Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 6 - Mimpinya gimana?

Chapter 6 - Mimpinya gimana?

Aya menaruh kepalanya dimeja makan malas. Sudah beberapa hari ini Citra menghindarinya, sehingga Aya tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya tentang mimpi.

"Yang semangat dong." Yang diberi semangat malah menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangannya.

"Kamu tahu kenapa Citra ngehindarin kamu terus?" Aya menggeleng, benar-benar tak tahu apa yang membuat Citra menghindarinya beberapa hari ini.

"Terus rencana kamu kedepan gimana?"

"Gak tahu."

"Apa jangan-jangan Farhan yang menghasut Citra buat ngejauhin gue ya?" Tebak Aya asal.

"Buat apa?"

"Ya apa kek, mungkin dia tahu aku yang ngelarang Citra buat pacaran sama dia."

"Ngaco."

Aya menghela nafas panjang.

"Emang harusnya dari awal Citra menjauh aja dari aku deh. Biar aku gak mimpiin dia."

"Kamu masih mimpiin Citra?"

"Masih." Ucap Aya dengan nada yang sedikit dipanjangkan.

"Berarti menjauh gak menjamin mimpi kamu gak jadi kenyataan dong."

"Lo gak mau menjauh aja dari gue Yan? Gue takut mimpi itu bakal datang ke lo."

"Lah buktinya dari kecil sampe gedhe gini, aku masih sehat-sehat aja kan?"

"Kalaupun kamu mimpiin aku Ya, mungkin mimpi anonim itu." Lanjut Tian.

"Itu bukan lo."

"Tahu dari mana?"

"Lo gak takut Yan?" Aya malah balik bertanya.

"Kalau takut, aku udah lama ninggalin kamu Ya."

Keheningan menghampiri mereka, Tian bergelut dengan tumpukan berkas kasus di depannya dan di meja makan. Sedangkan Aya bergelut dengan fikirannya, bagaimana bisa Tian mengerjakan pekerjaan dimeja makan dan di hari minggu?

Aya mendengus, melihat sekeliling apartemen Tian yang terlihat lebih rapi begitu Aya membersihkannya begitu masuk sore kemarin.

"Emang kejadian di mimpi kamu tentang Citra gimana Ya?" Memang Aya hanya memberitahu Tian bahwa dirinya memimpikan Citra, namun tidak menceritakan mimpi itu secara detail.

Pipi Aya bersemu merah, tidak mungkin Aya menceritakan mimpi yang memalukan seperti itu pada Tian.

"Wajah kamu merah Ya, kamu sakit?" Tian menaruh punggung tangannya didahi Aya.

"Gak kok." Dengan cepat menyingkirkan tangan Tian.

"Siapa tahu kalau kita tahu kejadiannya dan tempatnya, kita bisa cegah Citra kejadian itu dengan melarang Citra melakukannya atau ke tempat itu."

Aya tak yakin, Aya sudah pernah melakukan hal itu, tapi tetap saja kematian itu tidak dapat dihindari.

"Mimpinya gimana?" Desak Tian.

"Mim.. mimpinya.. Citra sama Farhan lagi itu."

"Itu apa?" Ah, bagaimana Aya harus menyebutnya secara sopan.

"Lo tahu, kalau suami sama istri."

"Iya. Mereka bakal nikah?"

"Gak gitu."

"Terus gimana?"

"Ka.. kalau suami istri habis nikah melakukan sesuatu kan. Nah Citra sama Farhan gitu dirumah Citra di kamarnya. Masalahnya aku rasa mereka melakukannya diluar nikah."

"Maksud kamu making love?" Aya mengangguk dalam. Aargh, Aya melirik Tian yang nampak serius sambil memutar pulpen seharga puluhan juta itu.

"Kamu yakin Ya?"

"Yakin. Kemungkinan besar gak bakal bisa dicegah karena emang belum pernah ada yang berhasil, ditambah lagi kejadiannya ditempat yang Citra pasti kekamarnya setiap hari."

Deringan telfon dari hp Aya menghentikan diskusi mereka. Selagi Aya menerima telfon, Tian kembali membaca tumpukan berkas kasus miliknya.

"Halo yah."

"Aya, maafin ayah gak bisa temenin kamu hari ini ya."

"Temenin kemana?"

"Ke kaki gunung tempat nenek yang bisa bantu mimpi kamu Ya." Aya menepuk jidatnya lupa.

"Ayah tadi mampir rumah tapi langsung pergi soalnya kamu gak ada, kamu dimana?"

"Di rumah Tian yah." Fokus Tian berlaih melirik Aya yang menyebut namanya.

"Dari malem sampe subuh gini?"

"I..iya yah. Kenapa?"

"Kalian ngapain berdua semaleman?"

"Gak ngapa-ngapain kok yah bener deh, ini kita juga habis sholat subuh tanya aja sama Tian, ya kan Yan?" Aya mendekatkan telfon kearah Tian.

"Kamu gak inget semalem kita ngapain?" Aya mendelik sebal segera menarik telfonnya.

"Gak yah, Tian bercanda. Maksudnya cuma nonton film kok."

"Beneran?"

"Beneran yah. Percaya sama Aya."

"Ya udah, kamu bisa berangkat sendiri?"

"Takut."

"Minta temenin Tian tuh. Mumpung masih jam lima, berangkat sekarang biar gak telalu malam pulangnya."

"Yan temenin gue ya?"

"Iya." Aya tersenyum, sangat menyukai Tian yang tidak pernah mengatakan tidak padanya bahkan saat Aya belum bilang tujuan mereka.

"Sip yah. Ditemenin Tian."

"Ya udah, ayah juga berangkat dulu ke India ya?"

"Hati-hati ayah."

Nada telfon terputus menyambut Aya setelah itu.

"Yan siap-siap temenin gue. Pake yang biasa aja, cuma ke gunung kok."

"Eh buset."

"Udah buruan."

Tanpa banyak kata Tian meninggalkan berkas menumpuk itu dan segera bersiap mengantarkan Aya.

*

Aya bernyanyi mengikuti irama lagu pop terbaru. Jalanan satu arah beraspal yang berkelok-kelok. Seperti menunjukkan arah kemana Aya dan Tian harus pergi. Tidak ada pertigaan, hanya bisa lurus maju kedepan.

Tian menepikan mobilnya disebuah area lapang yang luas. Area tersebut seperti sengaja dibuat untuk digunakan sebagai tempat parkir. Ada juga bekas ban mobil lain di area lapang ini.

Aya turun diikuti Tian. Memperhatikan maps yang mengarah pada sebuah jalan setapak yang diujung jalannya terdapat tangga alami dari batuan alam.

"Aneh, daerah sini masih ada sinyal, kenceng lagi." Aya hampir terjatuh jika Tian tak cepat menangkapnya.

"Lihat jalannya." Hati Aya mencelos, saat tahu sudah seberapa tingginya mereka menaiki tangga itu.

Aya dan Tian kembali menaiki tangga itu, dipertengahan jalan ada beberapa orang yang turun dan menyapa mereka. Sesekali mereka berhenti untuk beristirahat, kemudian melanjutkan perjalanan menaiki tangga menuju surga ini, tunggu Aya belum mau mati.

"Yan, udah mau sampe." Tian mengangguk dan mulai mempercepat langkah mereka.

"Gila sih ini namanya bukan kaki gunung lagi."

"Benerkan sini alamatnya?"

"Bener kok, udah sampe." Aya merebut air mineral milik Tian yang sisa separuh.

"Aku kira bakal ada satu rumah aja diujung tangga. Ternyata rame kayak kampung ala desa gitu." Aya menghampiri salah seorang penduduk desa.

"Eh, mbak cantik sama mas ganteng, ada apa mbak, mas?" Sapa seorang wanita paruh baya dengan daster dan rambut yang digulung asal.

"Saya mau tanya bu, rumahnya mbah Suripah itu dimana bu?"

"Oooh, mbah Suripah. Kamu nanti ngikutin jalan ini aja lurus, belokan pertama ambil kanan, lurus terus sampe mentok, itu rumahnya mbah Suripah."

"Oh iya bu, makasih ya."

"Mbak, mas apa gak mau cari penginapan dulu, sudah mau gelap ini. Biasanya mbah Suripah sudah gak mau nerima tamu dari luar kampung kalau udah jam segini."

"Loh, jam berapa sih bu sekarang?"

"Jam lima sore. Banyak yang kesini mau nemuin mbah Suripah. Jadi sehari disini itu gak cukup, soalnya antri. Kalian harus cepet-cepet cari kamar, biar gak kehabisan."

"Oh, pantes tadi saya lihat banyak yang kayaknya bukan penduduk sini. Ternyata rame pengunjung ya?"

"Iya mba. Udah mbanya sama masnya nginep aja dirumah saya. Saya kasih gratis."

"Beneran bu?" Aya menyikut Tian yang sedari tadi hanya diam saja.

"Yan gimana?"

"Terserah kamu, aku ikut."