Aya tersedak oleh bir yang baru seteguk masuk kedalam tenggorokannya. Aya memang kampungan, tidak bisa meminum minuman seperti ini. Dengan sigap Tian mengelap dagu Aya dengan tisu.
"Lo yakin Farhan kayak gitu?" Tian mengangguk.
"Citra sendiri yang bilang kalau dia itu dikenalin sama sepupu temen pesantrennya. Si Farhan sendiri juga lulusan terbaik di tahunnya lho. Itu sih yang di bilang Citra." Aya mulai ragu, apakah Citra memang tidak tahu tentang kebusukan Farhan, atau Citra yang berbohong padanya demi cinta buta.
"Mending kamu larang Citra buat pacaran sama Farhan."
"Udah, tapi Citra bilang dia mau berusaha buat Farhan berubah."
"Kalau itu balik lagi ke individu. Mending kamu gak usah ikut campur masalah itu."
"Tapi kan Yan.."
"Janji sama aku?"
"Iya, janji."
*
Aya terlonjak terbangun mendengar pintu rumah terbuka dengan kencang. Aya sedang menunggu Citra pulang dari acara reuninya.
Aya segera membuka pintu kamar Citra, melihat apakah benar yang pulang adalah temannya. Aya segera berlari menuju balkon kamar Citra, begitu melihat Citra sedang berciuman dengan Farhan.
Aya merasa tidak percaya, dengan yang dilihatnya, Aya ingin menghentikan mereka saat Citra dengan mudahnya menanggalkan satu persatu pakaian panjangnya. Anehnya, tubuh Aya membeku dan suaranya tidak bisa keluar.
Aya terengah-engah menahan gejolak dalam dirinya saat melihat Citra sudah tidak bisa menguasai dirinya disana. Aya hanya bisa menahan nafasnya di balkon kamar Citra.
Abi dan Umi Citra menitipkan anaknya pada Aya. Namun saat hal seperti ini terjadi Aya hanya mampu bersembunyi dipojokan balkon. Aya teramat bodoh untuk menghentikan perbuatan keji Farhan.
Farhan benar-benar mengendalikan Citra secara brutal. Bahkan sesekali Aya mendengar isakan tangis dari Citra.
Aya tak bisa berfikir dengan jernih melihat Citra mau melakukan perbuatan zina seperti itu.
Seseorang membekap Aya dari belakang, membuatnya terkejut, Aya mencoba melawan namun sebelum berhasil lolos dari bekapan itu Aya malah digendong dan dibawa terjun dari balkon lantai dua itu.
*
Aya bangun dari tidurnya spontan saat suara petir menyambar langit. Hujan deras dan angin bertiup sangat kencang membuat jendela terbuka dan tertutup yang membuat efek suara menyeramkan.
Hatinya bergetar hebat saat mendapatkan mimpi gila itu. Apakah ini pertanda? Sudah hampir setahun Aya berteman dengan Citra dan Aya tidak mendapatkan mimpi tentang Citra. Kenapa sekarang? Saat Aya sudah mulai dekat dengan Citra.
Aya tidak ingin Citra berakhir sama dengan semua orang yang pernah Aya mimpikan. Aya memegang hpnya dengan tangan yang bergetar.
Mengetik nomor telfon ayahnya. Suara deringan menyapanya saat Aya menempelkan hpnya di telinga. Cukup lama sampai akhirnya telfonpun tersambung.
"Halo, Ayah."
"Ada apa Ya? Tumben telfon ayah malam-malam."
Cukup lama Aya terdiam membuat ayah Aya dapat menebak apa yang ingin dikatakan anaknya.
"Apa ini tentang mimpi lagi?" Aya mengangguk pelan, walau ayahnya tidak dapat melihatnya.
"Apa mimpi tentang cincin?"
"Bukan yah, mimpi yang berbeda. Aya mimpiin Citra yah."
"Ya, dengerin ayah. Semua mimpi itu cuma bunga tidur oke?"
"Tapi yah. Ayah tahu mimpi aku bukan sekadar bunga tidur. Baru kali ini juga aku mendapatkan mimpi yang berbeda disaat yang satu belum menjadi kenyataan."
"Mungkin kamu hanya lelah nak, atau banyak pikiran."
"Enggak yah. Ini benar-benar aneh, kenapa aku bisa mendapat dua mimpi bersamaan? Aku takut yah."
"Begini saja, besok minggu kita temui nenek di kaki gunung untuk menghentikan mimpimu, bagaimana? Sementara ingatkan saja Citra untuk tidak melakukan hal yang ada dimimpi itu."
"Baiklah yah. Met tidur yah."
"Iya, mimpi indah Ya." Kebiasaan ayahnya ketika mengucapkan kata sebelum tidur dengan kata semoga mimpi indah, berharap anaknya bisa terlepas dari kutukan mimpi dan benar-benar mendapatkan mimpi yang indah.
Telfon terputus. Walaupun hatinya sedikit lebih tenang, namun Aya tetap takut untuk apa yang terjadi dikemudian hari.
Aya memeluk kedua lututnya, menyembunyikan tangisnya. Meratapi nasibnya yang malang.
*
Aya terbangun dari lamunannya saat kode pintunya berbunyi dan memasuki rumahnya. Tian berlari cepat saat Aya dengan santainya menuang susu pada gelas yang sudah penuh, membuat kaus kakinya basah.
Tian mengambil alih kotak susu dari tangan Aya dan menaruhnya di samping gelas penuh itu.
"Yang fokus Ya." Aya berkedip perlahan memperhatikan Tian yang sibuk membersihkan tumpahan susu itu.
"Kamu sakit ya? Muka kamu pucet?" Aya menggeleng pelan.
"Bener?" Tanya Tian memastikan.
"Iya, cuma kurang tidur."
"Kenapa? Dapet mimpi ya?" Aya membelalakkan matanya.
"Kok lo tau?"
"Udah kelihatan."
*
"Oh jadi kali ini kamu dapet dua mimpi Ya?" Kata Tian mengambil sepasang kaus kaki baru dari dalam kamar Aya.
"Yang satu mimpiin Citra, yang satunya lagi anonim?" Aya mengangguk, duduk anteng di sofa.
"Citra mungkin bisa aja ngelakuin hal yang ada dimimpi kamu, secara dia sedang menjalin hubungan sama Farhan, yang anaknya gak bener." Tian melepas kaus kaki basah Aya sebelah.
"Mending kamu cegah Citra sedari dini, sekalian kasih tahu buat jauhin si Farhan." Aya hanya berdeham saat Tian memakaikan kaus kakinya sebelah dan mulai melepas sebelahnya lagi yang basah. "Iya, ayah juga nyaranin kayak gitu."
"Kalau yang anonim itu kira-kira siapa menurut kamu?" Tian nampak berfikir sejenak. "Aku?"
Aya menghela nafas malas. "Gak mungkin gue punya hubungan kayak gitu sama lo. Apalagi tunangan sama lo. Kita gak punya hubungan kayak gitu dan gak punya kesempatan sama sekali." Tanpa aba-aba Tian menjilat telapak kaki Aya yang belum dipakaikannya kaus kaki.
"Tian! Jorok banget sih lo!" Aya menarik kakinya paksa, namun Tian menariknya kembali dan memakaikannya kaus kaki.
"Sekarang fikirin deh, emang ada cowok lain selain aku yang deket sama kamu?" Aya mengalihkan pandangan matanya, tidak ingin menatap mata tajam milik Tian.
"Ada?" Aya menyerah, memang kenyataannya hanya Tianlah satu-satunya laki-laki yang dekat dengannya selain ayahnya sendiri.
"Oke, gak ada."
"Kalau gitu itu udah pasti aku."
"Pdnyaaaaa, siapa juga yang mau sama lo?!" Tangan Aya ditarik kuat hingga Aya berdiri dihadapan Tian, yang sedikit membungkukkan badannya membuat wajah mereka kini sejajar.
"Kenapa diem? Ini cuma aku loh, yang kamu kira kita gak punya kesempatan untuk hubungan lebih." Tian mentertawakan Aya yang hanya bisa diam membeku.
"Tian apaan sih." Aya mencubit pipi Tian gemas, Tian mempermainkannya. Pipi Aya bahkan sampai bersemu merah. Sialan.
Aya berjalan mendahului Tian, memakai sapatu haknya dan keluar menuju halaman rumahnya berhenti tepat depan mobil Tian.
"Kamu mau Ya?"
"Apa?"
"Pacaran sama aku dan menghadapi mimpi? Atau kamu milih buat menghindar?"
"Apasih gak jelas banget, nyesel aku cerita."
"Kamu mau gak Ya?"
"Kalau pacaran big no."
"Bukan, kamu mau aku bukain pintu gak?"
"Gak usah bisa sendiri." Putus Aya segera memasuki mobil Tian. Walaupun sebenarnya Aya tadi memang menunggu dibukakan pintu.
Aya ingin menenggelamkan wajahnya ke lautan sekarang juga!