Melihat Kirana menangis Raden mulai merasa bersalah, kali ini dia benar-benar sudah keterlaluan mengerjai Kirana hingga ketakutan dan menangis seperti itu. Mau bagaimanapun juga, Kirana adalah orang yang telah menyelamatkan nyawanya.
Tanpa berkata apapun, Raden kembali memeluk pinggang Kirana. Tapi kali ini ia tidak mau Kirana ketakutan lagi, Raden mencoba membimbing Kirana untuk berpegangan dengan benar.
Tangan kiri Kirana dibimbing untuk memeluk pinggang Raden, sedangkan satu tangannya lagi di taruh di pundak sebelah kanan Raden. Namun Kirana merasa ragu, dia tetap pada posisi awal dan tidak ingin melepaskan tangannya karena takut dirinya akan terjatuh ke bawah.
"Jangan takut, coba buka matamu" ucap Raden berbisik lembut.
"Tidak, kamu pasti akan menjatuhkanku kan? Kamu jahat, suka sekali menyiksaku!" ucap Kirana kesal dan terisak.
"Jika kau banyak berbicara maka aku benar-benar akan menjatuhkanmu!" ucap Raden mulai habis kesabaran.
"Tuh kan... Kau memang jahat... Huu huuu" tangisan Kirana malah semakin kencang.
Raden memijat keningnya pelan, mencoba untuk mengatur nafas dan emosionalnya. "Dengar, aku ingin kau berpegangan dengan benar. Jadi kita bisa turun dengan aman, percayalah padaku" ucap Raden masih mencoba bersikap lembut dan menahan emosinya.
"Kau janji tidak akan membiarkan aku jatuh kan? Janji ya?!" Kirana minta keyakinan.
Raden menghembuskan nafas panjang. "Iya, aku janji" ucapnya kemudian.
Perlahan Kirana membuka mata, kemudian ia melirik ke bawah tanpa mengangkat kepalanya dari dada Raden. Raden mengangkat dagu Kirana dan mengarahkan pandangannya supaya menatap dirinya saja.
"Jangan melihat ke bawah dan sekarang menurutlah dengan apa yang akan aku ajarkan padamu. Paham?" ucap Raden lagi dengan penuh kelembutan.
Tatapan Raden seakan menghipnotis Kirana, gadis itu memandang wajah tampan yang kini berada beberapa senti di depan wajahnya. Saat itulah Raden kembali membetulkan posisi Kirana supaya berpegangan dengan erat agar bisa mendarat dengan aman.
"Jangan takut... Jangan ragu dan jangan melihat ke bawah" ucap Raden kembali memberikan keyakinan pada Kirana.
Kirana mengangguk pelan, sebagai jawaban kalau ia mengerti dan paham. Raden mengusap pipi Kirana yang basah dengan lembut, kali ini ada satu perasaan yang berbeda. Jantung Raden mulai berdegup kencang, tidak seperti biasanya ia merasakan perasaan seperti ini. Sejenak Raden terdiam mengalihkan perasaannya, kemudian kembali berkonsentrasi untuk terbang dan mendarat di atas tanah.
"Aku tidak akan jatuh kan?" tanya Kirana menahan ngeri.
"Jika kau percaya padaku dan tidak banyak bergerak kau tidak akan jatuh" jawab Raden.
Gadis itu bersiap untuk meluncur, Raden menghentakkan kakinya di dahan pohon kemudian mulai melompat dan terbang mengikuti arah angin. Kirana kembali terpejam, nafasnya terhenti ketika Raden membawanya meluncur. Rasanya seperti naik roller coaster, meluncur bebas di udara tapi kali ini tanpa ada sabuk pengamannya.
"Hap..." ucap Raden menghentakkan nafas dan kakinya sambil menginjak dedaunan supaya ia dapat terpantul lagi ke udara. Kirana masih erat tidak berani bergerak seperti apa yang diperintahkan tadi.
Tap...
Mereka berdua mendarat tepat di halaman depan rumahnya, namun sepertinya Kirana masih belum sadar kalau dirinya sudah mendarat di atas tanah sekarang. Tangannya masih melingkar di leher Raden dengan sangat kencang, matanya masih terpejam, pikirannya berkata kalau dia masih mendarat di dahan pohon lagi.
"Sepertinya kau suka sekali memelukku" ucap Raden menunduk sejenak mengamati Kirana. "Hey lepaskan tanganmu, kita sudah sampai sekarang!" mulai tidak sabar.
"Apa? Sudah sampai?" gumam Kirana mulai membuka mata dan melihat ke sekeliling. Kakinya sudah merasakan daratan lagi.
"Kita sudah sampai? Ahaha aku selamat, ternyata aku masih hidup" ucap Kirana yang tadinya tegang dan ketakutan kemudian berubah ceria saat itu juga.
Raden menatap Kirana dengan wajah yang datar-datar saja, sedangkan gadis itu berjalan berjingkrak sambil masuk ke dalam rumah.
"Dasar. Gadis aneh" gumam Raden kemudian menyusul masuk ke dalam.
*****
Di sisi dunia lainnya....
Kedua gadis yang membawa perlengkapan dan menggendong ransel mulai berjalan di jalur setapak menuju hutan, sesekali mereka melihat ke peta dan juga memberi tanda di pohon yang mereka lewati supaya tidak tersesat saat perjalanan pulang nanti.
Dengan menggunakan senter mereka berdua berjalan hati-hati, memastikan jalan yang mereka lewati aman dari ular atau binatang liar lainnya. Hari masih sangat gelap, udara masih terasa lembab dan dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan kedua gadis itu untuk mencari sahabatnya, meskipun mereka takut tapi mereka memiliki keyakinan yang sangat kuat untuk mencari Kirana.
"Krasaakk... Krasaakk...." Semak belukar yang ada di samping Dila tiba-tiba bergerak.
"Apa itu....." Dila terperanjat kemudian memeluk Mesi dengan sangat erat.
"A... Aku juga tidak tahu Dila, lebih baik abaikan saja dan kita lanjutkan perjalanan ini" ucap Mesi sambil menahan gemetar.
Dila dan Mesi berjalan berhimpitan, senter dan matanya bergerak menyoroti jalan dengan teliti. Setelah berjalan cukup lama, merekapun berhenti dan kembali melihat peta ketika ada dua jalan yang bercabang.
"Jika kita berbelok ke kiri, itu artinya kita akan berjalan menuju ke arah PT" ucap Messi sambil memperhatikan peta dengan teliti.
"Jadi kita harus mengambil jalur yang ke sebelah kanan?" tanya Dila.
"Iya, jalur ke sebelah kanan adalah jalur untuk masuk ke dalam hutan. Dila, jalur ini yang biasa dilewati petugas untuk mencari Kirana. Tapi jangan khawatir, kita akan melewati jalur ini sebelum mereka datang kan? Jadi kita tidak akan ketahuan"
"Semoga saja Mesi, kalau begitu kita harus bergegas"
Mesi kembali menyimpan petanya, setelah itu mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini tidak begitu sulit untuk Mesi, karena sebelumnya Ia pun pernah ikut mendaki gunung. Jadi setidaknya, Mesi memiliki pengalaman. hanya saja bedanya, kali ini Mesi hanya berdua saja dengan Dila. Berbeda dengan ketika dia mendaki gunung, suasananya tidak terlalu mencekam karena berangkat bersama rombongan dan banyak orang.
Langkah kaki kedua gadis itu terhenti, ketika senter dan pandangan mereka menangkap sesuatu yang sedang bergerak di balik semak-semak. Mesi dan Dila menajamkan penglihatannya, mengawasi pergerakan itu.
"Apa itu Mesi?" tanya Dila mulai gemetar.
Mesi belum bisa menjawab karena masih fokus melihat kedepan, sampai akhirnya diapun terlihat panik kemudian menepuk-nepuk lengan Dila.
"I... Itu, itu... Babi hutan!" ucap Mesi manik.
"Haaa??? Babi hutan???" Dila berkata dengan nada yang kencang.
Sontak babi itu langsung menoleh kearah mereka berdua, mungkin karena mendengar teriakan Dila barusan. Babi itu berjalan cepat menuju ke arah mereka, membuat Dila dan Mesi semakin gelagapan.
Mereka berlari untuk menghindari babi itu, tapi ternyata babi hutan malah berlari juga semakin cepat mengejarnya. Mesi dan Dila semakin panik, sampai akhirnya Mesi melihat ada dahan daun yang agak rendah.
"Ayo ke sini Dila!" ucap Mesi. Dila mengikuti kemana Mesi berlari, Mesi pun mengajak Dila untuk naik ke atas dahan pohon itu.
Messi naik terlebih dulu, setelah itu membantu Dila untuk naik ke atas pohon yang sama untuk menghindari babi hutan itu. Dengan susah payah dan panik, akhirnya mereka berdua bisa memanjat pohon dan melihat babi hutan yang mengejar mereka dengan nafas yang tersengal-sengal.