Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 41 - Kehilangan

Chapter 41 - Kehilangan

Seberkas cahaya menyilaukan datang bersamaan dengan tangan hangat yang menggenggam tangan Aya, seolah menghentikan tindakan yang akan Aya lakukan.

Pandangan Aya naik secara perlahan, pandangannya yang masih belum bisa fokus, menangkap sosok tak asing yang sangat Aya rindukan. Sosok yang Aya kira tidak akan pernah bisa ditemuinya lagi.

"Ayah." Lirih Aya.

"Apa Ayah tahu apa yang baru saja Aya lalui?" Ayah Aya mengangguk dan Aya kembali terisak. Ini terasa sangat berat.

"Kenapa? Kenapa dunia kejam banget sama Aya yah. Aya salah apa?" Ayah Aya hanya bisa menanggapi pertanyaan yang anaknya lontarkan dengan gestur gelengan. Ini semua bukan salah Aya, bukan salah siapapun atas semua hal yang terjadi. Gunawan ingin menyampaikan hal itu melalui gelengannya.

Sungguh, Gunawan telah mengorbankan banyak demi kebahagiaan putrinya. Namun ternyata kebahagiaan itu hanyalah sebuah kepalsuan. Nyatanya Aya menangis tersedu-sedu saat ini.

Perlahan Aya menjatuhkan pisau yang hampir melukai pergelangan tangannya sendiri. Tangan Aya beralih menggenggam tangan Ayahnya.

"Ayah jangan pergi!"

"Kenapa ayah diem aja? Ayah jangan pergi ya?" Aya mengeratkan genggaman tangannya pada ayahnya yang tubuhnya setengah tembus pandang itu.

Dengan perlahan sosok Ayah Aya kembali menghilang bagai sebuah gambar yang memudar. Aya menangis, Aya hanya menginginkan ayahnya ada disisinya saat ini. Tapi Aya tidak di izinkan.

Aya memang manusia yang ditakdirkan untuk hidup sendiri. Tanpa bisa merasakan kehangatan sepenuhnya hingga akhir.

Karena belum sempat sampai akhir, orang-orang itu direnggut dengan paksa darinya. Dosa apa yang Aya perbuat hingga ia mendapatkan hukuman sekejam ini.

Kenapa dunia ini hanya kejam kepada dirinya? Kenapa dunia ini memberikan rasa sakit pada Aya begitu besar?

Aya terjatuh dan kehilangan kesadaran.

*

Mata Aya menangkap lantai putih disaat mata terbuka untuk pertama kalinya setelah pingsan semalaman. Aya bangkit sembari memegangi kepalanya yang pening.

Tertidur dilantai selama seharian seluruh tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa hebatnya. Aya menatap jendela kamarnya yang masih tertutup dengan rapat.

Aya membuka jendela itu dan membiarkan cahaya matahari masuk menerangi kamarnya. Aya terduduk di pinggiran ranjangnya dengan fikiran kosong.

Hari ini adalah hari dimana Citra akan mendonasikan organ tubuhnya, setelah itu Citra akan dimakamkan. Aya ingat itu, tapi Aya tidak ingin datang pada pemakaman Citra. Aya tidak pantas bahkan hanya untuk menangisi kepergian Citra, karena Aya-lah penyebab semua ini terjadi.

Namun tetap saja, matanya tidak bisa menyembunyikan air mata yang menggenang.

Brak!

Aya menoleh saat pintu kamarnya dibuka paksa. Aya mendapati Tian dengan nafas terengah-engah berdiri di ambang pintunya.

Tian berjalan cepat menghampiri Aya dan segera merengkuh tubuh ringkih itu kedalam pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Aya, air mata yang semula ditahan sekuat tenaga kini semakin mengalir dengan deras.

"Ke.. kenapa lama sekali pulangnya?" Tanya Aya disela tangisnya.

"Maafin aku Ya. Aku telat." Tian memeluk tubuh Aya semakin erat.

"Dasar pembohong. Dua tiga hari apanya." Tak dapat dipungkiri, memang hanya Tianlah yang mampu membuat perasaan Aya menjadi sedikit membaik.

"Maafin aku Ya."

"Maafin aku."

Tian mengusap air mata Aya dan sesekali mengecup puncak kepala Aya, berharap ada sedikit rasa aman yang tersalurkan.

"Citra..."

"Ssssst, aku tahu." Tian berjongkok dihadapan Aya, menghapus jejak-jejak air mata yang membekas dipipinya. Mencari titik-titik kecantikan Aya yang tertutupi oleh banyaknya kesedihan.

"Ini semua salah aku Yan. Andai aku gak menerima pertemanan Citra dengan mudah." Tian menggeleng, tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya karena melihat Aya yang sangat hancur.

"Ini bukan salah kamu Ya. Ini cuma takdir yang udah ditentukan."

"Lalu... kenapa takdir itu harus terjadi melalui mimpiku Yan? Aku gak ngerti."

"Itu karena kamu spesial Ya." Aya terkesiap dengan ucapan Tian. Bagai terhipnotis, hati Aya menghangat. Namun dengan cepat Aya menyadarkan dirinya dari angan-angan yang tinggi itu.

"Ini salah Yan, seharusnya kamu gak boleh ada disini. Bisa jadi kamu orang selanjutnya yang mati gara-gara mimpi aku." Aya mendorong Tian pergi menjauh dari dirinya.

"Pergi!" Aya mendorong tian sekuat tenaga, sesekali memukul-mukul bahu Tian. Namun, Tian tidak bergeming. Segala rasa sakit itu Tian terima demi membuat perasaan Aya membaik.

"Aku bilang pergi!" Aya menyerah, ia membiarkan dirinya jatuh kedalam pelukan Tian sekali lagi.

"Aku gak akan pergi Ya. Bahkan ketika mimpi itu datang untuk mencariku. Aku gak takut." Tian tetap sama dengan Tian beberapa tahun lalu, yang tetap keras kepala untuk berada disamping Aya.

"Kenapa?" Tian melepas pelukannya saat Aya bertanya dengan lirih. Tian menatap lekat mata Aya.

"Karena aku cinta sama kamu sedari masih dikandungan." Aya mengulum senyum, bolehkan Aya merasa senang disaat seperti ini?

"Selama itu?" Tian tersenyum lembut kearah Aya sembari menganggukkan kepalanya.

"Kamu gak kangen sama aku Ya?" Aya menunduk dalam, hatinya dilanda keraguan dan rasa bimbang yang amat besar. Aya takut akan menerma hukuman karena merasakan sedikit kebahagiaan disela kesedihannya.

Memang hanya Tian-lah yang mampu membuat Aya melupakan segalanya. Kepada dunia bahkan kepada mimpi terkutuknya.

"Kok diem aja?" Sontak Aya menganggukkan kepala. Tian tersenyum, sedikit ingin menggoda Aya.

"Maksudnya gini tuh apa?" Tanya Tian sembari menirukan anggukan kepala Aya tadi.

"Ya... aku juga."

"Juga apa?"

"Ya itu."

"Cinta sama aku?" Aya mendelik.

"Kangen!" Tian terkekeh. Memang sulit bagi Aya untuk membuka lebar hatinya. Masih ada batasan yang Aya bangun diantara mereka. Tian harap suatu hari batasan itu akan lenyap dimakan waktu. Tian akan sabar menanti, bahkan ketika usianya sudah tua nanti.

"Oke-oke. Sekarang jangan sedih lagi." Aya kembali muram.

"Kalau itu aku gak bisa."

"Ya udah, kalau gitu mau ikut ke pemakaman Citra gak?" Tian bisa merasakan tubuh Aya yang bergetar hebat, sorot matanya mulai tak fokus.

Namun dengan sekuat hatinya, Aya menganggukkan kepala.

"Gak apa-apa Ya, aku tahu kamu kuat. Citra juga gak akan suka kalau lihat kamu kayak gini."

Aya menatap uluran tangan Tian. Tangan yang selama ini mendukungnya, tangan yang selama ini mendorong Aya keluar dari kegelapan, tangan yang menangkap Aya disaat Aya terpuruk. Bolehkah Aya meraihnya lebih banyak lagi? Bolehkah Aya bergantung lebih lama lagi?

Dengan perlahan Aya menerima uluran tangan Tian, kemudian keluar dari kamarnya. Aya terkejut saat melihat semua orang berkumpul diruang tamunya.

Wati dan Verdi serta rekan setimnya yang juga mengenal Citra, ada disini untuk mendukungnya dan memberikan Aya kekuatan.

Wati mendekat,baik Aya maupun Wati sama-sama menahan tangisnya. Wati memakaikan Aya kerudung untuk menutupi kepala Aya.

Meira dan Angel ikut mendekat mengambil tangan Aya dari Tian, kemudian menuntunnya masuk kedalam mobil, diikuti dengan yang lain.

Selama perjalanan Aya menatap langit cerah yang seakan-akan siap menyambut kedatangan Citra. Langit pasti tahu, Citra adalah satu diantara ribuan manusia baik lainnya yang memiliki rasa kemanusiaan tertinggi.

Aya tahu, Citra tidak benar-benar mati. Citra akan tetap hidup didalam tubuh orang-orang yang akan menerima donor darinya.