KANYA
Aku tidak berniat mematahkan hati gadis-gadis pejuang prince charming di kampus ini. Sungguh ini di luar kuasaku. Mereka bilang aku menjadi gadis paling beruntung. Aku akan memutar bola mata tiap kali dengar kata-kata itu.
Sungguh siapa yang tidak kenal prince charming? Dia menjadi salah satu laki-laki pujaan para gadis di seantero kampus. Harapan para jomblowati. Meskipun sekarang harapan itu pupus saat gosip prince charming sudah menemukan tambatan hatinya tersebar.
Aku bergidik mendengarnya. Sebenarnya julukan prince charming itu mereka yang menyebutnya. Aku lebih suka menyebut laki-laki itu sebagai si tuan posesif. Baiklah, mungkin mereka harus mencoba dulu menjalin hubungan emosional dengannya. Aku bukan tanpa alasan menyebutnya si tuan posesif.
Tatapan mendamba itu masih bisa aku lihat manakala aku berjalan berdampingan dengannya. Ya ampun, padahal ada aku di sisinya pun mereka masih saja genit menggoda. Seperti sekarang. Aku jengah melihat pemandangan yang nyaris sama setiap harinya.
"Hay... Naren... Makin ganteng ajah!"
Bising.
"Naren, kapan putusnya nih?"
Yang ini kurang ajar.
"Naren..., ngarep nih jadi yang kedua."
Aku mendelik mendengar itu. Dan yang membuat aku semakin sebal. Si tuan yang jadi objek masih setia menebar senyum mautnya. Menyebalkan!
"Kamu lihat? Pamorku nggak sedikit pun berkurang walaupun mereka tau aku sudah punya kekasih."
Kurasa aku melupakan satu hal. Selain tuan posesif , dia juga bisa disebut si tuan narsis . Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa menerima orang sepertinya jadi kekasih? Mungkin dulu kepalaku terbentur benda keras. Disorientasi. Itu penjelasan yang masuk akal.
"Mending kamu diam aja dari pada semakin membuat perutku mual."
Naren tergelak. Seolah perkataanku tadi lucu. "Sehari aja kamu nggak pasang muka jutekmu itu pasti kamu akan terlihat sangat manis, Sayang."
Aku memutar bola mata. Naren akan bersikap sangat manis padaku saat kami hanya berdua saja. Tapi jika salah seorang dari temanku datang, ia akan pasang kuda-kudanya. Aku akan malas berdebat menghadapi sikapnya yang seperti itu setelahnya.
"Ya ampunnn... Kanya! Bagaimana aku nggak khawatir? Teman-teman kamu hampir laki-laki semua! Atau kamu memang sengaja menyembunyikan hubungan kita agar mereka nggak tau kalo kamu udah ada yang punya? Biar mereka bebas seenaknya menggodamu begitu?"
Lihat, apa yang ia katakan seolah sedang memutarbalikan fakta. Aku tidak pernah digoda siapa pun. Dan teman-temanku, ya aku akui memang 90 persen laki-laki, mereka tidak hobi menggodaku seperti yang para gadis itu lakukan padanya.
Aku lelah dengan segala macam tuduhannya. Dulu, hubungan ini sengaja aku sembunyikan tidak lebih hanya karena aku tidak mau dimusuhi para gadis penggemar setianya. Bicara soal khawatir, harusnya aku yang lebih khawatir. Naren dikelilingi gadis-gadis cantik yang setiap saat siap menjadi gandengannya. Bahkan mereka terang-terangan menggodanya di depan mataku. Dan saat aku mempermasalahkan itu, ia akan berdalih.
"Semenarik apapun mereka aku nggak bakal tergoda, karena aku cintanya sama kamu."
Baiklah aku tidak terlalu peduli. Sikap posesifnya selama ini menunjukkan itu. Dan jujur, semakin lama membuatku merasa, terpaksa harus aku katakan, tak nyaman.
Naren mulai merecoki pertemananku. Astaga! Kemanapun aku beranjak, dia akan selalu mengekoriku. Bahkan jadwal harianku, dia harus tahu. Biarpun cepat berbaikan kembali, tapi setiap hari kami selalu berdebat. Dan yang menjadi sumber masalah adalah kecemburuan Naren pada teman-temanku. Ya ampun, aku tidak semenarik itu untuk dicemburui. Sulit dipercaya.
Perlu diketahui, banyak yang menyayangkan Naren akhirnya memutuskan mencintaiku. Mungkin aku salah, perkara jatuh cinta tidak serta merta asal tunjuk dan putuskan. Tapi aku juga tidak mau dipersalahkan saat Naren bilang cinta padaku. Sungguh, aku tidak melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Aku tidak punya kemampuan untuk itu. Waktuku terlalu banyak kuhabiskan di workshop dan wall climbing daripada di salon kecantikan. Untuk apa aku tebar pesona pada si tuan posesif itu? Dan wajahku yang pas-pasan ini akan terlihat bodoh kalau bersikap sok genit seperti mereka.
Wajah pas-pasan? Aku butuh meyakinkan diri berulang kali saat Naren bilang ingin jadi kekasihku, itu beberapa tahun yang lalu. Mungkin dia manusia tampan yang punya masalah pada penglihatannya. Jelas-jelas yang ngejar-ngejar dia cantik-cantik luar biasa. Tapi dia malah jatuh cinta pada si itik buruk rupa ini. Baiklah, aku berlebihan. Aku tidak seburuk itu.
Aku memang tidak secantik Alisya, gadis paling populer di kampusku, dia anak bisnis satu tingkat dengan Naren. Setiap gadis pasti mendamba ingin memiliki tubuh dan paras seperti dia. Alisya salah satu gadis yang gencar menarik perhatian Naren. Dan dengan bodohnya Naren malah menjatuhkan dirinya padaku dari pada menyongsong gadis itu.
Jika dibandingkan denganku, Alisya cantiknya sudah level gunung uhud. Tubuh tinggi semampai bak model dan nilai plusnya, dia memiliki beberapa tonjolan di bagian titik yang pas. Kulitnya putih bersih dan terlihat begitu licin serupa porselen dari dinasty Ming. Wajah ala-ala artis dari negeri gingseng.
Sedang aku??? Aku memang tinggi. Dan mungkin akan terlihat menarik jika saja aku memiliki beberapa cadangan lemak untuk menyumpal bagian dada, pinggul dan bokong, hingga menyerupai tusukan sate yang seksi. Ampuni aku Tuhan, yang tidak tahu syukur ini.
Jika Alisya memiliki kulit laksana porselen dari dinasty Ming, kulitku lebih mirip tembikar dari dinasty Ming yang lupa diangkat dari perapian. Mengenaskan.
Untungnya wajahku tidak jelek-jelek amat. Meskipun aku tidak mewarisi gen kecantikan mama.
Sebenarnya aku tidak suka, tapi orang menyebutku si gula jawa. Kamu taukan gula jawa? Rasanya memang manis tapi warnanya? Ya seperti itulah. Dan si prince charming jatuh cinta pada gula jawa itu.
***
Aku sedang memasang hardness saat Kenan, ketua klub wall clambing mendekatiku. Hari ini ada latihan rutin di sore hari selepas jam kuliah. Aku bisa bernapas lega karena Naren ada janji dengan dosen. Dia akan segera menyelesaikan skripsinya. Jadi dia tidak akan menungguiku seperti biasanya.
"Kanya, tumben kamu sendiri saja?" tanya Kenan. Pemandangan yang luar biasa bukan? Satpamku tidak ada. Anak-anak di belakang sudah dari tadi menjadikanku bahan olokan keseruan meraka. Sial.
"Hari ini tuh hari kebebasan Kanya, Ken. Patut dirayakan!" Odi tertawa. Anak itu mulutnya minta disumpal.
"Diem lo! Sini lawan gue naik ke atas. Puas banget dari tadi ngetawain gue!" teriakku kesal.
"Lagian gue heran deh. Cewek kayak lo aja sampe segitunya dia jaga. Takut banget ada yang gondol."
"Kayak gue, maksud lo apa?" Aku melotot. Sembarangan aja tuh anak kalau ngomong.
"Sudah, sudah. Lanjutkan latihan kalian." Kenan menengahi. Aku sudah siap dan lengkap dengan safety procedure-ku. Semoga latihan kali ini menyenangkan. Aku bebas berekspresi tanpa pengawasan Naren.
Setelah latihan selesai, kami beristirahat. Bergerombol membentuk lingkaran. Rasanya sudah lama sekali tidak seperti ini. Bercerita dan tertawa dengan mereka. Jika waktunya break, biasanya Naren akan menghampiriku lalu mengajakku duduk terpisah dari teman-teman. Itu sangat menyebalkan.
"Kanya kita sudah kembali, sore ini dia nggak bawa satpamnya."
Lalu tawa pun menyusul. Marah pun percuma, itu hanya akan menambah kesenangan mereka untuk terus memperolokku.
"Bukannya mau ikut campur, Kan. Tapi lebih baik kalo latihan, kamu biarkan saja Naren pulang. Mungkin saja kan dia bete nungguin kamu," ujar Kenan kalem. Hanya Kenan, seniorku di DKV, yang pembawaannya paling tenang di antara teman-teman klubku.
Aku mendesah. Kenan bicara seolah aku yang meminta Naren menungguiku latihan. Kalau bisa aku mengusir Naren, mungkin aku sudah melakukannya sejak dia pertama kali meminta ikut ke tempat latihan.
"Dia orang paling keras kepala yang aku kenal, Ken. Kalo saja aku bisa, aku akan mengusirnya." Aku tertawa lebih menutupi rasa maluku.
Bukan hanya aku yang tidak nyaman. Aku yakin semua temanku juga sama. Apalagi saat Naren meminta nomornya dimasukkan ke grup whatsapp klub. Jika bukan karena Kenan, mungkin aku sudah lama di kick dari sana. Hufft.
"Kamu sangat menyayanginya ya?"
Aku menoleh saat Kenan tiba-tiba bertanya sesuatu yang menurutku agak sedikit aneh.
Tatapan kami beradu. Aku belum menjawab saat dia berkata kembali.
"Kalo kamu butuh tempat pengalihan datang saja padaku kapan pun kamu mau, aku siap. Aku selalu menunggu saat itu."
Kali ini mataku mengerjap. Mencoba mencerna apa yang barusan dia katakan. Aku belum sepenuhnya mengerti saat dia tiba-tiba tertawa lalu mengacak-acak rambutku dengan gemas.
"Lupakan," katanya kemudian mengalihkan perhatian ke anak-anak lain.
Itu tadi apa? Pengalihan? Menunggu? Aku yakin saat mengucapkannya, Kenan sedang tidak dalam mode bercanda. Aku masih terbengong di tempatku.