Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 42 - (Bukan) Vampir dan Manusia Serigala

Chapter 42 - (Bukan) Vampir dan Manusia Serigala

Apa arti cinta sebenarnya bagi Tian? Tian bukan orang puitis ataupun rumit dalam mengartikan cinta.

Baginya cinta itu Aya. Mengapa? Karena Aya adalah sumber kebahagiaannya, Aya-lah yang bisa membolak-balikkan hatinya dengan mudah. Aya yang mampu membuat Tian mengikuti langkahnya.

Aya adalah candunya. Segala hal tentang Aya merupakan favorit Tian.

Tian tidak mengharapkan balasan yang sepadan, Tian hanya mengharapkan senyuman di wajah cantik itu tidak pernah pudar. Tian hanya ingin berada disamping wanta itu, memastikan setiap langkah yang diambil wanita itu adalah jalan yang baik.

Seperti saat ini, Tian merasa sangat tersiksa melihat Aya terus mengeluarkan air mata tanpa henti karena kehilangan seorang teman. Tian bertanya-tanya, apakah Aya akan sesedih ini saat giliran Tian nanti?

Jika iya, itu berarti Tian akan menyakiti wanita itu. Tapi Tian tidak ingin pergi menjauh dari Aya.

Tian menatap nasi dan sup yang kini sudah dingin itu. Makanan itu Tian siapkan untuk Aya makan, tapi Aya sama sekali tidak menyentuhnya saat Tian kembali dari pekerjaannya.

Tian mendekat, berjongkok dihadapan Aya yang terduduk sembari menatap pemandangan sore hari yang cerah.

"Aya, kenapa nasinya gak dimakan?" Cukup lama Aya terdiam sebelum akhirnya menjawab perkataan Tian.

"Aku gak lapar Yan." Tian menghela nafas panjang.

"Dimakan dong Ya. Nanti kamu sakit. Atau mau aku suapin?"

"Gak mau."

Tian berdiri, kemudian membawa tubuh itu kedalam pelukannya.

"Apa sesakit itu Ya?" Aya mengangguk lemah.

"Citra pasti gak suka lihat kamu kayak gini. Makan ya?"

"Nanti malam sekalian."

"Oke." Tian kembali berjongkok dihadapan Aya. Mengusap lembut wajah pucat itu.

"Ya, kamu kalau mau ngelakuin sesuatu bilang sama aku ya? Misal kayak mau belajar ngelukis. Aku pasti dukung." Aya mengangguk lagi.

Tian berdiri membiarkan Aya memiliki waktu untuk dirinya sendiri lebih lama lagi.

Tian menatap Wati yang terlihat sangat khawatir. Tian meminta Wati untuk menunggu hingga perasaan Aya membaik. Tapi ini sudah cukup lama, hampir satu bulan Aya hanya berdiam diri didalam kamarnya. Tidur atau melihat pemandangan dari jendela kamarnya.

Wati bahkan tidak menyangka, bahwa Aya mengirim surat pengunduran diri secepat itu. Namun perusahaan belum mengabulkan permohonan karena Aya masih memiliki proyek yang belum terselesaikan.

Bohong, Watilah yang mengulur-ngulur dewan atas untuk menerima surat pengunduran diri Aya. Wati tidak ingin kehilangan Aya juga.

"Gimana Yan?"

"Masih sama kayak kemaren Ti."

"Anak-anak tim proyeknya bener-bener kewalahan tanpa Aya."

"Aku rasa sulit bikin Aya mau balik kerja lagi."

"Aku tahu, tapi Yan aku gak mau pergi menjauh dari Aya. Apalagi setelah Citra pergi."

"Kenapa Ti? Kamu gak takut dapat mimpi Aya, setelah yang terjadi sama Citra." Wati menunduk dalam. Citra dan Aya adalah teman pertama yang Wati miliki. Bagaimana mungkin, Wati akan melepaskan Aya semudah itu setelah kehilangan Citra? Wati tidak bisa kehilangan Aya juga.

"Konteks dalam mimpi Aya adalah manusia."

"Terus? Maksud kamu, kamu bukan manusia?"

"Setengah benar." Tian membelalakan matanya, sepertinya Tian salah mendengar jawaban Wati.

"Setengah benar?"

"Ya, aku setengah manusia dan setengah vampir."

"Apa kau sedang mencairkan suasana? Kenapa tidak alien sekalian?" Tian tertawa terbahak-bahak.

"Aku tahu ini memang terdengar seperti candaan Yan. Tapi coba fikirkan alasan kenapa aku dijodohkan dengan Verdi." Tian mengangkat kedua bahunya, pasalnya Tian sama sekali tidak pernah menanyakan alasannya pada Verdi temannya ataupun Wati sendiri saat menjadi kliennya.

"Verdi adalah manusia serigala dan aku manusia setengah vampir. Kami berdua dijodohkan sebagai tanda perdamaian antara kedua ras kami." Tian mendengarkan dengan seksama saat Wati menceritakan kisahnya.

Tian terdiam sejenak. "Kau bercanda."

"Memang." Tian menghela nafas lega. Hampir saja Tian mempercayai ucapan Wati. Selera humor mereka memang tidak sama.

"Aku kira akan lucu."

"Sama sekali tidak. Dengan mimpi Aya, aku jadi percaya pada hal-hal seperti itu."

"Kau tahu? Mungkin memang ada hal-hal semacam itu."

"Maksudmu vampir dan manusia serigala?"

"Bukan, kamu tahu legenda tentang pengendali mimpi?"

"Itu hanya dongeng anak." Tian mengingatnya sebagai salah satu cerita sejenis danau toba, ratu pantai selatan.

"Siapa tahu memang benar ada, kamu tahu kisahnya bukan? Keturunan haram raja dari kerajaan Majapahit. Namanya pangeran Candra Purwaningrat yang digadang-gadang punya kekuatan untuk mengendalikan mimpi. Dia diasingkan, tapi berhasil kembali kedalam istana karena memiliki nyanyian merdu untuk memberikan rakyatnya mimpi indah. Kenapa kita tidak meminta bantuan pada pengendali mimpi untuk mengontrol mimpi Aya?" Wati benar-benar mencari semua informasi yang berkaitan dengan mimpi untuk Aya. Bahkan hal sekecil apapun tidak dilewati Wati, ini semua dilakukannya untuk membuat mimpi kematian Aya pergi dan tidak menghampiri Aya.

"Kau kira pangeran Candra masih hidup di zaman ini?"

"Kalau pangeran Candra memang tidak. Tapi keturunannya masih." Tian mengernyit, bisakah Tian menyimak hingga akhir cerita tidak masuk akal dari Wati ini? Tian sudah tidak tahan.

"Memangnya para keturunannya ini memiliki kekuatan yang sama seperti yang dimiliki pangeran Candra?"

"Bisa saja dan aku sudah mengirimkan daftar keturunannya ke emailmu. Coba periksalah." Tian meraih Ipad yang terletak didepannya.

Tian membuka notifikaksi dari Wati, beruntung karena Wati menjadi klien Tian dan mengirimkan semua berkas melalui email Tian. Sekarang, Wati merasa tebantu.

"Sebanyak ini?!" Tian menscroll layar Ipadnya. Angka didalam email yang Wati kirim mencapai ratusan. Lalu Tian harus menghampiri satu persatu dari mereka untuk tahu apakah mereka memiliki kekuatan pengendali mimpi begitu? Pasti sangat melelahkan.

Wati menggelengkan kepalanya sembari mendecakkan lidahnya. "Kamu salah. Coba lihat tahunnya. Data yang kukirim ini adalah keturunan dari generasi ke generasi."

"Kebanyakan sekarang sudah wafat Wat, terus kenapa kamu kirim ini ke aku?"

"Coba lihat nomor paling akhir."

Tian membelalakkan matanya sat melihat gambar yang sangat jernih, berbeda dengan foto-foto sebelum ini. Foto terakhir ini adalah foto seorang anak laki-laki yang sedang mengikuti upacara dengan mengenakan seragam abu-abu.

"Aku dibantu Verdi buat menemukannya, karena sudah sejak dua puluh tahun terakhir, mereka sudah tidak mendokumentasikan lagi keturunan dari pangeran Candra demi privasi mereka. Anak itulah satu-satunya keturunan dimasa ini yang bisa Verdi temukan."

"Dia masih SMA."

"Iya, aku bahkan sudah tahu dimana sekolahnya, kota tempat dia tinggal sampai makanan kesukaannya."

Tian mengusap wajahnya, tidak mudah memang memperjuangkan cinta.

"Terus, aku harus bagaimana? Anak itu belum tentu memiliki kekuaan yang dimiliki pangeran Candra." Wati mengangkat kedua bahunya, sebenarnya Wati juga tidak yakin bagaimana cara membuktikan adanya kekuatan itu.

"Aku juga gak tahu." Tian menutup Ipadnya seketika. Hal yang sia-sia mendengarkan wati yang mengoceh tak jelas sedari tadi.

"Mending kamu pulang Wat, udah ditunggu Verdi tuh." Ucap Tian sembari membukakan pintu dan Wati terkejut melihat mobil Verdi yang terparkir didepan rumah Aya. Padahal Wati kerumah Aya sendiri dan Wati tidak meminta Verdi untuk menjemputnya. Ini pasti ulah Tian.

"Yan, dengerin cerita aku sampai selesai. Ini belum semuanya. Verdi biarin aja nunggu disitu. Ini demi Aya Yan."

Tanpa Wati sadari dirinya sudah tepat berada didepan pintu rumah Aya.

"Ini masih sore, ngantuk banget denger dongeng dari kamu. Mending kamu dongengin Verdi."

"Tapi Yan.."

Pintu tertutup. Wati mendengus sebal. Wati hanya ingin membantu Aya, itu saja. Tapi Tian malah tidak ingin mendengarkannya.

"Malah ngusir aku. Padahal ini rumah Aya, bukan rumahnya!" Gumam Wati.

Tiba-tiba pintu itu kembali terbuka dan menampilkan Tian.

"Aku denger, awas aja kamu kesini bawa cerita aneh lagi. Gak aku bukain pintu!" Pintu kembali tertutup.

Sudahlah, Wati butuh energi dan segera berlari kedalam pelukan Verdi. Tak lupa mengadukan setiap ucapan menyebalkan dari teman suaminya itu.