Ranya masuk ke bangunan bertuliskan Fakultas Psikologi dengan perasaan takut serta risih, karena ditatap remeh oleh mahasiswa yang berada di sekitarnya. Ia berjalan dengan cepat, mengabaikan mereka yang mulai berbisik-bisik seraya meliriknya sinis. Tujuannya datang ke sini adalah kuliah, bukan tawuran.
"Heh, miskin!"
Ranya menghentikan langkah. Tubuhnya mematung, ia berbalik perlahan dan benar saja, Audrey berdiri di sana bersama kedua dayangnya, Dera dan Vio. Merekalah yang membuat Ranya selalu merasa takut untuk datang ke kampus dan mereka juga yang membuat seluruh mahasiswa lain ikut menindasnya.
"Mental lo oke juga masih bisa bertahan di sini," ujar Audrey sinis.
"Aku cuma mau belajar, Audrey. Tolong berhenti menggangguku," pinta Ranya lirih.
Audrey tersenyum sinis. "Cium kaki gue, maka gue bakal berhenti gangguin elo. Gimana?"
Ranya terdiam. Apakah ia benar-benar harus mencium kaki gadis di hadapannya demi sebuah kebebasan yang sudah menjadi haknya? Ranya menarik napas dalam-dalam.
"Maaf, Audrey. Aku tidak akan mencium kakimu. Mulutku terlalu suci untuk kaki busukmu itu!" jawab Ranya lantang membuat seluruh mahasiswa yang melihatnya tercengang.
Ranya, si gadis miskin yang mendapat beasiswa, hingga dapat berkuliah di Brown University. Di mana itu adalah salah satu universitas terbesar, terelite, dan paling terkenal di Kota Javernish. Gadis yang sering menjadi bahan bully-an seluruh mahasiswa fakultas psikologi, karena dialah satu-satunya mahasiswi yang berkuliah dengan modal beasiswa hingga mereka menyebutnya 'si gadis miskin'. Mereka tidak tahu saja, keluarga Ranya adalah keluarga yang bercukupan. Sayangnya, orang tuanya tidak sebaik itu hingga mau menguliahkan Ranya di universitas semahal itu.
Ranya mendengus pelan lalu berbalik meninggalkan Audrey yang terdiam dengan wajah memerah, menahan rasa emosi dan kesal. Ia tahu, hidupnya akan lebih menderita lagi setelah ini. Apalagi Audrey merupakan anak pemilik universitas ini.
-••-
Ranya menatap kertas yang berada di tangannya. Kertas yang berisi perizinan untuk camping bersama fakultas psikologi selama 3 hari 2 malam. Ranya tidak tahu bagaimana cara meminta tanda tangan kedua orang tuanya. Yang ada, belum bertanya, kedua orang tuanya sudah memukulnya terlebih dahulu.
Ia memegang pagar balkon dan menghirup udara segar dalam-dalam. Ia memejamkan matanya, menikmati angin kecil yang mengelus wajahnya lembut. Berharap angin itu dapat membawa pergi semua penderitaannya.
Ranya sering memimpikan seorang pangeran datang menjemput dan membawanya pergi dari rumah ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman justru menjadi tempat yang paling berbahaya baginya. Ranya mengernyit kecil melihat kedua orang tuanya masuk ke dalam mobil. Ia menghela napas lega, sepertinya mereka akan pergi lagi dan pulang besok pagi seperti yang sering terjadi beberapa bulan ini.
Ranya melebarkan matanya ketika sebuah ide terlintas di otaknya. Ia mengambil jaketnya dan berlari keluar kamar. Menghampiri pembantunya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Ia akan meminta bantuan Bu Sumi saja untuk menandatangani surat izin itu. Sesampainya di rumah Bu Sumi, Ranya mengetuk pintu rumah itu. Tak lama kemudian, muncul lah seorang perempuan paruh baya dari balik pintu dengan senyuman hangat.
"Ada apa Nak Ranya malam-malam kemari?" tanya Bu Sumi lembut.
"Ranya mau minta tolong, Bu."
"Minta tolong apa toh, Nak?"
"Kampus Ranya mau ngadain camping bersama, tapi harus minta tanda tangan untuk surat izin dulu. Dan ... Bu Sumi pasti tahu, Ranya gak berani minta tanda tangan sama Papa dan Mama." Ranya menundukkan kepalanya lesu.
Bu Sumi mengelus bahu Ranya. "Jangan sedih. Pasti Bu Sumi bantu. Mana kertasnya?"
Ranya mengangkat kepalanya cepat lalu tersenyum lebar. Ia menyodorkan kertas dan pulpen kepada Bu Sumi. Setelah menandatangani, Bu Sumi mengembalikan kertas dan pulpen itu.
"Mau mampir dulu, Nak?"
Ranya menggeleng. "Gak usah, Bu. Udah malam, Ranya langsung pulang aja. Terima kasih banyak ya, Bu."
Bu Sumi tersenyum. Senyuman yang membuat hati Ranya menghangat. Senyuman yang tak pernah bisa ia dapatkan dari sang ibu.
"Gapapa. Kamu yang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung sebut Bu Sumi tiga kali. Dijamin Bu Sumi pasti ..." Bu Sumi menggantungkan ucapannya.
"Pasti datang?" tebak Ranya.
"Pasti gak dengar lah." Bu Sumi tertawa.
Ranya terkekeh. "Bisa aja ngelawaknya, Bu. Yaudah, Ranya pamit dulu ya."
-••-
Dan inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh mahasiswi fakultas psikologi. Mereka sudah sampai di hutan, tempat mereka akan mengadakan camping selama 3 hari 2 malam itu. Langit sudah mulai menggelap, tanda malam akan tiba. Semuanya sibuk mendirikan tenda termasuk Ranya. Gadis itu tampak kesusahan mendirikan tenda sendirian. Sementara teman setendanya malah bersantai-santai sambil berfoto ria. Ranya menghela napas lelah.
"Woy miskin!"
Ranya menghentikan aktivitasnya. Ia berbalik dan menatap Audrey bersama dua dayangnya berdiri tegap dengan wajah angkuhnya.
"Lo disuruh Kak Silvia cari kayu bakar untuk buat api unggun nanti malam."
Ranya mengernyit. Kenapa Kak Silvia bisa mendadak menyuruhnya? Bahkan ia tidak mengenal orang itu. Ia menatap Audrey curiga. Takut ini adalah jebakan dari cewek itu.
"Apa? Lo gak percaya sama gue?"
"Bukan sep--"
"Ah sudah lah! Pokoknya gue sudah menyampaikan. Terserah lo mau percaya atau gak. Gue tidak tanggung jawab ya kalau lo dihukum olehnya."
Ranya menatap punggung Audrey yang mulai menjauh dari pandangannya. Ia menggaruk tengkuknya bingung. Satu sisi, ia takut dihukum. Satu sisi lagi, ia takut itu semua hanyalah akal-akalan dari Audrey saja.
"Biar gue temani."
Ranya tersentak kaget melihat seorang cowok berdiri di depannya tiba-tiba. Ia memicingkan matanya, merasa familiar dengan cowok itu. Tetapi di mana?
"Kenalkan nama gue Faro Hermes."
Ranya membulatkan matanya. Faro Hermes, seniornya yang sudah semester 7 itu? Ya Tuhan, Ranya langsung menjauhkan tubuhnya dari cowok itu. Bukannya apa, Faro adalah cowok paling populer di Brown University. Dan jika ada yang melihat dirinya dekat bahkan berbicara dengan cowok itu, maka tamatlah dia.
"Lo kenapa? Apa wajah gue seseram itu?"
"Ah tidak. Hanya ... hanya ...."
Faro terkekeh. "Lupakan. Jadi lo mau gue temani apa enggak?"
"Temani apa?" tanya Ranya bingung seraya menatap kanan kiri waspada.
"Mencari kayu bakar."
"Tidak usah. Aku bisa sendiri," tolak Ranya halus.
"Lo yakin?" Faro menyipitkan matanya, "Seorang gadis masuk ke dalam hutan sendirian?"
"Bagaimana lo seyakin itu dirinya masih gadis?" celetuk seseorang.
Mata Ranya membulat sempurna. Tamatlah sudah. Audrey berdiri di belakangnya dengan seringai menyeramkan. Bukan rahasia lagi kalau Audrey mengejar Faro sejak satu bulan yang lalu. Dan bukan rahasia lagi, Audrey akan menghabisi setiap perempuan yang berbicara dengan Faro.
"Mati lah aku."
To be continue~