Wati berjalan kearah kamarnya. Wati berusaha semampu mungkin untuk menyembunyikan senyumannya. Wati mengintip kedalam kamarnya, disana sudah terdapat Verdi yang terduduk diam bersandar pada ranjang. Tangan Verdi sibuk mengetik sesuatu pada laptopnya.
Sial! Verdi sangat berkarisma dengan kaca mata yang digunakannya.
Wati berdeham dan membuat Verdi sadar akan keberadaan Wati yang sudah berada di dalam kamar.
Verdi tersenyum dan tanpa ragu membawa Wati untuk bersandar padanya. Tangan kiri Verdi memeluk pinggang Wati dan tangan kanannya masih sibuk mengetik.
Wati merasa diabaikan. Padahal Wati sedikit berias malam ini demi Verdi, karena hari ini mungkin akan menjadi hari bersejarah bagi mereka berdua. Apalagi jika bukan membuat keturunan. Wati terkikik geli memikirkan hal itu.
"Ada apa?" Wati mendongak menatap suaminya.
"Enggak.. cuma mau tau aja, kamu masih lama?" Verdi mengecup kening Wati dengan tulus.
"Maafin aku ya sayang. Restoran aku kan sebentar lagi opening, banyak yang harus dipersiapin, kamu tidur duluan aja." Wati segera melepaskan pelukan Verdi, memposisikan dirinya berbaring membelakangi Verdi, tak lupa menarik selimut hingga menyembunyikan kekesalannya.
"Padahal aku udah selesai mens." Gumam Wati, namun diruangan sunyi ini suara Wati masih bisa terdengar oleh Verdi.
Verdi terkekeh tanpa suara.
Verdi meletakan laptopnya di meja kecil dekat ranjang mereka. Kemudian mendekati Wati.
Tangan Verdi menarik selimut yang Wati gunakan untuk menutup seluruh tubuhnya. Tak diduga, wajah Wati sudah semerah tomat.
"Kenapa?" Tanya Wati super pelan. Jantungnya sudah berpacu dengan sangat cepat sekarang.
Tanpa kata, Verdi memposisikan dirinya diatas Wati dan menyerang Wati dengan ribuan kecupan. Watipun dengan senang hati menerimanya.
Verdi mengecup setiap inci wajah cantik milik Wati. Verdi berhenti dan menatap bibir merah merekah milik Wati. Verdi menyukai warna lipstik yang dipakai oleh Wati.
Verdi mencium lembut bibir Wati. Verdi tahu dirinya lebih ahli daripada yang dilakukannya sekarang. Tapi sungguh Verdi ingin menikmatinya secara perlahan.
Dirasa ada yang mengganggu, Wati mendorong tubuh Verdi hingga tautan bibir mereka terlepas.
Wati menatap penampilan berantakan Verdi akibat ulahnya. Rambut yang acak-acakan, bekas lipstiknya dibibir Verdi. Wati menyukainya.
"Kenapa?" Tanya Verdi sedikit terengah-engah.
Wati menggeleng. "Kaca matamu mengganggu." Verdi kembali tertawa namun kali ini dengan suara indah yang memasuki telinganya.
Wati menarik kaca mata Verdi. Entah mengapa jantung Wati berdetak lebih kencang saat mata Verdi menatapnya tanpa kaca mata itu.
Verdi kembali memajukan wajahnya saat kaca matanya sudah Wati lempar entah kemana.
Namun saat bibir mereka hampir bertemu sebuah telfon berdering. Wati merasa kahilangan saat Verdi pergi mengambil hp Wati yang berbunyi. Wati menatap kesal hpnya sendiri.
"Tian telfon kamu. Angkat dulu siapa tahu penting."
Wati dengan malas menggeser tombol hijau dilayar hpnya. Beraninya Tian mengganggu waktu istimewanya. Jika ini bukan hal penting Wati akan melemparkan Tian ketengah gurun sahara.
"Halo?"
Raut wajah kesal Wati berubah memucat saat mendengar sesuatu diseberang sana.
*
Wati berlari bersama Verdi menyusuri bandara yang luasnya ingin membuat Wati mendirikan istana megah disini.
Dari kejauhan Wati bisa melihat Tian yang melambai kearahnya. Mata Wati menangkap sosok Aya yang terduduk lemas disamping Tian.
Wati segera mengambil tempat disamping Aya. Wati memakaikan sweaternya pada Aya.
"Ada apa Yan?" Wajah Aya terlihat sangat pucat dan sembab seperti telah menangis selama berjam-jam.
"Aya kenapa?" Wati memeluk bahu Aya. Ada apa dengan temannya yang satu ini?
"Aya kenapa Yan?" Tanya Verdi mengulang pertanyaan Wati yang terabaikan karena kediaman Tian.
Tian menggeleng. "Aku juga gak tau Ver. Aya tiba-tiba dateng ke bandara sambil nangis. Dia gak mau cerita apa-apa, tapi ngelarang aku buat pergi."
"Ada apa Ya? Sini cerita sama aku." Aya masih terdiam dengan tatapan mata kosong. Matanya yang memerah menandakan bahwa Aya sudah cukup lama menangis.
Bagaimana mungkin Aya mengatakan dirinya melihat hantu? Atau ayahnya yang tak terlihat oleh mata telanjang? Aya tidak bisa mengatakan hal tidak masuk akal seperti itu. Terlebih, Aya tidak tahu persisnya bagaimana.
"Aya gak mau lepasin aku. Padahal aku harus berangkat sepuluh menit lagi. Ini aku juga udah ubah jadwal penerbangan, aku gak bisa mundur keberangkatan lagi. Aku minta tolong jagain Aya, bawa dia ke apartemen aku aja. Dia gak mau pulang." Verdi mengangguk mengerti.
"Aya kenapa gak mau pulang?" Lagi. Tidak ada jawaban dari Aya. Wati mulai merasakan ada hal aneh pada Aya. Kira-kira apa yang baru saja dialami Aya?
Tidak ada yang tahu isi kepala Aya, karena Aya tidak mau membagikannya.
"Aku minta tolong ya sama kalian. Aku harus pergi sekarang." Pamit Tian, namun Aya dengan cepat menahan tangan Tian untuk tidak pergi meninggalkannya.
"Enggak Yan. Jangan tinggalin aku. Jangan pergi, aku gak mau sendirian." Aya menangis sejadi-jadinya, membuat Wati dan Verdi kebingungan. Wati mengusap pundak Aya untuk menenangkannya.
"Wat, kasih waktu sebentar." Wati dan Verdi pergi sedikit menjauh dari keduanya.
*
Tian mengusap air mata Aya. Sungguh, Tian ingin berada disamping Aya saja dan meninggalkan pekerjaannya. Tapi ini bukanlah hal yang bisa di serahkan kepada orang lain.
"Ya, dengerin aku." Aya menangis hingga sesegukan. Aya tidak butuh yang lain, Aya hanya ingin disamping Tian. Hanya bersama Tian, Aya bisa merasa aman.
"Yan, gak bisa perginya besok aja?" Tian menggeleng, susah payah dirinya menahan air mata hingga matanya memerah.
"Aku mau pergi sebentar boleh ya?" Aya menggeleng dan memeluk tubuh Tian kuat-kuat. Tian harus bagaimana? Haruskah Tian meninggalkan semua urusan pekerjaannya disini?
"Ya, Tian janji habis pulang langsung ketemu Aya deh. Aya tunggu di apartemen Tian sama Wati ya? Gak lama kok. Habis itu Aya bisa sama Tian sepuasnya. Oke?" Aya melepas pelukannya. Menatap Tian penuh tanda tanya.
"Berapa lama?"
"Paling lama tiga hari. Tian janji gak akan lebih dari itu." Aya mengalah.
Aya menganggukan kepalanya. Aya tidak boleh egois, jika dirinya terus seperti ini dirinya hanya akan menjadi penghalang bagi Tian.
Tian kembali mengusap jejak air mata Aya yang tertinggal di pipinya.
"Tapi janji sama aku Ya. Kalau pulang nanti bakal ceritain semua ya?"
Aya mengangguk.
Tian menarik Aya mendekat dan menangkup kedua pipinya, kemudian mengecup lembut kening Aya. Sebagai tanda permintaan maaf Tian karena harus meninggalkan Aya disaat Aya membutuhkannya.
"Pinter. Jangan nakal selama gak ada Tian ya?" Aya mengangguk sekali lagi, kini hatinya sedikit lebih tenang.
Tian meminta Wati dan Verdi mendekat.
"Tolong temenin Aya ya. Di apartemen aku banyak bajunya Aya, kalian boleh bawa barang apapun yang kalian butuhin ke apartemen aku."
"Iya Yan. Gue jagain Aya. Lo sekarang pergi gih. Ntar telat lagi." Ucap Verdi membuat Tian merasa tenang meninggalkan Aya bersama Verdi dan istrinya.
"Gue minta tolong ya." Wati tersenyum sembari mengangguk saat Tian memintanya. Tanpa dimintapun Wati akan jaga baik-baik temannya ini.
"Aku pergi dulu Ya. Habis ini langsung tidur ya?" Aya menganggukan kepalanya, hatinya sedikit tidak rela saat genggaman tangan Tian padanya terlepas.
Aya menatap kepergian Tian dengan sendu.
Wati dengan sigap merangkul bahu Aya dan menuntunnya pergi keluar dari bandara. Diikuti oleh Verdi yang mengikuti mereka berdua dari belakang.