapi lupa dimana. "Itu Heni bukan?" kata Zakky mengaggetkan dari samping kanan. Aku sedikit terkejut melihatnya. Aku lihat kembali perempuan itu. Benar. Itu Heni. Perempuan yang dulu pernah ku bonceng. Astaga mengapa aku lupa. Dasar aku.

"Oiya ya. Baru sadar gua Zak." Kataku

"Kebiasan buruk lu kambuh lagi." Kata Zakky.

"Ok anak-anak silakan berbaris." Kata seseorang dari arah belakang pintu masuk. Seorang perempuan muda dengan rambut merah muda dan mata biru. Dia mengenakan kemeja tanpa lengan hitam di bawah gaun hijaunya dengan 2 saku, sarung tangan hitam di tangan kirinya dengan 2 gelang, sebuah legging hitam dan sepatu bot putih dengan ikat pinggang. Ia tersenyum ke arah kami. "Perkenalkan namaku Kanon. Untuk sekarang aku mentor masa latihan kalian. Salam kenal ya." Katanya ramah.

"Mohon bantuannya!" kata kami serempak. Kecuali aku dan Zakky yang masih bingung kenapa mereka tiba-tiba berkata demikian. Rupanya aku belum terbiasa.

"Baik. Langsung permainan saja?" tanya ia. "Permainan?" kata seseorang. "Iya. Menurutku ini sebuah permainan. Jadi santai saja. Seperti pidato awal kali tadi, kan disuruh santai." Kata Kanon mencoba menenangkan. Suasana mulai tidak tegang. Kanon tersenyum ramah. Tapi menurutku tidak demikian, ini hanya awal bukan pertandingan yang sesungguhnya. Ku harap apa yang di ucapkan Kanon benar. Hanya sebuah permainan.

"Kali ini kalian akan dicocokkan pada God Arc masing-masing. Tingkat presentasi dan terjun lapangan akan menjadi nilai dalam pencocokan God Arc kalian. Secara singkatnya, kalian akan berada dalam arena virtual dunia. Setiap orang akan terjun di dunianya secara acak sendiri-sendiri. Semuanya tampak nyata mencoba masing-masing God Arc yang sudah di siapkan di suatu tempat. Tidak sungguhan sih, hanya replica doang. Tidak berbahaya. Mudah bukan." Kata Kanon.

Aku menelan ludah. Sepertinya tidak demikian.

"Akan tetapi. Proses pengambilan replika God Arc di dalam arena penuh aragami-"

Seketika semua orang terkejut. Yah mereka sudah medengar rumor tentang makhluk satu ini. Hanya aku dan Zakky yang terlihat tidak terkejut. Sudah kuduga pelatihan ini tidak semudah yang mereka bicarakan. Tidak mudah dan tidak sulit. Jadi santai saja. Omong kosong atas hal itu.

"Kalian akan bertahan hidup dari setiap serangan aragami. Untuk masalah teknis semua dibebas luaskan pada kemampuan kalian. Terserah. Seperti yang ku katakana awal tadi. Semua tampak nyata. Begitu juga rasa sakit yang akan kalian rasakan terjun dilapangan dibuat senyata mungkin."

"Yah sebelas dua belas dengan pengalaman misi pertama kalian nanti." Jelas Kanon.

"Semuanya mengerti?" tanya Kanon. Aku angkat tangan, hendak bertanya. Kanon melihatku dan mempersilakan untuk bertanya. "Jika tidak jauh berbeda dengan dunia nyata. Maka pelatihan ini juga bisa mengantarkan kami menemui ajal. Bukan begitu?" Kataku.

Kanon tersenyum ramah seperti biasa. "Benar." JRENGG!! Semua mulai panik mendengarkan satu kata Kanon tadi. Lagi-lagi ini sudah kuprediksi. Aku dan Zakky menghembuskan napas. Hadeh, benar-benar merepotkan, apa boleh buat. Batinku. Aku melirik kea rah Heni. Ia memegang kedua tangannya, sedikit gemetar. Ia tidak sadar aku satu ruangan dengannya. Mungkin nggak sempet kali. Kenapa malah mikir ini sih. Batinku. Segera ku buang jauh-jauh pikiran itu.

"Kalian sudah siap?" kata Kanon. "SIAP!!" jawab kami serempak. Wuih semangat kali.

"LINK START!!" teriak Kanon.

Dinding-dinding ruangan putih itu seketika berubah warna menjadi merah. Pintu-pintu terbuka di setiap sisi ruangan itu. Jumlahnya sepuluh persis jumlah tim ini. Baik perjalanan kematian dimulai. Kami semua berpencar. Seperti biasa pintu yang akan kumasuki bersebelahan dengan pintu Zakky. Sebelum masuk aku sedikit menyapa Zakky. "Jangan sampai lu mati Zak." Kataku. Zakky hanya terkekeh. Aku tidak menghiraukannya. "Gua nggak selemah itu kali Mal." Katanya. "Ya bisa aja lu jalan tiba-tiba dimakan tuh monster." "Hahaha, kaki di ciptakan untuk lari Mal. Nggak kayak lu kerjanya cuman duduk di kursi, ngerjain soal-soal yang bikin pala setiap orang pecah kalau nggak gitu rambut langsung rontok." Ejek Zakky.

Sialan. "Gua juga nggak se-bodoh yang lu kira kali, Zak." Kataku. "Hmmm… ngomongnya nanti dulu Mal. Percuma sekarang ngomong tapi ujung-ujungnya nggak kembali."

Aku hanya tersenyum. Mengacungkan tinju tanganku ke arah Zakky, Zakky tahu maksudnya. Kami sudah sering melakukan ini, ketika aku dan Zakky saling berlomba ini yang kulakukan pertama kali. Zakky membalas tinjuku. Kedua tinju kami bertemu.

"Jangan sampai mati Mal." Kata Zakky.

"Lu juga." Jawabku.

Kami berdua mulai masuk pintu itu.

***

Sekarang aku berada di kawasan rawa-rawa. Becek oleh genangan air, dan berlendir. Ganggang hijau banyak terdapat di bawah. Kaki yang pertama kali menginjak lantai putih bersih sekarang harus menginjak lumpur berair dan lengket. "Tampak nyata banget. Hebat." Aku mulai melangkah menyusuri rawa ini, membelah daun yang menutupi jalan. Langit mendung saat ini. "Kurang ajar. Bentar lagi turun hujan nih." Gerutuku.

Aku memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Ada bukit di di sana, mungkin ada pohon atau rumah di balik bukit itu. Bergegaslah aku melangkah. Ada dua tanjakan di depan sana. Jas yang kenakan mulai basah karena percikan air rawa. Di suatu tempat? Jika menurut perkataan Kanon tadi semua orang akan dapat tempat sesuai ketentuan. Jika di asumsikan semua God Eater diangkat orang-orang tertentu maka sudah dilakukan tes kecocokan atau perbandingan kondisi presentase. Jadi. Kalau aku ditempatkan di rawa mugkin disekitar sini tempat God Arc-ku. Tidak hanya satu God Arc, aka ada banyak God Arc. Bisa disimpulkan arena setiap peserta menunjukkan skil yang paling menonjol dan cocok digunakan pada tempat tertentu, contohnya di sini aku dapat rawa. Mungkin Blood arc yang dibicarakan Iqbal akan diasah. Menyebalkan tapi efisien.

Ada suara langkah yang terdengar didekatku. Aku terkejut dan mulai fokus tidak berpikir. Berhenti melangkah.

Suara ini tampah begitu berat. Yang pasti ini bukan suara langkah manusia yang berjalan di air. Menyebalkan. Batinku. Aku segera berguling ke samping kanan bersemunyi di balik batu. Banyak tumbuhan di sampingnya, mungkin nggak akan kelihatan kalau ada orang di situ. Suaranya semakin serempak. Ramai banget, nggak Cuma satu mungkin lebih dari lima. Mungkin ini aragami yang dibicarakan. Tapi jenis apa? Mungkin oregtail. Ya benar, tidak salah lagi.

Aku perlahan merambat ke atas batu. Mengintip.

Sepuluh aragami tipe oregtail bergarak secara berkelompok. Aku terkejut bukan main. Berkali-kali menelan ludah dan tidak berkedip. Keringatku perlahan-lahan mulai turun. Untuk pertama kali melihat memang tidak kusangka. Menurut informasi tidak salah. Batinku. Aragami berbentuk seperti t-rex tanpa tangan versi kecil . tubuhnya dipenuhi kulit dan bulu yang kuat. Kaki yang segede gaban, ukuran kepala yang besar dengan gigi tajam khususnya dua gigi taring yang menonjol keluar. Sekarang yang melintas di dalam pikiranku hanyalah bagaimana caranya lolos dari area ini. Mereka tepat di depan batu yang tengah ku buat bersembunyi.

Aku menelan ludah. Berhenti bernapas sejenak. Mereka sudah dekat sekali. Tinggal menghitung jengkal dari arah batu. Hggghhh!! Suara desisan oregtail. Salah satu aragami yang kubaca dapat mendeteksi mangsa lewat gerak yang dibuat dan suara mangsa. Walaupun bunyi sekecil hembusan napas. Tak heran ketika aku berjalan Benar-benar merepotkan membuatku harus berhenti bernapas sesaat agar mereka tidak mendekat ke sini. Tiga puluh detik berlalu. Aku dengan payahnya berusaha sekuat nyawa menahan napas. Sekumpulan oregtai itu sudah pergi lumayan jauh.

Aku bisa bernapas lega. "Sukurlah." Kataku. Aku mulai bergerak mengintip. Benar tidak ada. Aku mulai muncul dari balik batu. Melangkah demi sedikit menjauh dari jalan yang dilewati aragami. Mengendap-endap dan memastikan melangkah tidak menimbulkan bunyi yang sedikit keras. Melihat ke kanan dan ke kiri. Masih aman. Hanya tumbuhan tinggi menjulang yang menemaniku melangkah beriringan. Membuka jalan juga aku harus hati-hati kalau tidak pasti akan menimbulkan gerakan berangsur. Satu pohon ke pohon lainnya. Untuk sekarang aku sudah keluar dari area berbahaya. Dan jalan satu-satunya untuk melewati tantangan ujian ini hanya God Arc yang bisa menjawabnya. Aku harus cepat menemukannya. Kalau nggak mau mati. Batinku mulai berpikir.

Aku menyentuh permukaan air yang ku injak sekarang. Cukup tenang. Mungkin ini salah satu cara yang bisa dilakukan. Dengan jam tangan fenrir di tanganku aku bisa membuat gelombang sekala sedang. Kalau besi jenis virbranium yang ku baca memiliki sifat yang sama dengan besi lainnya. Yang membedakannya dengan besi lain hanya pada tingkat kekerasan yang dihasilkan. Jadi kalau mengandalkan air sebagai media penyaluran getaran gelombang kalau bertemu God Arc di sekitar sini mungkin akan berbunyi dentuman. Dan itu menjadi pertanda buatku kalau God Arc sudah ditemukan. Cara yang menurutku cukup berlian.

Aku tersenyum. Cara sudah kutemukan. Yang sekarang menjadi masalah. Ketika gelombang di lepaskan maka aragami oregtail akan menuju ke sumber suara. Aku menghembuskan napas. Tinggal cari tempat bersembunyi. Batinku. Setelah bersembunyi aku akan mencari sumber dentuman God Arc itu. Melihat ke samping kanan, di sana ada sungai. Aku melihat kedalaman sungai itu. Binggo. Kalau aku bisa membuat getaran kenapa nggak sembunyi di getaran itu.

Aku melangkah ke belakang. Berancang-ancang. Memegang jam tanganku.

Tiga! Dua! Satu! Langsung ku tekan layar jam tangakku. Blush!! Seketika getaran hebat mulai terasa. Aku mulai berlari dan meloncat terjun ke air sungai itu. Sedetik sebelum terjun ke dalam sungai aku mendengar suara dentuman dari arah jam dua. Tidak terlalu jauh perkiraan hanya empat ratus meter dari sini. Kebetulan arus air sungai ini mengarah ke utara tepat. Jadi tinggal berjalan menelusuri ke arah barat.

Byurr!! Aku menyelam ke dasar sungai. Mejauh dari permukaan. Menggunakan gaya lumba-lumba keahlianku. Ya cuma gaya ini yang cocok menyelam di dasar sungai. Gak mungkin pake gaya butterfly ataupun dada. Minta mati pake gaya itu. Air yang jernih membantuku untuk terus menyelam cepat. Menggerakkan tubuhku dengan liuk-liuk lentur mengempaskan tanpa suara. Bergerak layaknya ikan. Cepat sekali.

Dari permukaan aku mendengar suara keributan. Sesuai perkiraanku mereka akan datang. Mencari sumber bunyi itu. Tapi nihil mangsa yang mereka cari sudah pergi jauh. Aku melihat jam tanganku. Peta menunjukkan kordinatku yang terus melaju terbawa hilir arus sungai.

Aku menatap ke depan lagi. Terus melaju. Siapa sangka aku sudah tiga puluh detik menyelam di kedalaman sepuluh meter dari permukaan tanpa kembali ke permukaan untuk mengambil napas dan menyelam kembali. Dulu di di rumah aku sering melakukannya dengan Papa. Katanya percuma pintar tapi nggak bisa jaga diri. Salah satunya menyelam. Awalnya nggak mau. Tapi karena terpaksa, apa boleh buat. Dua bulan melakukannya secara rutin alhasil aku menguasainya. Tidak mudah, tidak sulit.

Kurang lima meter ke depan adalah titik yang ku pilih.

Mengendap-endap naik ke permukaan. Lihat kanan dan kiri. Aman. Tidak ada pergerakan. Aku mengambil napas yang sedari tadi ku tahan, menghembuskan dengan lega. Huh, terasa segar. Aku berdiri tegak. Dan mulai berjalan ke arah barat. Kali ini mulai dengan hati-hati. Aku benci merasa tegang saat mereka datang mendekat. Merinding gimana gitu. Kira-kira saat dia selamat nggak ya. Aku ngelamun nggak jelas. Terbayang wajah Heni masuk ruangan putih tadi. Hiss apaan sih. Malah mikirin tuh orang. Kenal juga sebentar. Bangun-bangun Mal. lu pasti sekarang kena trauma ringan. Baru ketemu monster aneh aja pikiran udah ke mana-mana. Aku langsung membuyarkan ingatan sekilas itu. Bagiku itu racun. Dan aku harus menemukan penawarnya. Kalau tidak, bisa mati terbunuh aku, seperti remaja masa kini. Semua terkena racun. Zakky apalagi. Ehh tuh anak selamet nggak ya? Pikirku.

Yang terjadi pada Zakky.

"Tolongg!!!!" "Tolongg!!" Teriak Zakky lari terbirit-birit. Air matanya keluar. Tubuhnya terus berlari. Dibelakangnya, segerombolan aragami oregtail mengejarnya. Zakky dengan terpaksa berlarian di padang pasir. Kali ini Zakky mendapatkan area gurun pasir. Panas, dan bikin haus. Aku tidak bisa bayangin lari-lari siang hari di sana. Mungkin saking takutnya Zakky sampai kencing di celananya. Aku tertawa ngebayangin itu. "Pergi lu. Woi, monster jelek buruk rupa dan nggak punya tangan. Huhuhu. Gimana nih." Katanya.

"Tolong!! Tolong!! Ya tuhan. Tolong hamba." Rengek Zakky. Ngakak njir.

"Tolongg!! Gua woii." Gerutu Zakky sambil terus berlari.

Teriakan Zakky membuatku terkejut.

"Kok gua merinding ya. Ngomongin tuh anak langsung merinding." Aku berhenti sejenak. Melihat kanan dan kiri. Aku memotong tumbuhan yang menghalangi.

"Bodo amat. Yang penting gua selamat." Kataku mengangkat bahu tidak peduli. Padahal di seberang sana Zakky lari terbirit-birit dikejar sekawanan aragami. Dasar aku.

Hanya butuh waktu tiga puluhmenit untuk menuju titik merah. Aku tatap layar hologram jam tanganku. Aku sudah berada tepat di titik ini. Keluar dari kawasan rawa-rawa dan dihadapanku sekarang hanyalah tebing berbatuan yang tinggi sekali. Sekitar lima puluh meter ke atas. Begitu curam hingga siapapun yang terjun dari atas aku jamin kalau nggak cedera parah ya mokad.

Aku menoleh kanan kiri. Siap siaga. Aman tidak ada ke anehan. Rupanya aku jauh dari ancaman aragami. "Gua yakin udah tandian gelombang pantulan bunyi. Yah di sini tempatnya. Nggak ada lagi. tapi kok?" gumamku. Aku menggaruk-garuk kepala. Berhenti sebentar. Mendekati tebing bebatuan ini. Merabanya. Tekstur batu normal. Bergeser ke kanan, merabanya. Ke kanan lagi dan lagi. Aku berhenti. Berpikir sejenak.

Meraba lagi. BINGGO! Perubahan tekstur bebatuan yang berbeda sudah terasa. Aku yakin tidak salah tebak. Di dalamnya ada sesuatu yang itu logam. Aku tersenyum talah menemukan sesuatu. "Sekarang bagaimana caraku mengambilnya?" kataku. Benar juga. Bagaimana caraku menggunakannya kalau aku tidak tahu cara membukanya. Lagi-lagi aku dibuat kikkuk dalam permasalahan. Kalau pakai sumber getaran hebat dari jam tangan. Semua monster itu akan datang kemari. Masalah lagi. kalau cari benda disekitar sini yang terbuat dari logam dan mulai mengukir, bakalan gawat ketemu monster itu. Lagian dirawa-rawa ini mana ada benda logam. Kayu yang ada, itu juga kalau ada pohon yang bisa di tebang. Dan ditebangnya juga pakai apa?

Masalah lagi. Hadeh. Kenapa harus serumit ini sih. Apa perlu aku cari batu dan mulai menghantamkannya satu persatu. Iya kalau bisa. Bunyinya juga membuat masalah. Ya ampun, mengapa aku harus memulai hari ini dengan banyak membuang energy dan pemikiran yang menguras hasrat kehidupanku. Aku seperti tersedot, sari-sari kehidupanku berada di ujung ambang kematian.

Aku diam lima detik. Dahiku mengkerut.

Itu dia!! Aku seketika mendapatkan ilham dari tuhan. Aku tersenyum. Melihat jam tanganku dan menekan berberapa tombol. "Kalau nggak ada alat buat ngehancurin. Pakai aja mereka. Beres, toh ya mereka punya rahang sekuat baja." Pikirku. Ide gila mulai kususun. Aku berencana menggunakan aragami untuk menghantam tebing ini. Lumayan gila untuk seseorang yang ingin mendekatkan diri pada tuhan. Mungkin ini salah satu caranya.

Aku mulai bersiap-siap. Ku letakkan jari-jariku untuk menekan tombol energy. "Semoga saja aku tidak mati hari ini." Kataku. Ku arahkan jam tangan ke dinding tebing. Posisi sudah pas. Set!

Blushh!!

Dummm!!!

Suara dentuman menghantam dinding tebing. Membuat tebing mendadak retak. Gelombang itu membuat hembusan angina bertiup kencang. Menggoyahkan dedaunan di rawa-rawa. Genangan air mendadak bergetar dan berhembus. Kuat sekali. Hanya aku yang tidak bergetar. Mataku berputar-putar. Melihat ke belakang. Getarannya mendadak kembali normal.

Hening sebentar. Dua detik. Aku menunggu reaksi pergerakan aragami. Aku yakin mereka akan mengincar, mencari sumber getaran.

Benar saja. Dua detik menunggu. Mereka akhirnya datang. Lihat mereka. Begitu benyak hingga dari atas sini aku melihatnya. Njir banyak amat. Kataku mengambil ancang-ancang. Sekejab empat aragami meloncat ke arahku. Tinggi banget loncatannya. Aku melihatnya seperti di adegan film-film. Musuh menyerang dari atas secara slow motion. Aku berguling ke samping kanan. Alhasil empat aragami itu menghantam dinding tebing yang retak. Buumm!!

Aku tersenyum melihatnya. Tidak berhenti disitu. Enam aragami dari arah belakangku juga melompat ingin menerkamku. Aku berguling ke kanan. Bumm!!! Kena lagi. Kerja bagus Mal. Batinku memuji. Retakannya semakin mendalam. Perkiraan tinggal dua atau tiga tumbukan sudah pasti hancur. Aku berancang-ancang, posisi jongkok. Sepuluh aragami berdiri tepat di depanku. Mereka mengaung, mulai menerjang membuka mulut ingin menerkam. Kali ini beramai-ramai.

Aku nekat berlari ke dinding tebing. Melompat ke dinding dengan satu kaki dan mendorong kaki lainnya untuk melonjak dari dinding tebing. Aku terbang di atas mereka tanpa terluka sedikit pun. Berguling ke depan dan kembali posisi siap. Aragami berbalik dan sedetik kemudian mereka kembali menyerang. Tidak ada cara lain selain berseluncur ke bawah melewati kedua kaki besar mereka. Berhasil lagi. Napasku terengah-engah. Aku mencoba mengontrol napas. Bersikap tenang. Dinding retak itu berada tepat dibelakangku. Aku akan memancing mereka untuk menyerangku dan menghindari serangan mereka. Binggo, semua selesai.

"Hanya ini saja kemampuan kalian?" ejekku. Aragami itu mengaung marah. Apa mereka mengerti ucapanku. Kurasa tidak.

Mereka kembali menyerangku seperti tadi. Aku pun ikut berlari ke depan. Menerjang sepuluh ekor aragami. Mulut mereka terbuka. HAP!! Empat gigitan aragami meleset. Aku lebih dahulu melompat ke atas. Dari atas dua aragami sudah siap dengan terkaman di udara. Mulut terbuka lebar dan gigi runcing layaknya gergaji yang siap memotong apapun.

Meleset.

Tepat sepersekian detik berlangsung aku menggulingkan badanku di udara. Terangkat ke atas seperti salto dalam permainan bola. Aku terkekeh melihat semua serangan mereka meleset. Bumm!! Enam ekor aragami menghantam dinding tebing. Belum selesai dengan aragami. Masih tersisa empat ekor yang sudah menungguku mendarat. Menurut perkiraanku meraka akan menyerang dari belakang.

Benar saja. Mereka sudah menungguku. Aku tersenyum dan tinggal berguling ke belakang. Gigitan mereka meleset. Aku menghela napas.

Selesai sudah. Bongkahan tebing mulai runtuh. Membentuk sebuah lingkaran. Benar dugaanku. Sebuah cahaya hijau berdiri melayang di antara kumpulan senjata. Seperti melindunginya. Menutupi hingga menyerupai sebuah kubus yang didalamnya terdapat God Arc. Di samping kubus hijau itu terdapat lambang fenrir. Kurasa tinggal menempelkan layar jam tangan ini untuk bisa melepas segel itu.

Tapi sebelum itu.

Aku harus melewati enam Oregtail didepan. Aku menghembusakan napas. Kurang sedikit lagi. dan semua akan selesai. Aku merenggangkan bahuku. Melenturkan otot-otot kaki. Menggerak-gerakkannya seperti pemanasan. Aragami itu tampak baik-baik saja setelah menghantam tebing bebatuan itu. Seperti biasa informasi yang diberikan fenrir tepat. Mereka memiliki kelebihan postur wajah yang super keras melebihi loga-logam umumnya. Batu nggak ada apa-apanya dibanding rahang dan gigi mereka.

"Maju sini." Kataku.

Oregtail menerjang dengan kecepatan tinggi. Cepatnya. Batinku, tapi. Aragami dari belakang juga menerjang. Aku di tengah-tengah dan terjepit dari dua arah. Bukan masalah. Sedetik sebelum berhasil menggigit. Aku berguling ke kanan. Kesepuluh Oregtail itu saling bertabrakan. Besi ketemu besi. Pasti ada yang rusak salah satunya.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan aku langsung berlari ke arah God Arc. Menunjukan layar jam tangan, dan segel pun terbuka.

Bermacam-macam God Arc yang melayang di depanku. Sebilah pedang merah pada bagian mata pedang, berukuran sangat besar dengan design ujung mengerucut, gagang ber warna hitam mengkilap bermotif. Keren. Gumamku dalam hati. Kurasa pedang ini hanya bisa digunakan orang dengan style berpedang bar-bar. Disampingnya ada dua buah pedang ukuran sedang. Motifnya juga nggak kalah menarik seperti mecha kebiru-biruan. Ku geser. Ada pisau berukuran besar, tombak, semacam palu raksasa.Yang itu aku tidak suka. Jujur. Bentuknya aneh dan mengerikan. Ku geser lagi.

Ada busur. Bentuknya menggunakan kerangka busur klasik. Hanya design-nya yang tampil berbeda. Design mecha merah ke emasan di setiap jengkal sisi busur. Tampak begitu elegan ketimbang God Arc lainnya. Aku menyukai God Arc ini. Langsung ku ambil tanpa pikir panjang. Ketika ku pegan dengan tangan kiri, mendadak cahaya merah merambat ke pergelangan tanganku. Membentuk gumpalan berbentuk sarung tangan. Sekejap menjadi sarung tangan berwarna merah mengkilau dengan hiasan bola hijau di tengah-tengah telapak tagan. Keren sekali.

"Ini nanoteknologi. Lumayan berkesan." Kataku. Busur yang ku pegang merah menyala. Tali busur orange muncul sendirinya. "Eeee.. terus anak panahnya mana?" kataku mencari sesuatu. Menoleh ke kanan kiri. Tidak ada. Aku hanya berdiri memegang busur di depan asap mengepul masih menyeruak hebat. Aku bingung mau ngapain.

"Terus ini cara gunainnya gimana woi!!" aku mulai panik sendiri. Memegang busur, memperhatikan setiap detail busur. Menarik tali busur, bim salabim. Mendadak muncul anak panah secara sendirinya. Aku kaget dan langsung melepasnya ke arah depan. Set!!

Anak panah meluncur cepat. Menghantam aragami yang berusaha berdiri. Blarrrr!!! Suara ledakan terdengar hebat.

"Wihhh. Keren. Anak panahnya otomatis." Gumanku. Aku masih tercengang tidak percaya. Memegang busur sekali lagi. Gilaa… aku punya senjata keren. "Ehhh btw ringan amat ni busur." Kataku.

Kepulan asap hitam lumayan besar terus mengepul tiada habis. Daya ledak yang mengaggumkan. Tali busur kembali ku tarik. Muncul anak panah. Ku arahkan ke langit-langit. Aku sudah pengalaman menggunakan busur. Ku bidik awan putih bergerombol di atas sana. Slasshhh!!

Awan itu berlubang akibat angin anak panah. Blarrr!! Aku tersenyum. "Mantap." Kagumku. Suara ledakan sampai ditelinga. Tapi jangan senang dulu. Ini belum berakhir.

Dari kepulan asap keluar aragami, berlari ke arahku. Segera kutarik tali busurku. Membidik persis arah target. Pas, langsung ku lepaskan Splass!! Anak panah orange melesat menghantam aragami lagi. Blarrr!! Suara ledakan itu terdengar lagi. kepulan asap lagi, keluar aragami lagi. aku berlari menerjang. Ketika hendak menggigit. Aku berguling ke depan. Meghindari gigitan. Datang lagi dari arah kanan. Aku melompat menghindar sekali lagi. Sial!! Dari arah kiri juga datang serangan. Aragami tidak henti-hentinya menghajarku. Tidak memberi jeda waktu. Tidak ada pilihan lagi. aragami menggigit pergelangan tanganku, "Ahhhggg…." Aku mengerang. Membuka mata. Terbelalak tak percaya.

"Leh. Nggak sakit." Kataku melihat aragami mengginggit pegelangan tangan. Gigi runcingnya masih sibuk mengoyah pergelangan tanganku. Karena sarung tangan nano teknologi God Arc, mungkin bisa menahan serangan. Contohnya menahan gigitan oregtail, atau bahkan sekelas aragami tipe besar. Aku belum tahu.

Aku menghela napas lega karena selamat. Ku loloskan pergelangan tanganku dan melompat ke atas. Menarik busur di udara dan Bum!!! Ledakan terdengar. Tersisa dua oregtail lagi. berlari ke arahku. Aku melihatnya sebentar. Hanya berjarak berberapa meter dari punggungku. Aku berlari ke arah dinding tebing. Tanpa kusadari mulai awal tadi kemampuanku serasa berlipat-lipat. Dari segi kelincahan dan kekuatan, atau bahkan penglihatan membuatku terasa berbeda saat mengaktifkan God Arc. Mungkin ini efek baiknya bagi para God Eater. Tidak hanya dibekali senjata tapi juga kemampuan. Apalagi Blood Arc.

Aku berlari. Di belakangku dua oregtail masih mengejar. Ketika pas di depan mata. Aku melompat ke dinding. Bertumpu satu kaki. Mendorongnya dan terbang melayang ke atas. Melewati dua oregtail yang tengah mengejar. Bekas pijakan di dinding tebing retak karena ulahku.

Ku lesatkan anak panahku di udara. Membidik sebentar. Splasss!!!

Duarrr!!!.

Udara menghempaskan tubuhku. Angin berhembus membuat rambutku berterbangan. Aku merapikannya. Melangkah ke depan. Melihat ke atas, langit biru masih terjaga di sana. Aku menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya dengan perlahan. Ku eratkan genggaman busurku.

"Hah!! Enaknya udara di sini. Padahal virtual tapi tak apalah. Yang pernting semua masalah udah selesai. Sekarang tinggal nunggu hasil Zakky. Semoga aja tuh anak masih selamet." Aku memejamkan mata. Menikmati sensasi ini.

Ledakan itu membuat aragami oregtail hangus tanpa jejak. Lenyap. Aku menyukai God Arc tipe jarak jauh. Bukan karena takut pertempuran jarak dekat, melainkan ini adalah tipe penyokong. Membantu teman di garis depan dan memastikannya hidup samapi pertemuran selesai. Itu yang kubaca dari database God Eater. Tidak banyak God Eater tipe penyokong di sini. Menganggapnya nggak guna saat pertempuran dan lemah dalam pertempuran jarak dekat. Aku tidak berpikir demikian. Justru tipe ini adalah penentu kunci kemenangan. Tidak ada bantuan maka garis depan akan tumbang.

Aku membuka mata.

SELAMAT!! ANDA LOLOS!! MELEWATI UJI COBA PERTAMA. SILAKAN KEMBALI KE RUANGAN SEBELUMNYA. PASTIKAN KONDISI ANDA TETAP SEHAT DUA HARI KE DEPAN, KARENA ANDA AKAN MEMASUKI TAHAP TERAKHIR PELATIHAN.

SELAMAT!!! Terdengar suara seseorang.

Pintu virtual terbuka. Menuju ruangan sebelumnya. Ruangan putih.

Akhirnya, aku lolos. Padahal aku sudah memprediksi semua ini. Banyak menguras energy hari ini. Batinku. Aku mengangkat bahu. Berjalan keluar arena virtual.

"God Arrow Off." Kataku. Seketika busur dan sarung tangan merahku menyusut dan mengalir ke jam tanganku. Sekejap lenyap dan tersimpan. God Arrow nama God Arc-ku. Membaca di data base jika ingin menggunakan God Arc tinggal bilang 'on' dan 'off' untuk mematikan.

"Tahap terakhir kali ini seperti apa ya? Penasaran." Gumamku.

Pintu arena virtual tertutup. Meninggalkan berkas debu langkah kakiku.

***

Di ruangan putih itu kanon berdiri di tengah ruangan. Aku lewat di belakangnya. Masih sepi dan hanya aku yang pertama kali selesai tes.

Kumasukkan tanganku ke dalam saku celana, berdiri tepat di belakang Kanon. Diam menunggu. Ahhh kenapa harus menunggu sih. Batinku, raut mukaku mulai kesal, menggigit bibir. Dan pada akhirnya menghembuskan napas kesal. Melihat jam tangan yang ku gunakan. Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya kalai benda kecil ini bisa menyimpan segala teknologi. Bayangkan saja, anroid yang kita gunakan saat ini adalah sebagian kecil fitur di jam ini. Kombinasi dari nanoteknologi berupa partikel dan hologram teknologi. Bergabung jadi satu, tidak meninggalkan fungsi jam klasik pada umumnya. Masih ada jarum jam, angka-angka, dan gerakan jarum jam.

Hanya saja kalau diketuk dua kali atau voice active berubah menjadi jam super keren yang pernah kalian lihat. Aku ketuk jam tangan hitamku. Muncul hologram menekan bagian pojok atas. Jam menunjukkan waktu siang. Tak terasa kalau hari pertama memakan waktu yang tidak sedikit. Ditambah lagi sekarang aku harus menunggu. Nggak bisa apa ya langsung pulang gitu. Pengumumannya bisa besok. Gerutuku dalam hati. Masih memandang punggung belakang Kanon. "Apa ini masih lama?" tanyaku. Memecah hening ruangan kala itu.

"Tinggal berberapa saat. Semuanya akan selesai sebentar lagi. jadi bersabarlah." Kata Kanon tiba-tiba berwibawa. Aku tidak tahu harus bagaimana. Pasrah saja, mungkin. Kanon masih berdiri tegak posisi siap. Sedangkan aku dalam posisi malas sesekali menguap tanda ngantuk.

Pintu di samping kananku terbuka, mengeluarkan kepulan asap memasuki ruangan. Seseorang keluar. "Hah. Akhirnya selamat juga." Kata seseorang yang langsung kukenali. "Zak?" kataku penasaran. "Apa hah?" jawab orang itu. "Gak ada apa-apa. Gua kira lu nggak bakal kembali." Kataku asal. Buru-buru kembali menatap ke depan.

"Hah!! Bener-bener lu Mal. Gua nggak tahu njir kalau tuh ruangan penuh makhluk aneh, bahaya juga. Hadeh. Malah main kejar-kejaran tadi." Kata Zakky.

"Lah. Lu tidur sih waktu upacara pembuka. Yah salah lu lah, ngapain kaget." Kataku

Zakky berdiri di sampingku. Masuk barisan.

Satu persatu pintu terbuka di setiap sisi. Keluar orang lagi dan lagi. hingga akhirnya gadis itu kembali. Heni. Jas yang ia pakai tampak lusuh, sedikit berdebu. Mungkin ia berada di arena reruntuhan gedung. Atau bisa jadi di gurun pasir sama seperti Zakky.

Semua berbaris rapi. Tidak ada yang tidak kembali. Semua selamat. Syukurlah tidak ada korban jiwa dihari pertama. "God Arc lu apa?" bisik Zakky mengaggetkanku sejenak. Aku menoleh. Kesal dikagetin. "Apaan sih, lu." Risihku. "Sorry-sorry ngaggetin lu." Kekeh Zakky. Aku rada tersinggung. "Apa lagi sih?" tanyaku. "Ituloh. Setiap keluar ruangan itu kan selalu bawa God Arc. Nah, gua penasaran lu pilih God Arc tipe apa? Pedang? Buster? Pisau? Apa? Kasih tahu gua dong." Tanya Zakky penasaran.

Ok. Zakky mulai bertingkah. Sampai aku harus mundur satu langkah kebelakang karena tuh wajah anak kedepan mulu. Jijik lihatnya. "Kalau tanya biasa aja lah Zak. Nggak sampek segitunya. Udah kembali ke posisi lu. Nggak enak sama orang belakang gua tahu." Bisikku.

Zakky hanya termanggut-manggut. Sebelum ssempat menjawab pertanyaan Zakky. Kami semua di kagetkan dengan sebuah pengumuman. Jam tangan kami mendadak bergetar sebentar. Tanda pesan masuk.

"Tahap tes terakhir kalian akan berlangsung tiga hari dari sekarang. Tahap tes kali ini diadakan di stadion kota pusat. Tidak di cabang timur. Sekali lagi saya tegaskan tes ini dilaksanakan di stadion kota pusat. Yang artinya, kalian akan bertemu seluruh God Eater dari penjuru dunia dalam satu arena. Tes terakhir ini ialah tes bertarung satu lawan satu. Menggunakan God Arc yang sudah kalian ambil sebelumnya. Tidak ada perlengkapan keselamatan saat bertanding. Tidak sama sekali, yang ada hanya jas khusu fenrir yang saat ini kalian kenakan. Untuk lebih lanjut tentang teknis aturan pertandingan kalian bisa baca di jam tangan kalian." Jelas Kanon.

Kami segera memeriksa pesan masuk tersebut. Membacanya sebentar, pertarungan satu lawan satu bisa disebut menang jika salah satu peserta mengaku kalah, keluar dari arena, dan tidak sadarkan diri. Lawan akan ditentukan secara otomatis dari pihak fenrir. Jika diluar batas maka pertandingan akan dihentikan secara paksa. Saat pemenang ditemukan akan diadakan pemilihan anggota oleh masing-masing ketua PASUKAN INTI FENRIR jika ingin merekrutnya, bisa disilakan angkat tangan. Jika terdapat dua atau lebih ketua pasukan yang angkat tangan. Peserta bebas memilih akan menjadi anggota pasukan mana.

"Tidak masalah." Kataku memperhatikan

Zakky menelan ludah. Rupanya mengira tes terakhir adalah ujian tulis. Biasanya di setiap penyeleksian pasti ada ujian tulis dan praktik. Tapi ini malah ujian bertarung. Satu lawan satu malahan. Kasihan sekali Zakky pikirku. Aku tahu di sekolah ia jagonya olahraga. Tapi kalau masalah ururusan lelaki. Ia penakut sama sekali.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sedikit pusing, mendadak. Mungkin efek samping kurang tidur semalaman.

"Oleh karena itu. Persiapkan segala yang memang diperlukan. Untuk masalah tempat latihan tanding kalian bisa menggunakan virtual fight realty. Tersebar di sejumlah titik. Dan yang terakhir, saya sebenarnya kaget semua anggota kelompok ini bisa keluar dengan selamat. Hal ini pernah terjadi pada kelompok Jenderal Mahyan. Dan setelah itu tidak ada lagi. pasti timbul jatuh korban. Tapi kalian bisa keluar hidup-hidup itu mejadi hal yang luar biasa. selamat untuk kalian yang berhasil lolos. Umat manusia butuh pejuang pemberani seperti kalian. Yah walaupun tidak semuanya." Tambah Kanon.

Aku tahu maksud tidak semua dari Kanon. Itu Zakky orangnya. Ia mengatakan hanya main kejar-kejaran dan tiba-tiba bisa lolos dari ujian itu. Entah ilmu apa yang Zakky gunakan tapi ia berhasil selamat.

Zakky hanya tertunduk malu.

"Sekarang kalian bisa pulang ke rumah masing-masing. Sampai jumpa tiga hari yang akan datang." Tutup Kanon. Pintu besar awal masuk tadi terbuka. Meninggalkan bekas debu dingin.

Semua orang beranjak keluar ruangan. Aku mau menyapa seseoarang yang kukenal. "Ehh Hen!!." Kataku menyapa dari kejauhan. "Siapa Mal?" tanya Zakky melihatku tiba-tiba menyapa. "Lu nggak kenal sama tuh gadis?" kataku menunjuk. Zakky melihat dengan seksama. "Ehh itu Heni bukan." Kata Zakky.

"Iya." Jawabku singkat.

Gadisitu menoleh ke sumber suara. Melihatku dengan Zakky berdiri di belakang. Menyipitkan matanya, kaget sebentar. "Akmal, Zakky?" tanya Heni. Aku dan Zakky datang menghampiri. "Syukurlah lu selamat." Kataku. Zakky melihatku tidak percaya. Sejak kapan ia peduli sama perempuan. Baru kali ini ia mendengarnya. "Beruntung gua sama keluarga selamat saat kejadian itu. Ada pengumuman mendadak plus darurat. Jadi saat itu gua lagi kumpul sama keluarga mau gak mau ikut ngungsi. Dan ya ginilah sekarang. Gua berada tepat didalam bumi. Fenrir."

"Lu tau fenrir darimana?" selidikku. Ini yang membuatku penasaran sama gadissatu ini. Bukan yang lain, apalagi yang tengah Zakky pikirkan saat ini. Aku tahu ia mulai curiga.

Heni tidak menjawab. Ada jeda berberapa menit. Aku memperhatikan seksama, wajah Heni berubah sedikit aneh. Ada keraguan tercermin di wajahnya. Hendak menyampaikan sesuatu. "Sebaiknya kita bahas yang lain aja." Katanya menutupi. Aku sudah tahu ia akan menjawab demikian. Yang jelas ia menemui Heni dan mengangkatnya menjadi God Eater karena suatu alasan yang membuat Heni enggan mengatakan padaku. "Kalau begitu, bagaimana kalau jalan-jalan. Ha?" kata Zakky menghentikan keheningan. Syukurlah ni anak paham maksud gua, hadeh. Batinku, menatap Zakky.

Zakky mengedipkan mata kirinya. Mungkin maksudnya dasar payah lu, ketemu gadislangsung ngomong intinya, paham situasi dulu lah. Dasar. Untung gua peka. Huh! Aku hendak membalas pesan batinnya itu. Tapi,

"Boleh. Mau ke mana?" Jawab Heni. "Baiklah sudah diputuskan. Untuk merayakan pertemuan kita kembali. Kita jalan-jalan dan makan-makan ok? Ehh btw peso lu berapa Mal? lu kan yang neraktir sekarang." Kata Zakky.

Sialan. Batinku. Aku hanya menghembuskan napas. "Ok. Gua yang bayar. Sekalian yang mahal." Aku mendekati Zakky, membisikkan ke telinganya. "Padahal peso lu juga banyak woi." Zakky mengerti maksud ucapanku. Berpura-pura tidak tahu. Nyengir aneh malahan. "Lu mau makan?" tanyaku pada Heni. Heni gugup seperti biasa. pertama kali ketemu juga demikian. Di bawah rintikan hujan bertahap dalam motor ninjaku saat hendak ke sekolah.

"Mau." Jawabnya singkat. "Yosh berangkat!" kejut Zakky.

Tempat pertama yang kami tuju ialah Taman kota. Berada di tengah kota. Di tengah tama nada air sungai yang mengalir. Tumbuh-tumbuhan tindang. Bangku taman melayang. Air mancur yang membentuk irama seperti menari. Banyak anak-anak yang datang kemari juga dengan orang tuanya. Tidak ada penjual. Yang ada hanya robot berbentuk lemari es. Bergerak. Jika ada yang ingin membelinya tinggal menunjukkan jam tangan untuk scan dan bisa bayar tunai. Kami coba membeli permen kapas warna pink dan biru. Masih sama saat dulu aku kecil. Kami duduk di bangku taman. Menyaksikan langit yang dihiasi puluhan gumpalan awan putih, bercanda tawa, menghirup udara segar. Mengusir burung dara yang hinggap di area air mancur. Wussh lantas burung itu terbang berhamburan. Indah sekali melihatnya. Sekali lagi Zakky mengajakku. Aku menolak. Heni ia ajak, awalnya juga nggak mau. Tapi melihat wajah berharapnya Zakky ia menuruti.

"Dalam hitungan ketiga ya."

Heni mengangguk. "Satu." Zakky datang dari arah kanan. "dua." Heni datang dari arah kiri. Mereka hendak menyergapnya. "tiga!!" wusssh. Puluhan burung dara terbang bersamaan. Menghiasi langit kala memandang ke atas. Heni dan Zakky tertawa. Melihat apa yang ingin mereka lihat. Ternyata seru. "Suka nggak?" tanya Zakky. "Suka banget." Jawab Heni tersenyum. Masih melihat ke arah burung-burung itu terbang. Orang-orang disekitar juga melihat apa yang dilakukan kedua remaja tersebut.

Mereka juga tersenyum. Tentu saja aku juga tingkah mereka. Entah kenapa aku lebih sering melihat tingkah Heni. Melihatnya tersenyum, bergerak ke sana sini, jas yang ia kenakan juga terlihat cocok dipakainya. Astaga, apa yang aku pikirkan saat ini. Sadar Mal!! Sadar! Batinku memberontak. Aku tidak bisa melawan keinginanku sendiri. Aku tidak pernah disentuh sensasi seperti ini. Gugup dan berdetak kencang.

Zakky dan Heni masih sibuk dengan main permainan anak-anak yang mereka lihat. Bersama di kumpulan anak kecil area itu. Begitu menggmaskan melihat anak-anak ini

Aku menekan jam tanganku. Mencari sesuatu. Tempat makan adalah tujuan kami selanjutnya. Ketemu. Jaraknya tidak jauh dari taman kota. Aku melihat nominal peso yang kupunya. Serasa sultan, punya peso yang kalau di ucapkan satu persatu angkanya dalam kata-kata akan menjadi sebuah pidato panjang berdurasi tujuh menit minimal. Banyak banget.

"Hei!! Udah waktunya. Mau makan nggak?" teriakku.

Zakky dan Heni berhenti bermain jungkat-jungkit. Sadar kalau sudah selesai waktunya. Kembali menghampiriku.

��Brangkat." Kata Zakky. Kembali mengenakan jas yang ia lepas. Aku membuang stik sisa makan gula kapas. Heni sedikit basah pada jasnya akibat main air.

"Sekitar dua ratus meter dari sini. Jalan kaki nggak papa kan?" tanyaku. Zakky menoleh. "Nggak masalah kok, santai. Lagian kesini tadi juga jalan kaki." "Lu nggak papa Hen?" "Nggak papa." Jawabnya lagi-lagi singkat. "Yosh anak-anak sampai jumpa lagi ya. Jangan nakal dan selalu dengerin nasihat ibu, ia selalu benar. Ok, tos dulu dong." Zakky menjulurkan tangannya. Sejak tadi ia juga bermain dengan anak-anak kecil, buat istana pasir, dorong ayunan, dan lain-lain. Mereka sekarang akrab dengan Zakky.

"Sampai ketemu lagi kak!!" jawab mereka kompak.

Zakky membalasnya tersenyum. "Sapa Kak Heni juga dong." Heni terkejut saat namanya disebut. "Sampai juga lagi dan lagi Kak Heni!!" Anak-anak kecil itu menunjukkan senyum termanis mereka. Astaga lucu sekali melihatnya. Aku melihatnya hanya bisa diam. "Hoi sapa juga tuh anak-anak. Lu diem bae sih." Sindir Zakky mendekatiku. "Apaan sih. Nggak perlu." Bantahku. Heni mengacak-acak rambut anak-anak itu sambil tersenyum.

Kami akhirnya pergi dari taman kota.

Butuh waktu tiga menit untuk sampai di tempat makan ini. Terletak di seberang kanan jalan dari arah selatan. Kami harus menyebrang jalan terlebih dahulu. Megah dan besar. Tidak ada kecacatan sedikitpu. Pelanggannya juga banyak. Restouran mutakhir. Batinku. masuk dan mengambil bangku. Isinya juga nggak kalah bagus. Tampang luar tidak menyembunyikan jati diri dalam.

Kalau hanya penampilan saja tidak cukup. Yang terpenting di sini itu rasa masakannya. Aku menoleh mencari sesuatu. Nggak ada pelayan. Aku coba tepuk tangan dua kali.

Hening. Tunggu dulu, biasanya kalau tepuk dua kali pelayan akan datang, tapi kok nggak datang ya. Aku ingin mengulanginya satu kali. Masih tidak ada. "Ini bukan seperti dulu kale Mal." Kata Zakky.

"Siapa tahu. Kalau nggak dicoba." Jawabku.

Kucoba sekali lagi. tetap nggak ada. Kali ini orang-orang melihat ke arahku. Sial. Batinku. tepukanku membuat risih ruangan. Hening. Aku memutar mataku. Pura-pura nggak punya salah. Ngapain juga salah, Cuma tepuk doang kok. "Tuh kan gua bilangin juga apa. Makan tuh malu." Ejek Zakky. "Siapa yang malu hih!!" aku ketus.

Heni hanya diam melihat pertengkaranku dengan Zakky.

Bodo amat. Terus gini cara buat mesen makanannya gimana coba. Hadeh… tunggu. Aku melihat orang di bangku samping. Menggeser sesuatu di meja dan muncul daftar menu makanan di layar hologram. Mampus gua, kenapa nggak dari tadi gua nyadar ya. Batinku tersiksa. Aku melihat bangku di depanku.

"Hei lihat nih. Gua udah tahu cara pesennya." Kataku sombong pada mereka berdua. Zakky dan Heni melihatku. Bertanya-tanya. "Mana?" Tanya Zakky. "Sabar, sabar. Nih lihat." Aku menggeser jariku menyentuh permukaan bangku. Clik! Layar hologram pun muncul. Yesss. Banggaku. "Gimana? Mau pesen apaan? Milih sesuka lu dah." Aku pun menggeser hologram itu ke Zakky. Zakky melihat dari atas hingga bawah. "Nggak kenal sama sekali nama makanannya nih gua. Kayaknya dari luar negeri semua, yang gua tahu Cuma pasta sama shushi doang." aku terkejut mendengar penjelasan Zakky. Ni orang kudet amat ya.

"Ohh sama noodle yang gua tahu." Gubrakk!!

"Itu semua orang juga tahu kale Zak. Dasar jiwa Misqueen lu. Gitu aja nggak tahu" Ejekku.

"Kurang ajar lu. Mentang-mentang orang kaya, tiap hari makannya gonta-ganti mulu." "Sorry-sorry Zak. Bercanda kok. " aku telah membuat marah Zakky. Seharusnya aku sudah tahu kondisi perekonomian Zakky kayak gimana. Menyebalkan.

"Sorry lah. Gua nggak bermaksud gitu. Gua yang milih dah makanan apa yang enak buat lu. Ok? Sebagai permintaan maaf." Aku menjulurkan tanganku. Zakky masih terlihat marah, tapi nggak tega sama sahabatnya sendiri. Sebetulnya Zakky sudah tahu sejak dulu ini resiko mental saat bergaul dengan anak berkecukupan.

Zakky memaafkanku.

"Lu mau makan apa Hen?" tanyaku pada Heni sedari tadi diam.

"Terserah apa yang lu pesan Mal. gua ngikut aja." Jawabnya. Baru kali ini namaku di panggil. Aku sedikit gugup.

Aku memutuskan memesan dua Lasagna dan satu Kimchi di tambah makanan penutup tiga pudding buah, tiga es buah. Belum sampai satu menit pesanan sudah datang.

Dua menit menyantap makanan. Habis. Aku ngerasa belum kenyang. "Kenyang nggak lu Zak?" tanyaku. "Belum." Jawabnya. "Lu hen? " Heni mengangguk. Entah kenapa gadismakannya dikit. Atau jangan-jangan hanya malu kalau pengen makan lagi. Entahlah gadismemang susah dimengerti. "Tambah dua ramen mau lu Zak?" "Laksanakan." Aku menekan tombol menu Ramen ukuran besar. Clik! Satu menit menunggu. Langsung datang makan.

Aku kenyang sekenyang kenyangnya. Memegangi perut yang kurasa membesar. Menghabiskan es buah jadilah tubuhku tidak bisa ku gerakkan. Kenyang.

"Nggak bisa gerak gua. Kenyang." Kataku. Zakky juga demikian. Bersandar dan mengatur napas. Ramen tadi kuahnya panas ditambah pedas. Auto ngosngosan. Pikirku.

Aku menggeser jari, muncul hologram. Melakukan pembayaran. Totalnya dua ratus peso. Tidak masalah uangku cukup. Ada notifikasi disuruh ke kasir untuk membayar. Dirasa bisa berjalan aku ke kasir, melihatkan jam tanganku ke scan. Selesai sudah. Mudah dan efisien.

Pukul lima sore kami pulang bersama. Heni berada di perumahan blok B. sedangkan aku dan Zakky juga berada di blok A. Baru sadar kalau Zakky juga blok A. Sampai dirumah aku langsung ke kamarku. Mandi, kemudia istirahat. Hari ini begitu menguras tenaga. Melihat langit-langit kamar, ber-imaginasi seandianya...

Astaga. Apa yang kupikirkan saat ini. Buru-buru aku menghapus pikiran aneh itu dari dalam otakku. Aku tidak mau otak cerdasku ini tercemari polusi yang tidak penting. Buat apa aku mikirin itu. Tingkahku aneh hari ini. Apa karena…. Ahhh sudah lah malah mikirin lagi kan jadinya. Samakin aku berpikir, semakin aku terjerumus dalam pikiran itu. Sebaiknya aku lekas menutup mata. Melihat kegelapan menyeruak di penglihatan. Biarlah. Asal jangan hal itu lagi.

Aku akhirnya terlelap tidur. Dengan pergelangan menutupi mataku.

Hari ini aku tampak begitu aneh sekaligus menyebalkan.

***

"Mal!! bangun!!" terdengar suara Mama memanggil. Menggedor-gedor pintu tidak sabar. Aku meringik tidak karuan, tubuhku masil pegal-pegal. Jadinya malas bangun. Aku tutupi tubuhku dengan selimut. Kembali tidur.

"Akmal!! Bangun udah Sore Mal!!" teriak Mama lagi. Aku tidak menghiraukannya. Kebiasaan Mama ketika aku telat bangun pasti kayak gini nih ceritanya. Mandi air hangat kemarin malam memang yang terbaik untuk membuatku kena marah Mama, tidur nyenyak di kasur dan enggan bangun. "Mama hitung sampai tiga ya."

Perkataan Mama membuatku memperhatikan perkataannya. Waspada. Ahh paling hanya menggertak nggak bakal bagunin lagi. Batinku. Aku kembali memejamkan mata lagi. "Mama nggak akan masakin kamu lagi kalau hitungan ke tiga kamu nggak keluar." Teriak mama menggedor-gedor.

Aku tertengang. Langsung membuka mata. Ini gawat!! Mama mengeluarkan jurus andalannya. Perkataan Mama seakan-akan menjadi bom atom Hiroshima Nagasaki. Begitu mematikan kalau terkena hal itu. Jurus andalan Mama satu ini nggak boleh dilanggar. Bayangin aja kalau lu nggak dimasakin orang tua lu. Mau makan apa seharian lu? Beli? Bisa tapi nggak senikmat masakan orang tua. Terlebih lagi masakan nyokap no dua setelah sains bagiku.

"Satu!" hitung Mama.

Aku beranjak daari kasur. Ke kamar mandi. Cuci muka secepat mungkin.

"Dua!!"

Semoga masih sempat!! Batinku melangkah membuka pintu kamar. Kuncinya mana? Tanyaku. Pintu itu nggak ada kuncinya. Aku segera mengkocar kacir kamarku saking paniknya pada hitungan ketiga.

"Mal!! Mama nggak main-main." Mama berancang-ancang menghitung yang terakhir, ssedangkan aku masih sibuk mngobrak abrik kasur, lemari, meja. Kuncinya masih belum ketemu.

Aku teringat sesuatu.

Pintunya kan nggak pake kunci. Tinggal tekan bagian gagang terbuka sudah. Aduhhhh.. bodohnya aku. Batinku. Yah, pagi ini aku mendadak amnesia. "Akmal siap Ma." Kataku membuka pintu. Mama berdiri didepanku. Memakai clemek putih berbekas noda, rambutnya dikuncir satu dan sedang memegang sendok sayur. "Nah. Baru bangun. Memang harus diobrak rupanya." Kata Mama. "Kecapekkan Ma. Mau gimana lagi, Akmal susah dibangunin kalau udah gitu."

"Yah tapi kan nggak tidur seharian juka kali Mal." "Siapa juga yang tidur seharian." Kataku polor. Melangkah mengikuti Mama ke dapur. "Tuh." Tunjuk Mama. Aku berhenti berkata-kata. "Jam tiga!!!" kataku kaget bukan kepalang. "Masih mau ngelak nggak tidur seharian?" kata Mama mengaduk panic berisi sayur sop. "Lah. Kirain Mama bagnunin Akmal buat sarapan Pagi. Lah kok sore." Tanyaku panik. Mama hanya mengangkat bahu tidak mau tahu. "Mama pagi tadi keluar sama Papa. Kamu belum keluar dari kamar sama sekali. Mama pikir kamu bangun sebentar lagi, jadi Mama siapin sarapan dimeja makan. Ehh kabar buruknya, Makanan di bawah dari pagi tadi nggak tersentuh sama sekali. Kalau kamu nggak bangun apalagi yang buat makanan di sini dingin nggak tersentuh. Kamu sih nggak bangun." Mama ngomel sambil mengiris bawang putih, marah.

"Kabar baiknya. Papa sekarang bekerja di salah satu perusahaan tekstil pakaian. Syukurlah masih bisa kerja." Lanjut Mama.

Aku ingin sekali bilang ke Mama soal uang yang kupunya pemberian dari Iqbal. Hidup di sini Papa nggak perlu repot-repot kerja. Tapi niat itu aku urungkan. Biar bagaimanapun orang tua tidak tinggal diam berpangku tangan pada anaknya tanpa melakukan apapun. Toh menjadi God Eater juga digaji. Walaupun resikonya besar.

Aku hanya mengangguk mendengar kabar baik dari Mama. Mengambil piring, menuangkan nasi, mengambil dua telur mata sapi, ayam goreng, dan sate kambing. Kali ini aku lapar sekali. Ingin menyantap makanan. Mungkin sebaiknya aku merahasiakannya, kalau tidak, bisa masalah nih. Dua hari lagi. Batinku. Menyendok nasi telur ke dalam mulutku.

"Ma." Kataku. Mama menoleh, "Ya?" "Mama tahu God Eater?" tanyaku. "God E-Ter? Itu nama merek baju bukan sih?" aku tersendat nasi. Batuk-batuk. Wait-wait. Sejak kapan ada baju merek God Eater. Pemakan tuhan. Kan konyol. Batinku. Aku minum segelas air, "Bukan Ma. Jadi Mama nggak tahu?" "Ya. Enggak lah kan kamu nggak beritahu. Jadi Mama nggak tahu." Jawab Mama enteng. Benar juga sih. Syukur Mam nggak tahu. Batinku.

Aku tertawa pelan. "Kenapa ketawa Mal?" tanya Mama padaku. "Oh nggak Ma. Bukan apa-apa kok. Hehe." Kataku.

Sebaiknya aku tidak memberitahu Mama dan Papa. Mungkin suatu saat. Batinku, kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutku.