Ranya telah siap dengan dress berwarna biru pastelnya. Ia mengerucutkan bibirnya melihat kaki telanjangnya. Padahal jika dipadukan dengan sepatu heels berwarna putih, penampilannya mungkin akan terlihat lebih cantik. Ranya menatap pantulan wajahnya di cermin sekali lagi, memastikan riasan wajah karya Onix tidak aneh di wajahnya. Bukannya meremehkan kemampuan Onix. Perempuan paruh baya itu sangat ahli dalam segala bidang. Hanya saja Ranya kurang percaya diri terhadap wajahnya yang terbilang pas-pasan. Bahkan dulu saat duduk di bangku SMP, Ranya pernah dibully karena penampilannya yang sedikit kucel.
"Anda sudah terlihat sempurna, Luna," puji Onix dengan senyuman di bibirnya. Seolah bangga dengan polesannya di wajah Ranya.
Ranya mengangguk. Ia berjalan sedikit tertatih keluar dari kamarnya. Ia sedikit kaget melihat Xander berdiri di sebelah pintu kamarnya, seolah sedang menunggunya bersiap-siap.
"Kau sudah lama menunggu?" tanya Ranya merasa tidak enak. Ia cukup lama menghabiskan waktu hanya untuk sekadar mandi dan memilih baju.
Xander menggeleng. Ia tersenyum tipis. "Ayo kita mulai berkeliling." Xander berjalan mendekat membuat Ranya sedikit mengerutkan dahinya.
"Kau mau apa?" tanya Ranya.
"Tentu saja menggendongmu. Kakimu belum sembuh total."
"Tidak usah. Aku bisa berjalan sendiri," tolak Ranya.
"Jika kau paksakan berjalan, maka akan lebih lama proses penyembuhannya." Xander masih tetap bersikeras tidak membiarkan Ranya berjalan.
Baru saja Ranya membuka mulutnya hendak melayangkan protes, Xander langsung memotong, "Kugendong atau tidak berkeliling sama sekali."
Ranya mengembuskan napas kesal. Ia memutar bola matanya malas lalu memasrahkan diri digendong oleh Alpha tampan itu.
"Oke, pertama-tama kau akan membawaku ke mana?" tanya Ranya antusias.
Xander tampak berpikir sejenak sebelum melangkahkan kakinya ke sebuah tempat. Setelah berjalan cukup lama, Xander menghentikan langkahnya.
"Ini Taman Yaerd." Xander menjeda cukup lama sebelum melanjutkan, "taman ini dulunya dibuat oleh seorang Witch untuk kakekku sebagai tempat pengisian tenaga para werewolf."
"Healer?"
Xander tersenyum tipis. "Bisa dibilang seperti itu."
Ranya berdecak kagum. Taman Yaerd itu dipenuhi dengan bunga berwarna kuning yang entahlah, Ranya juga tidak mengetahui nama bunga itu. Sejujurnya, Ranya bukan tipe gadis yang menyukai bunga. Yang ia lakukan sejak kecil adalah terus mencari cara agar kedua orang tuanya dapat menyukainya. Walau itu sedikit mustahil. Ranya sendiri juga tidak tahu mengapa kedua orang tuanya itu sangat membencinya.
"Apa yang kau lamunkan?" Ranya tersentak dari lamunannya. Ia menoleh pada Xander yang menatapnya dengan wajah datarnya itu. Ranya sangat heran pada pria itu, seperti memiliki beberapa kepribadian, kadang bisa hangat sehangatnya, tetapi kadang juga bisa sangat dingin membuat Ranya sendiri takut menatap lelaki itu lama-lama.
"Tidak ada. Hanya saja kau tampan."
~~~
Mereka cukup lama berjalan. Sang Alpha menggeleng lalu tersenyum kecil melihat Ranya yang tampak tak kelelahan sedikit pun. Gadis itu terus menampilkan wajah antusias alami membuat kecantikannya bertambah. Xander sangat bersyukur terhadap moon goddes karena telah diberikan seorang mate seperti Ranya. Tapi ada sesuatu hal yang terus menganggu pikirannya.
Rafael. Alpha dari Zero Pack mendatanginya kemarin. Itulah sebabnya ia tidak bisa menepati janjinya pada Ranya. Tapi bukan itu yang menganggu Xander, melainkan ucapan Rafel padanya.
Flashback~
"Aku ingin kau mengembalikan adikku padaku," kata Rafael, Alpha dari Zero Pack tegas.
Tentu saja hal itu membuat Xander bingung. Ia menatap tajam Rafael. "Tuduhan macam apa lagi ini, alpha?" tanya Xander dengan suara beratnya.
Bibir Rafael menampilkan seringaian kecil yang tampak mengerikan. "Sebenarnya aku tidak ingin mengungkit masa lalu. Tapi tidak capek kah kalian terus mencuri sesuatu milik pack kami?"
"Aku tidak mengerti maksudmu. Kami tidak pernah mencuri sesuatu," kata Xander datar.
Rafael tersenyum. "Terserah kau. Tidak ada penjahat yang mengaku. Intinya, aku ingin kalian mengembalikan adikku!"
Xander mengembuskan napas jengkel. "Althous!" panggilnya dan sedetik kemudian, seorang pria dengan rahang tegas dan mata hijau terang berdiri di hadapan Xander.
"Antar tamu kehormatan kita keluar." Setelah mengatakan itu, Xander bangkit dari kursinya.
"Gadis yang kalian bawa beberapa hari yang lalu." Xander sontak menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Rafael yang sudah berdiri menatapnya angkuh.
"Ia adalah adikku."
Tubuh Xander menegang. Sebuah nama terlintasi di otaknya. Ranya. Matanya berubah warna menandakan sosok wolf-nya terus memberontak ingin keluar. Sepertinya sisi wolf Xander tak sabar ingin mencabik-cabik tubuh Rafael.
"Bawa dia keluar!" titah Xander dengan suara berat. Lebih berat dan berbeda dari biasanya.
Tak ingin Sang Alpha semakin marah, Althous berjalan mendekati Rafael. "Maaf, Alpha. Mungkin Anda harus pergi sekarang dan kembali lain waktu."
Rafael menatap Althous tak suka. "Aku tak akan pergi tanpa membawa adikku!" Tepat setelah Rafael mengatakan itu, ia merasakan lehernya tercekik kuat. Xander tampak kelepasan atau mungkin itu adalah Leo.
"Saat kukasih kesempatan seharusnya kau pergunakan dengan baik, Alpha Rafael." Mata amber dan violetnya menyala-nyala.
"Kubilang, aku tidak akan pergi tanpa melihat adikku!" ujar Rafael masih keras kepala.
Xander menghempaskan Rafael ke dinding dengan kuat. "Aku tidak peduli. Pergi sebelum kuhancurkan pack lemahmu itu."
Flashback end~
"Xander?" panggil Ranya. Lelaki itu tampak tersentak dari lamunannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ranya cemas.
Xander tersenyum, mencoba menenangkan Ranya. "Tidak. Tidak ada. Kau tidak lelah? Hari sudah mulai gelap."
Ranya tampak tak percaya dengan ucapan Xander tapi ia hanya menganggukkan kepalanya. "Iya, sepertinya kau butuh istirahat."
Xander terkekeh. "Bukan aku. Tapi kau."
"Hah? Eh iya, maksudku aku butuh istirahat." Ranya tampak salah tingkah.
Xander tersenyum lagi. Rasanya ia banyak tersenyum sejak kehadiran mate-nya itu. Ia akan mempertahankan Ranya di sisinya dengan cara apapun.
~To be continue
.
.
—Thanks, God:)