Jika bisa berteriak, maka Aya akan berteriak sekencang-kencangnya. Jika bisa menangis, Aya akan terus menangis tanpa henti. Namun Aya tetap dipaksa untuk berdiri dengan tegak. Aya harus berani.
Mengetahui satu persatu fakta yang terkuak, menjadikan Aya merasa gila. Siapapun tidak akan ada yang percaya bila mendengar ataupun melihat semua yang baru saja dialaminya.
Jika Aya tidak memiliki mental yang kuat mungkin saat ini Aya sudah berakhir di rumah sakit jiwa. Semua fakta atau kebenaran yang baru saja diketahuinya terasa sangat tidak masuk akal.
Maksud Aya, benda apa yang ada didalam jam tangan itu? Hingga mampu merubah mimpi Aya. Ya, merubah. Apalagi jika bukan merubah? Karena jam itu mengganti mimpi Aya yang seharusnya terjadi.
Sekarang apa yang akan terjadi pada Citra? Juga Tian yang membawa jam itu?
"Aya!" Suara yang tak asing ditelinga Aya, begitu Aya menoleh dirinya menemukan wanita paruh baya yang anggun. Wanita itu adalah ibu dari Tian.
"Tante laras!" Aya menyambut pelukan hangat dari Laras.
"Gimana kabarmu Ya?"
"Baik tan. Tante sendiri?"
"Tante juga baik. Oh iya kita ngobrol di apartemen Tian aja yuk." Aya tersenyum dan mengangguk secara berasamaan, mengikuti langkah Laras untuk masuk kedalam apartemen milik anaknya.
"Udah lama banget tante gak ketemu sama kamu. Terakhir ya.. pas mau pindahan. Tian gak pernah mau bawa kamu main kerumah sih. Ada aja alasannya." Aya tersenyum, sebenarnya memang selama ini Aya yang menolak bertemu Laras. Takutnya Aya akan mendapatkan mimpi tentang ibu dari Tian ini. Aya tidak menginginkan itu.
"Eh sekarang Tian malah sembunyiin kamu di apartemennya. Tante langsung meluncur kesini pas tahu, hampir aja tante tadi pulang untungnya tante inget wajah kamu pas ketemu di lift." Tambah Laras.
"Maafin Aya ya tan. Aya malah gak ngenalin wajah tante, soalnya tante tambah cantik siih." Tidak menanggapi pujian Aya, Laras malah menunjukkan ekspresi sendunya.
"Kamu yakin baik-baik aja Ya?" Aya mengernyit, Aya memang sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Aya baik-baik aja kok, bener deh." Kilah Aya.
"Kamu gak bisa bohong sama tante." Ucap Laras dengan nada serius.
"Kamu di apartemen Tian kan selama beberapa hari ini?" Aya mengangguk lemah.
"Bilang sama tante, kamu habis diapain sama Tian. Biar tante marahin si Tian." Aya terkikik geli.
"Bukan gara-gara Tian tante. Lagian Tian juga lagi ada di Kanada kan?" Laras mematung sejenak. Dasar ingatan! Tidak bisakah bekerja dengan baik di usianya yang tua ini?
"Tante lupa. Padahal Tian udah telfon tante pas mau berangkat." Ujar Laras menepuk dahinya sendiri.
"Maafin Aya ya tan, nginep diapart Tian padahal lagi gak ada orangnya."
"Gak apa-apa sayang. Tante malah khawatir kalau kamu berdua disini sama Tian. Soalnya tante tahu, Tian itu punya obsesi berlebih sama kamu sedari kecil." Itu memang benar.
"Tian itu dari dulu selalu ngikutin kamu kemanapun. Rela pindah ke sekolah swasta biasa padahal udah keterima di sma favorit demi kamu. Sampe kuliah juga sama. Tapi tante gak pernah permasalahin itu. Nyatanya Tian juga udah jadi pengacara berhasil kayak sekarang."
"Tante gak marah Tian belum punya gandengan? Malah main terus sama aku." Laras tertawa, namun saking kerasnya hingga membuatnya terbatuk-batuk.
"Eh, tante aku lupa ngambilin minum." Aya meraih tas belanjaannya tadi dan mengambil minuman yang memiliki label lemon.
"Ini tan diminum, maaf kayaknya Aya lupa beli air mineral." Laras segera meminumnya danbernafas lega saat tenggorokannya tidak lagi gatal.
"Kan ada kamu Ya."
"Maksud tante?"
"Ya kamu calonnya Tian kan? Tante sih setuju-setuju aja." Aya membeku seketika, menanggapi perkataan Laras hanya dengan senyuman kaku.
"Tapi tan.."
"Tapi kenapa? Tante malah seneng kalau orang itu kamu Ya."
Aya yang sedih tan, Aya tidak ingin kutukan mimpi itu datang menghampiri Tian ataupun tante. Aya ingin mengatakan itu dengan lantang.
"Pokoknya tante seneng banget bisa ketemu sama kamu."
"Aku juga seneng ketemu sama tante."
"Pokoknya kamu harus pertimbangin Tian ya? Jangan ngelirik cowok lain."
"Siap tante."
"Udah ya, tante mau pulang. Udah dicariin papanya Tian nih. Oh ya, kamu di apartemennya Tian anggep aja rumah kamu sendiri." Itu sih sudah pasti, karena Tian juga menganggap rumah Aya sebagai rumah Tian sendiri.
"Hati-hati tan." Ucap Aya mengikuti langkah Laras yang keluar dari apartemen Tian. Namun Laras segera mendorong Aya untuk masuk kedalam apartemen, merasa tidak perlu diantar keluar.
Semakin banyak yang merestui hubungannya dengan Tian, membuat Aya semakin ragu. Aya sungguh tidak ingin melukai mereka.
"Ayah disini? Aya harus gimana yah?" Tidak ada sahutan yang terdengar, hening dan sangat tenang.
*
Aya kembali berlari dengan tangisan yang pecah menuju kearah tanda ICU ditunjuk. Semua orang menatap Aya aneh, karena Aya masih menggunakan piyama tidurnya.
Hatinya sakit, perih dan kacau menjadi satu. Aya hanya bisa mengekspresikannya melalui sebuah tangisan dan kekhawatiran yang begitu besar.
Begitu papan tulisan ICU sudah tepat berada didepannya, kaki Aya terhenti. Aya berjalan masuk dengan tatapan mata yang kosong. Tidak ada tangisan lagi yang menyertainya.
"Mbak, mohon gunakan pakaian pengunjung dulu." Tangan Aya ditarik paksa, namun Aya tidak memberontak. Aya menuruti perintah suster itu, memakai segala kelengkapan untuk bisa masuk kedalam sana. Tak lupa Aya diminta untuk meninggalkan kartu identitas dan mengisi buku pengunjung saat akan masuk.
Tangan Aya bergetar hebat saat harus menuliskan nama teman yang sangat disayanginya.
Kaki Aya kembali melangkah masuk kedalam lorong-lorong panjang ini. Mencari nomor yang sudah tidak asing lagi untuk otaknya.
406!
Aya terhuyung saat seseorang menabrak bahunya dengan keras. Namun Aya mengumpulkan kekuatannya lagi untuk kembali berjalan.
406. Aya menemukan bangsal yang memiliki nomor itu. Pintu bangsal itu terbuka dan menampilkan sosok wanita dan lelaki paruh baya yang sangat Aya kenali.
"Aya." Lirih Umi. Ya, ibunda dari Citra.
Aya menghampiri Umi dan menerima pelukan dari Umi. Mereka menangis dan saling menguatkan satu sama lain.
Seperti pantai yang dihantam ombak, seperti batu karang yang terkikis oleh arus, dan seperti laut yang diterjang badai.
Ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa diterima bagi Aya.
"Aya harus kuat ya? Mau lihat Citra kan? Untuk yang terkahir kalinya?"
Sekali lagi Aya terbangun dari mimpinya.
*
Aya meraba pipinya yang sudah basah dipenuhi air matanya. Nafasnya sesegukan mendapatkan mimpi yang begitu nyata dan jelas.
Aya menatap kesekeliling kamar Tian yang sepi. Kenapa Tian belum juga datang pada Aya? Aya membutuhkan Tian. Aya sangat merindukan manusia itu.
Dengan kaki bergetar, Aya menyibak selimutnya hendak mengambil air di dapur untuk menenangkan dirinya.
Tubuh Aya luruh ke lantai saat melihat piyama yang dikenakannya. Piyama ini sama dengan yang ada didalam mimpinya. Aya menutup mulutnya untuk menahan tangisan yang begitu kuat ingin meluncur.
Tolong, Aya belum siap menerima kenyataan ini.