Chereads / Prince Charming Vs Gula Jawa / Chapter 31 - Part 30 - Mencari Kanya

Chapter 31 - Part 30 - Mencari Kanya

NAREN

Aku berjalan melewati lorong kamar-kamar hotel. Menekan tombol lift menuju ballroom. Malam ini, peresmian nama baru hotel yang sudah diakuisisi oleh perusahaan Papa berlangsung. Aku tidak mau berlama-lama lagi.  Semakin cepat acara ini selesai, itu semakin baik.

Sesampainya di ballroom, aku langsung menuju nomor mejaku. Di sana sudah ada Arsen, Papa dan juga... Aku berdecak sebal. Kenapa Mama juga ada di sini? Ini hanya peresmian nama baru, bukan acara besar. Dan setelah melihat ternyata ada Nadine juga yang duduk di meja yang sama dengan mereka, firasatku mengatakan ini akan menjadi hal yang buruk.

Aku mengambil duduk di sebelah Arsen bertepatan dengan di panggilnya Papa ke podium, guna menyampaikan sepatah dua patah kata. Aku tidak terlalu peduli lelaki tua itu akan berbicara apa.

"Arsen, apa lo udah nemuin Kanya?" tanyaku.

"Nope. Dia sama sekali tidak memberitahuku tempat tinggal barunya."

"Bahkan sekarang dia memblokir nomorku."

"Serius, Kak?"

Aku mengangguk. Itu yang membuat hari-hariku semakin gusar. Aku dibuat pusing oleh wanita satu itu. Sekarang entah di mana keberadaannya.

"Apa lo beneran  nggak tertarik dengan wanita di sebelah Mama?" tanya Arsen. Matanya berkilat memandang ke arah Nadine. Aku jengah dengan mata nakal adikku kalau sudah melihat wanita cantik.

Dia memang sudah lama tidak memiliki pacar, tapi bukan berarti dia tidak memiliki pasangan. Ah, rumit jika harus membicarakan playboy seperti dia.

"Dia seusia gue. Emang lo mau sama yang lebih tua?"

"Nggak masalah, asal dia bukan milik lo."

Aku menggeleng. "Nggak buat pasangan ONS lo. Dan asal lo tau, dia calon mantu idaman bokap."

Arsen mengerjap takjub. "Beneran?"

"Jadi, pikir dulu sebelum lo main-main dengannya. Satu lagi, dia sahabat gue. Jadi kalo lo punya rencana busuk, gue nggak segen-segen ngasih tau dia."

Arsen memberengut. "Lo sodara yang nggak bisa diajak kerjasama."

Aku tersenyum miring menanggapinya."Kerjasama nyakitin cewek itu nggak ngehasilin duit, Bro."

"Tau deh, yang udah sukses tanpa embel-embel Papa."

"Tenang, lo bakal menyusul."

"Pumpung gue di sini,  apa gue mampir ke hotel lo di sana aja ya?"

"Boleh, nanti kita ke sana. Sekalian gue mau ninjau."

Pikiranku kembali melayang pada Kanya. Jika memang dia sedang liburan bersama Kenan, itu artinya dia berada di Kota Batu. Bukankah waktu itu Kenan bilang mereka akan liburan ke salah satu villa di Kota Batu?

Seakan memiliki titik terang, aku segera menghubungi seseorang yang aku kenal di Kota Batu.

"Halo Jek." Jeki salah satu orang kepercayaanku yang berada di kota itu.

"Ya, Pak."

"Saya minta tolong. Cari info di villa-villa yang berada di Batu. Apa ada pengunjung yang bernama Kanya atau Kenan, menginap di salah satu villa itu."

"Tepatnya villa apa, Pak. Soalnya di sini banyak terdapat villa."

"Kalo saya tau, saya nggak bakal minta tolong sama kamu!"

"Ma-af, Pak."

"Itu saja. Dan saya tunggu kabar kamu secepatnya."

"Baik, Pak."

Kanya tidak ada di Jakarta, aku yakin dia masih di sini. Belum kemana-mana. Sekarang entah kenapa, aku sangat yakin kalau Kanya ada bersama Kenan. Berengsek laki-laki itu!

Aku mengepalkan tangan geram jika membayangkan kebersamaan mereka. Tanpa sadar rahangku mengetat. Membuat Arsen di sampingku mengalihkan perhatiannya padaku.

"Kenapa, Kak?" tanyanya.

"Kapan acara potong pitanya?"

"Sebentar lagi, Kak."

Aku merasakan sebuah tangan menempel di pundak, seseorang dengan lembut mengusap bahuku. Aku menoleh dan menemukan Mama sudah berada di sebelahku.

"Kamu nggak kangen Mama? Sudah cepat-cepat ingin acara ini berakhir."

"Tentu aku kangen, Ma."

Kupeluk wanita cantik yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Jika Papa tidak menyetujui aku kembali pada Kanya, mungkin Mama akan setuju.

"Gimana kabarmu, Nak? Kamu betah di sini rupanya," tanya Mama saat pelukan kami terurai.

"Aku baik, Ma. Mama juga sehat kan? Maaf Ma, aku belum bisa pulang ke Jakarta."

"Mama harap secepatnya, dan bawa calon istrimu itu." Mama bicara dengan dagu yang menunjuk ke arah Nadine. Keningku berkerut, maksud Mama apa?

"Ma, Nadine itu bukan calon istri aku."

Mama menaikkan alis, seolah tidak percaya dengan perkataanku. "Nggak perlu ragu, Mama selalu support kamu."

Aku memejamkan mata gemas. Menggeleng karena pusing tidak tahu harus menjelaskan dengan cara seperti apa lagi.

"Dia wanita yang baik, cantik. Mama sangat berharap kalian bisa cepat menikah. Ingat umur Naren."

Aku menghirup napas dalam lalu menghembuskannya, sebelum kembali menatap Mama. Aku genggam  dan menepuk tangannya pelan.

"Ma, aku pasti akan menikah. Mama tenang aja. Tapi bukan dengan Nadine."

Mama memicing, tidak mengerti maksudku. Iya,  Mama memang belum aku kasih tahu perihal Kanya.

"Aku hanya akan menikah jika itu dengan Kanya."

Aku bisa melihat keterkejutan di wajah Mama. Mungkin Mama tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Meskipun pelan dan hati-hati, aku serius dengan semua ucapanku.

"Ka-Kanya?"

Aku mengangguk.

"Bukannya kalian sudah lama putus? Dan Nadine? Mama pikir kalian... "

Mama tidak melanjutkan ucapannya saat melihatku menggeleng.

"Kalo memang Mama men-support keputusanku. Tolong Mama berhenti berharap pada Nadine. Naren nggak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali wanita itu adalah Kanya."

Mama mengangguk ragu, aku bisa melihat raut kecewa di wajah cantiknya.

"Lalu, di mana Kanya? Mama ingin bertemu."

Seandainya dia tidak menjauh dariku. Sudah pasti sekarang dia di sini bersamaku.

"Nanti, Mama akan bertemu dengannya di waktu yang tepat."

Mama mengangguk paham. "Mama hanya bisa berdoa yang terbaik buatmu, Naren."

Aku sedikit punya kekuatan saat Mama berkata begitu. Setidaknya wanita yang sangat aku hormati ini tidak memaksakan kehendaknya seperti Papa.

Tepuk tangan riuh terdengar bertepatan dengan tangan Mama yang meraih kepalaku dan mendaratkan kecupannya di sana. Setelah itu kami menoleh ke pusat perhatian. Papa sudah selesai berpidato singkat. Dan itu berarti saatnya aku, Mama, dan Arsen menemaninya ke depan untuk memotong pita.

***

"Arsen malam ini kita ke Batu," kataku melempar jas begitu saja di atas sofa.

"Kenapa harus malam-malam sih? Besok kan bisa," gerutu Arsen.

Aku lebih tidak ingin berlama-lama menghadapi tuan besar Damian. Saat makan malam tadi, Papa masih saja mendorongku untuk segera meresmikan hubungan dengan Nadine.

"Lebih cepat selesai urusan gue, lebih baik. Dan lo tau kan apa resikonya?"

Arsen terlihat kesal saat aku mengingatkan soal ancamanku. Bukannya aku ingin menunjukkan kesuperioran seorang anak pertama, hanya saja, Arsen perlu tahu bahwa ucapanku bukanlah isapan jempol semata.

Tanpa banyak tanya lagi, Arsen mengemasi beberapa helai pakaiannya. Aku tersenyum puas, meskipun di luar agak sedikit bandel, dia masih menurut padaku. Yah walaupun harus dengan sedikit gertakan.