Aya menemukan Ayahnya sedang menikmati acara malam televisi di rumahnya. Heran saja, Ayah Aya tidak pernah menghabiskan lebih dari setengah hari dirumahnya, entah itu untuk tidur di malam hari atau kunjungan pagi seperti pagi tadi.
"Ngapain masih berdiri disitu Ya? Cepet masuk, mandi."
"Siap pak Gun." Aya berlari kedalam kamarnya sebelum terkena omelan Ayahnya. Sudah berapa lama Aya tidak mengejek nama ayahnya seperti itu? Sudah sangat lama tentunya.
Sampai-sampai ayahnya lupa bahwa mempunyai seorang anak perawan yang sudah berumur matang untuk dinikahkan. Tapi entah mengapa Ayah Aya tidak pernah memaksa Aya untuk segera menikah.
Tentu dengan mimpi kematian yang Aya tanggung menjadi salah satu penyebab Gunawan memberi Aya sedikit kebebasan pada anaknya, untuk menentukan sendiri pilihannya.
Kecuali pada Tian. Teman Aya sedari kecil yang mulai meresahkan hati sang ayah. Sesekali Gunawan memang memaksa Tian untuk segera melamar putrinya, namun Gunawan juga tahu masalah sebenarnya adalah pada putrinya sendiri.
Lihatlah sekarang, anak semata wayangnya selalu sibuk dengan buku gambar atau dengan kertas kerjanya dengan rambut basah yang masih digulung dengan handuk. Bukannya sibuk berkencan untuk melupakan mimpi sialan yang selalu mengganggunya.
Aya membalik badannya hendak mengambil air minum di dapur dan melihat Ayahnya berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ayah tumben betah disini?"
"Jadi penjaga kamu, biar Tian gak berani kesini." Aya terkikik geli.
"Tumben tuh anak gak ikut kesini." Ucap Gunawan mengikuti langkah anaknya ke dapur.
"Tian itu berani kesini kok walaupun udah pernah kena tonjokan ayah. Kalau sekarang dia lagi buru-buru ke Kanada, biasa, masalah kantor."
"Kanada?! Kamu gak ikut Tian? Disana banyak cewek cantik loh. Nanti kalau Tian kecantol kamu ditinggalin gimana?" Aya menyemburkan sebagian air yang hampir masuk ke tenggorokannya, dengan cepat Gunawan membantu Aya mengelap meja yang terkena semburan.
"Apasih Yah. Katanya suruh jaga batasan, kok malah minta Aya buat ngintilin Tian?" Terdengar helaan nafas dari Ayah Aya.
"Ayah cuma khawatir Ya. Tian adalah calon menantu paling bernilai tinggi dimata Ayah." Aya mendelik, ucapan Ayahnya saat ini sangat berlawanan dengan sikap yang selalu ayahnya tunjukan pada Tian.
"Selain karena dia tahu mimpi kamu dan masih jadi temanmu sampai saat ini. Alasan terkuatnya adalah karena Tian tidak pernah mendapakan mimpi dari kamu. Tian satu-satunya orang yang memiliki rentang waktu paling lama, yang bisa bertahan disamping mu."
"Maksud Ayah gimana sih? Ayah juga kan gak pernah dapet mimpi dari aku." Ujar Aya mulai kebingungan saat ayahnya menggelengkan kepala.
"Ayah cuma ingin lihat kamu hidup bahagia." Aya tersenyum lembut, Aya bersyukur ayahnya tidak meninggalkannya dan selalu berada disampingnya.
"Aku bahagia kok Yah. Cukup aku sama ayah aja cukup. Gak perlu orang lain lagi."
"Kamu perlu Ya. Ayah gak bisa selalu ada disampingmu." Ada nada kesedihan didalam suara Gunawan.
"Makanya Ayah jangan keliling dunia terus, sini aja sama aku." Aya meraih kedua tangan Ayahnya. Gunawan meneteskan air matanya.
"Kamu perlu orang lain. Ayah.."
"Ayah kenapa? Ayah sakit keras?" Tanya Aya mulai khawatir, karena Ayahnya mulai menunjukan kesedihan yang sangat dalam.
"Bukan Ya. Ayah.." Gunawan masih merasa ragu, melihat tatapan anaknya yang menunggu jawabannya. Takut, jika jawabannya akan membuat anaknya tersakiti.
"Aya kenapa?" Desak Aya.
Gunawan menarik nafasnya dalam-dalam, bersiap memberitahu kebenaran yang sebenarnya pada anaknya.
"Ayah tidak lagi memiliki wujud yang utuh." Aya terbengong, apa ini sebuah gurauan? Jelas-jelas Aya sedang memegang kedua tangan Ayahnya.
"AAAAA!"
Aya memekik dengan sangat keras saat melihat tangan Ayahnya yang terlihat semu.
"Kamu siapa?! Kamu bukan Ayah?! Balikin ayah aku." Histeris Aya melihat Ayahnya tembus pandang. Aya bisa melihat semua objek yang ada di balik Ayahnya.
"Maafin Ayah Ya."
"Kamu bukan Ayahku!" Aya menutup kedua telinganya sambil meringkuk dibawah meja makan.
"Ini benar Ayah nak. Percaya sama Ayah."
Jantung Aya hampir berhenti berdetak melihat wajah Ayahnya berada tepat disampingnya, hanya wajah dan kedua bola mata Ayahnya memiliki warna yang berbeda. Yang satu hitam seluruhnya, yang satu berwarna merah.
"AAAA!" pekik Aya sekali lagi.
"Pergi! Pergi! Pergi!" Seluruh tubuh Aya bergetar hebat. Kedua tangannya memeluk kedua kakinya, buliran air mata sudah tidak terbendung lagi.
Gunawan tidak menyangka bahwa dirinya akan menakuti Aya seperti ini. Gunawan menjauhkan dirinya dan beralih duduk di salah satu kursi.
Aya melihat satu buah kursi yang ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Bagaimana mungkin seseorang tidak ketakutan, saat seseorang mengatakan bahwa dia bukanlah manusia? Bahkan menunjukkan keanehan itu?
Itu yang Aya tangkap saat ini. Bahwa ayahnya bukan manusia.
"Maafkan ayah karena menakutimu seperti itu."
"Pergi!"
"Tolong biarkan ayah mengatakan yang sebenarnya Ya. Kamu cukup dengarkan saja."
Gunawan terdiam sejenak, tidak ada perlawanan dari anaknya.
"Jadi yang terjadi sebenarnya adalah ketika semua ini dimulai. Saat kamu pertama kali mendapat mimpi tentang ibumu dan menjadi kenyataan, entah kamu ingat atau lupa sebelum kejadian itu kamu sudah menceritakannya beberapa kali pada ayah. Atah berfikir, mimpi itu terulang karena kamu selalu memikirkannya." Gunawan menghela nafasnya sejenak.
"Tapi itu salah. Hari itu papa dapat telfon yang mengatakan kamu dan mamamu kecelakaan bus. Saat itulah ayah tahu mimpimu bukan hanya sekedar bunga tidur. Tapi Ayah masih menyangkal dan membawamu ke banyak psikiater hingga membuatmu menjadi pribadi yang dingin dan pendiam."
Aya menatap kursi kosong itu dengan was-was. Ayahnya sangat menakutkan.
"Puncaknya adalah saat keponakanmu, Sherli meninggal dan kamu hampir mengakhiri hidupmu sendiri Ya."
"Omong kosong. Aku tidak pernah berusaha bunuh diri!" Bantah Aya.
"Kamu pernah melakukannya. Kamu bahkan pernah memimpikan ayah, namun karena ayah mencari cara agar tetap bisa disampingmu. Ayah.. kehilangan wujud utuh ayah."
"GAK!"
"Kamu hanya tidak mengingatnya saja Ya.."
"Jangan bohong, kamu bukan ayahku! Pergilah dari rumahku!"
Gunawan menghela nafas, mungkin memang Aya membutuhkan waktu untuk percaya pada semua ucapannya.
"Lain kali Ayah akan jelaskan lebih detail padamu. Ayah pergi dulu."
Aya terdiam, tidak ingin membalas perkataan Ayahnya. Aya sendiri masih tidak yakin, suara tanpa wujud itu sebenarnya makhluk apa? Hantu atau apapun itu Aya tidak ingin hal seperti itu ada disekitarnya.
Apa tidak cukup dengan mimpi kematian yang selalu menghampirinya?
Aya segera berlari keluar rumahnya, hanya berbekal hp, dompet dan baju piyama panjangnya. Saat ini fikiran Aya sedang kalut.
Aya segera menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat.
"Pak ke bandara ya." Supir taksi itu melirik. Penampilan Aya sama sekali tidak menunjukkan bahwa Aya akan menaiki pesawat.
"Mbaknya habis ada kejadian apa?" Tanya supir taksi itu yang melihat wajah pucat dan penampilan Aya yang berantakan. Takut jika sang supir mengantarkan korban kejahatan, namun tidak ikut menolongnya.
Tak mendapat jawaban dari Aya, supir itu langsung melajukan kendaraannya ketempat tujuan sang penumpang.
*
Tian mengernyit heran saat Aya menelfonnya dan mengatakan bahwa saat ini Aya ada di bandara. Aya juga meminta Tian untuk menemuinya sebentar sebelum terbang ke Kanada.
Sebelum ini Aya tidak pernah memberikan salam perpisahan hanya karena Tian akan pergi keluar negeri karena sebuah pekerjaan. Apa Aya akan memberikannya surprise?
Saat Tian sibuk dengan fikirannya sendiri, matanya menangkap sosok Aya yang sedang berlari kearahnya. Tian langsung berdiri dari duduknya dan bersiap menyambut kedatangan Aya. Namun senyuman diwajah Tian berubah saat melihat tangisan Aya.
Hatinya meronta-ronta melihat kesedihan Aya. Wajahnya pucat dan penampilannya berantakan.
Rasa penasarannya semakin menjadi saat tiba-tiba Aya memeluknya didepan rekan-rekannya, hal yang tidak mungkin Aya lakukan. Tian tidak malu, Tian membalas pelukan Aya. Tian berusaha menenangkan Aya.
Ada apa?