Sebelum kita lanjut tentang apa yang akan Aya alami, mari kita cari tahu apa itu mimpi?
Mimpi adalah serangkaian kejadian yang terjadi dialam bawah sadar kita, terkadang mimpi bisa melibatkan penglihatan, pendengaran dan bahkan perasaan si pemimpi.
Hal-hal yang terjadi dialam mimpi terkadang memang tidak masuk akal atau tidak bisa dinalar oleh logika.
Itulah yang Aya fikirkan awalnya. Bahwa mimpi itu adalah bunga tidur. Contohnya apabila bermimpi bertemu dengan seseorang yang disukai maka hati akan terpengaruh perasaan bahagia.
Begitulah yang Aya yakini saat mendapat bunga tidur tentang kecelakaan yang dialami oleh bundanya. Ketika Aya terbangun, Aya akan merasa sedih karena mimpi itu dan perasaan sedih itu akan berlalu dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Namun nyatanya, mimpi itu datang berkali-kali dalam tidurnya. Bagaimanapun Aya yang masih kecil saat itu menjadi cemas tanpa alasan. Mimpi itu benar-benar menakutkan bagi Aya kecil.
Aya sudah menceritakan mimpi itu kepada kedua orang tuanya. Namun kedua orang tua Aya hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman dan menganggap mimpi itu hanya sebuah ketakutan berlebih yang membuat Aya memimpikannya berulang kali.
Aya kecil yang lugu mempercayai ucapan kedua orang tuanya. Aya-pun berfikir mimpi itu pasti berlalu dengan sendirinya.
Nyatanya, mimpi itu memang adanya menjadi kenyataan dan merenggut nyawa ibunya. Kemudian mimpi ituย membawa Aya menemui beberapa dokter dan Aya memang dinyatakan sangat sehat. Tak ada yang salah dengan otaknya.
Ayahnya mulai mempercayai mimpi Aya dan muai mencari beberapa cara yang akhirnya membuat Aya semakin menderita karena ikut kehilangan sosok ayah.
Kemudian mimpi-mimpi itu mulai bertadangan kepada semua orang yang Aya kenal dan Aya sayangi. Bahkan ada satu mimpi dimana Aya belum mengetahui siapa orang yang ada dalamnya. Satu-satunya petunjuk adalah cincin pertunangan yang entah bagaimana Aya mengetahuinya.
Sekarang, Aya harus bersiap menerima satu lagi kehilangan karena mimpinya.
Citra.
Gadis yang menghilang entah kemana setelah untuk pertama kalinya, Aya berasil mencegah mimpinya menjadi kenyataan dengan bantuan jam tangan ajaib yang diberikan Ayahnya.
Namun mengetahui bahwa hilangnya kabar Citra beserta keluarganya membuktikan bahwa mimpi itu mungkin saja tidak dapat dihindari. Ditambah dengan penjelasan nenek berkutek merah yang mengatakan bahwa mimpi lain akan datang menggantikan mimpi lain yang seharusnya datang.
Sekarang Aya yakin bahwa mimpi dimana Aya berjalan kearah ruang ICU adalah mimpi tentang Citra.
Aya mengumpulkan tenaganya dan kekuatan hatinya. Ini bukan saatnya Aya menangis atau meratapi nasib buruk yang selalu menimpanya.
Aya bangkit, meraih hpnya, tak lupa memesan taksi untuk menuju satu rumah sakit yang Aya ketahui adalah rumah sakit langganan keluarga Citra.
Masih dengan piyamanya, Aya tergopoh-gopoh turun ke lantai utama apartemen. Dekat pintu keluar dimana sebuah taksi sudah menunggunya.
*
Aya menatap gedung rumah sakit yang ada dihadapannya dengan mata bergetar. Tiba-tiba perasaan ragu menghinggapi hatinya.
Tapi memikirkan Citra yang mungkin sedang menunggunya saat ini membuat Aya pantang mundur. Pertama-tama Aya akan menanyakan pada bagian informasi untuk menanyakan adakah pasien ICU yang bernama Citra.
Saat langkahnya tersisa beberapa langkah lagi menuju bagian informasi. Aya berhenti sejenak karena mendapatkan telfon.
Aya langsung mengangkatnya begitu tahu Umi atau bunda dari Citra yang menghubunginya. Aneh saja, saat selama ini Aya mencoba menghubungi Umi atau Abi, panggilan Aya selalu ditolak atau bahkan dialihkan.
"Halo?"
"Halo Umi." Aya menjawab panggilan Umi sembari menepi.
"Maaf Ya, Umi sampai lupa ngucapin salam. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam Umi, kenapa Umi susah sekali untuk ditelfon."
"Maafkan Umi nak."
"Kenapa minta maaf Umi, memang ada apa? Citra kemana Umi?"
"Umi mau menjelaskan semuanya sama kamu Ya. Tentang semua yang sudah Umi dan Citra alami selama ini."
"Ada kejadian apa Umi?"
"Ini tentang Citra. Bagaimana kalau kamu datang dulu ke rumah sakit Sultan Agung. Sebelumnya Umi minta maaf karena memintamu datang kesana malam-malam begini."
"Kebetulan Aya lagi ada di rumah sakit Umi. Aya akan kesana."
"Kalau begitu beritahu juga temanmu yang bernama Wati. Datanglah keruang.."
"Aku tahu Umi."
"Maksudnya Ya?"
"Aya tahu sekarang Umi dan Abi sedang ada dimana. Ruang ICU nomor 406."
Setelah Aya menutup teflon. Aya melangkah masuk menuju lorong-lorong panjang engan tatapan mata kosong. Kira-kira apa yang yang menantinya di depan sana?
Fikirannya dipenuhi dengan bagaimana keadaan Citra saat ini?
Aya yang muai tidak sabar, melangkahkan kakinya dengan lebih cepat lagi. Tanpa sadar air matanya sudah bercucuran dengan deras.
Sama seperti dalam mimpinya, banyak orang yang menatapnya dengan aneh. Aya tidak peduli. Aya fokus menuju jalan yang sudah dihafalnya melalui mimpi itu.
Kakinya berhenti melangkah saat melihat tanda arah menuju ICU sudah terpampang jelas didepan matanya.
Aya menyeka air matanya dan masuk kedalam ruang ICU tanpa ragu.
Seperti dalam mimpinya, seorang suster menghentikannya untuk meminta Aya menggunakan pakaian pelengkap jika memang ingin masuk kedalam ICU.
Tangan Aya bergetar dengan hebat saat harus menuliskan nama paseien yang akan dikunjunginya.
"Mbak mau menemui pasien bernama Citra?" Aya mengangguk saat suster itu mengajukan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas.
Suster itu tersenyum. "Mba harus sabar ya."
Kenapa? Didalam mimpi Aya suster itu tidak bertanya. Ini membuat Aya semakin frustasi dan bingung.
Aya kembali melangkahkan kakinya, mencari bangsal bernomor 406. Aya menghindar dengan jeli saat seseorang yang berjalan terburu-buru hendak menabrak bahunya.
Kaki Aya berjalan melambat saat memperhatikan nomor bangsal yang dicarinya semakin mendekat. Kaki Aya bergetar dengan hebat. Aya belum siap untuk kehilangan Citra.
Aya menemukannya. Bangsal dengan nomor 406.
Tak lama, sosok dua orang paruh baya yang Aya kenal keluar dari bangsal itu.
"Aya." Lirih Umi, memanggil teman anaknya.
Aya berhambur memeluk Umi, tangisannya pecah. Aya merindukan Umi dan Aya merindukan Abi. Kemana mereka selama ini? Kenapa mereka harus dipertemukan kembali oleh mimpi yang Aya bawa?
"Aya harus kuat ya? Mau lihat Citra kan? Untuk yang terkahir kalinya?"
"Apa maksud Umi? Untuk terakhir kalinya? Umi bercanda kan?" Umi terdiam seribu bahasa. Aya-pun tahu pasti Umilah yang paling menderita saat ini.
Tapi Aya hanya tidak ingin menerima kenyataan pahit yang akan diterimanya sesaat lagi.
"Abi, Umi bercanda kan?" Melalui raut muka Abi yang kusut, Aya tahu bahwa ini semua bukanlah sebuah candaan.
"Kamu harus menerima kenyataannya Ya." Ujar Umi sembari menutupi tangisannya yang hendak pecah dengan sapu tangan.
"Kenyataan apa Umi?" Ucap Aya masih mencoba mengelak dari mimpi yang mungkin terjadi.
"Kita tunggu temamu yang satu lagi datang ya? Habis itu Umi akan cerita tengtang semua yang terjadi belakangan ini."
"Aya sudah mengabari Wati Umi, dia akan segera kesini. Tapi Umi, Citra dimana? Aku kangen banget sama Citra." Umi tersenyum getir kearah Abi. Tak yakin untuk memberitahu Aya saat ini.
Namun karena Abi menganggukkan kepalanya, memberi izin pada Umi untuk memberitahu pada Aya. Umi menuntun Aya masuk kedalam bangsal nomor 406! Tempat dimana Abi dan Umi kleuar tadi.
Peglihatan Aya yang samar-samar karena air mata yang tak henti-hentinya menangis membuat Aya kesulitan melihat siapa sosok yang terbarik dengan banyak alat diatas ranjang.
Bahkan tanpa penglihatan yang jelaspun Aya tahu, putri tidur yang sedang tertidur cantik diatas sana adalah Citra.
Aya melangkah dengan berat mendekati ranjang sembari mengusap ar matanya. Aya tidak boleh terlihat sedih dihadapan Citra bukan?
*
Kawan, kau yang sudah lama tak kutemui. Kenapa harus bertemu lagi dengan kondisi ini? Kau yang sudah mengubahku menjadi sosok hangat setelah melalui hari dingin. Kau yang tak peduli dengan segala kutukan yang kubawa. Kau yang pertama kalinya mengakui dirimu sebagai teman dikala semua orang membuangku dan dikala aku mencoba mengusirmu berkali-kali. Kau mengajarkan arti pertemanan yang sesungguhnya. Bertengkar, beradu mulut dan bahkan saling merangkul disaat susah maupun senang.
Akankah aku siap kehilanganmu?
Teman, aku mohon maafkan aku yang membawakanmu sebuah kutukan kematian disaat kau mengulurkan tangan hangatmu kearahku.