Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 40 - Kisah malam sunyi

Chapter 40 - Kisah malam sunyi

Citra sangat bodoh memberitahu Aya bahwa semalam dirinya hanya PMS. Padahal yang sebenarnya Citra habis menangis semalaman karena Farhan tega memukulnya.

Citra ingin mengatakan yang sebenarnya pada Aya, tapi Citra tahu saat ini adalah masa-masa penting Aya menangani sebuah proyek besar. Citra tidak ingin dirinya mengganggu kegiatan Aya.

Beruntung, karena Aya terdengar percaya pada kebohongannya.

Semalam, saat Wati dan Aya pergi meninggalkannya sendiri. Sebuah mobil datang, Citra kira itu adalah Umi dan Abinya. Ternyata Farhan-lah yang datang.

Citra tidak mengizinkan Farhan masuk karena sudah malam, jadi mungkin itu yang membuat Farhan marah dan memukulinya. Padahal Farhan hanya berniat untuk pamit sebelum pergi dari negara ini.

Citra melihat luka lebam hampir diseluruh tubuhnya ini. Sungguh memilukan.

Umi dan Abinya pulang hampir tengah malam dimana Farhan sudah pergi dan Citra sudah memebersihkan satu gelas yang pecah.

Citra menyembunyikan seluruh tubuhnya yang penuh luka dibalik selimutnya saat Umi mengecek kedalam kamarnya. Beruntung, Umi tidak tahu.

Sekarang hanya Umi yang sedang berada dirumah. Citra kelaparan dan mau tidak mau turun dari kamarnya menuju dapur. Dimana wangi masakan tercium dengan sangat harum.

Citra sedikit beruntung karena kebiasaan berpakaiannya adalah menggunakan pakaian panjang. Jadi Citra tidak terlalu khawatir karena ini menutupi banyak luka lebam di dalamnya.

"Umi masak apa?" Umi tersenyum.

"Kesukaan kamu semua ini."

"Waah, makasih Umi." Mata Citra berbinar melihat satu meja makan dipenuhi oleh makanan kesukaannya.

Tanpa menunggu waktu lagi, Citra membalikkan piring bersih yang ada dihadapannya dan mulai memasukan nasi sebanyak dua centong tak lupa dengan sayur dan lauk kesukaannya.

"Oh ya, semalem Aya sama Wati gak jadi nginep?" Tanya Umi, karena semalam saat pulang tidak mendapati Aya atau Wati tidak ada didalam rumahnya ini.

"Semalem Wati di jemput sama suami, mau rujuk kayaknya."

"Wah, bagus dong. Umi ikut seneng dengernya." Citra menganggukkan kepalanya setuju.

"Kalau Aya kenapa?"

"Tian sakit, jadi Aya nyusulin Tian ke rumah sakit."

"Sakit apa?" Ujar Umi tiba-tiba khawatir dengan kondisi Tian.

"Umi kenapa? Biasanya aja gak suka sama Tian, sekarang kenapa mau tahu?"

"Umi kan bukannya gak punya rasa kemanusiaan juga."

"Sebenernya Citra juga belum tahu sih Mi." Kata Citra diakhiri dengan tawa kecil.

"Oh ya, bibi-bibi Umi pulangin semua ke kampung hari ini. Udah lama gak kasih mereka cuti, itung-itung Umi biar gak lupa caranya masak sama bersih-bersih."

"Boleh tuh." Ungkap Citra menyetujui keputusan Umi-nya.

"Makannya dihabisin, Umi mau pergi ke arisan sebentar lagi. Kamu dirumah sendiri gak apa-apa kan?"

Citra tersenyum kearah Umi-nya. Citra sudah sangat dewasa untuk dikhawatirkan apabila ditinggalkan dirumah sendirian.

"Ya gak apa-apa dong Umi. Asal jangan lupa oleh-olehnya."

Umi tertawa pelan. "Emang nau dibawain apa?"

"Eeehmm, gamis sama pashmina ya Umi yang putih bersih. Citra kayaknya belum ada yang warna itu deh." Umi menggelengkan kepalanya mendengar permintaan anaknya ini, pajaknya benar-benar diluar dugaan. Biasanya Citra akan meminta cake atau minuman boba.

"Iya deh. Nanti Umi belikan di butik langganan Umi." Citra tersenyum senang menyambut pelukan hangat Uminya. Umi dan Abi tidak pernah menolak keinginan Citra.

"Sayang banget seh sama Umi."

"Umi juga sayang banget sama kamu."

*

"Itulah pagi terakhir dimana mereka."

Aya dan Wati termenung diam, mereka terus menyalahkan diri mereka sendiri karena meninggalkan Citra malam itu.

"Lalu malamnya, saat Umi masih berada di acara arisan itu. Abinya juga belum juga datang. Dengan posisi Umi dan Abi sedang berada diluar dan semua pembantu bibi pulangkan. Citra yang lagi sakit sendirian dirumah." Umi terisak, seandainya waktu bisa berputar kembali. Dengan sigap Aya merangkul bahu Umi, menyalurkan sedikit kekuatan.

"Malam itu datang pencuri. Mereka melihat Citra dan memukul kepalanya hingga keras. Memang tidak ada luka dengan fisiknya, namun dengan pukulan itu memyebabkan otaknya bermasalah. Beruntung malam itu Farhan datang dan langsung membawa Citra kerumah sakit. Tapi... semua sudah terlambat. Pupil Citra membesar, dokter mengatakan sudah tidak ada harapan lagi. Saat itulah Umi tahu bahwa Citra terdaftar sebagai pendonor."

Aya menarik nafasnya dalam-dalam. Sekeras mungkin menguatkan hatinya yang tergores begitu dalam. Kehilangan seorang teman yang sangat kalian sayangi, Aya harap hanya Aya saja yang merasakan begitu banyak kehilangan. Tapi mimpinya, juga menyebabkan orang lain kehilangan seseorang yang berarti.

"Umi, Citra memang seperti itu. Bahkan diakhir hidupnya, ia masih memikirkan orang lain. Itu memang Citra yang kita kenal." Ujar Wati menguatkan Umi.

"Tapi Umi, kenapa Umi sangat sulit dihubungi, rumah juga sangat kosong pas kita datang. Kita kebingungan banget cari keberadaan Citra, Umi."

Umi menghela nafasnya panjang. Tak ada gunanya disembunyikan lagi.

"Sebenarnya, malam itu Farhan membunuh secara brutal kedua pencuri itu. Semua warga bermufakat untuk menutup kejadian itu rapat-rapat. Umi sendiri sebenarnya tidak setuju..."

"Rumah itu dipenuhi oleh kenangan Citra dari kecil hingga dewasa. Sekaligus lokasi pembunuhan dua orang pencuri. Umi dan Abi akan menjualnya setelah semua urusan selesai." Aya terdiam, tidak bisa mencegah Umi pergi karena Aya tahu lebih baik Umi menjauh darinya agar tidak mendapatkan mimpi kematian dari Aya.

"Farhan ditahan oleh polisi." Ucap Umi menyadari rasa penasaran keluar dari sorot mata Verdi. "Rumah kita ditutup, sebagian alasan juga karena sebagai tempat lokasi kejadian oleh polisi." Verdi memgangguk paham.

"Besok kalian hadir ya? Dipemakaman Citra." Bagaikan dipukul palu. Aya dan Wati tersadar, mereka akan segera kehilangan sosok teman dengan begitu mudahnya.

Mereka kembali meneteskan air mata, dalam lubuk hati mereka berharap bahwa Citra akan membuka matanya segera. Tapi itu semua mustahil.

"Wati!" Verdi berteriak saat istrinya terjatuh pingsan. Dengan cepat Verdi mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pergi menuju UGD rumah sakit yang diarahkan oleh Umi. Umi mengikuti mereka karena merasa bersalah menimpa Wati dengan begitu banyak kenyataan pahit ini.

Aya terdiam menatap kepergian mereka. Bagaimana mungkin Aya tega membuat mereka mengalami kutukan mimpi kematian?

Aya tidak bisa, Aya tidak sanggup untuk kehilangan lebih banyak orang lagi. Dengan langkah cepat Aya pergi dari sana. Pergi dari rumah sakit, menuju rumahnya sendiri untuk mencari ketenangan. Aya mengisolasi dirinya sendiri dari rasa sakit yang tiada tanding ini.

Kenapa? Kenapa harus dirinya yang membawa kutukan kematian itu? Kenapa orang-orang tersayangnya direnggut satu per satu secara paksa?

Aya marah, Aya kesal pada dirinya sendiri yang memiliki takdir semacam ini.

Aya menangis dengan kencang disudut pojok kamarnya. Menyalahkan dirinya sendiri tentang semua yang telah terjadi. Tentang semua kematian yang hadir dalam mimpinya.

Aya manusia terkutuk, seharusnya ia tidak terlahir kedunia ini. Seharusnya Aya membunuh dirinya sendiri sedari dulu. Bayangan akan kehilangan sosok terkasih lagi, menusuk jantungnya hingga terasa sakit begitu hebatnya.

Aya menangis, menangis dan menangis. Tidak ada yang bisa menghentikan tangisannya kali ini, tidak ada lagi sosok Ayah yang akan menenangkannya lagi, tidak ada Tian juga disisinya. Aya hancur seperti kertas yang telah di sobek-sobek hingga memiliki bentuk yang acak.

Aya tidak bisa membiarkan seseorang mati lagi karena mimpinya. Sedari awal Aya-lah yang seharusnya pergi meninggalkan dunia ini.

Aya menarik nafas dalam-dalam. Tangan kanannya sudah memegang sebilah pisau, bersiap untuk mengiris tangan kirinya.

Aya menutup matanya sejenak.

Selamat tinggal dunia!