Chereads / Sang Raden / Chapter 24 - Tetap Panggil Aku Sekar

Chapter 24 - Tetap Panggil Aku Sekar

Pagi itu, dapur rumah kayu terlihat sangat berasap. Entah apa yang sedang Kirana lakukan di dapur, sampai-sampai dari luar pun, asap terlihat mengepul.

"Uhuk... Uhuk..." Kirana terbatuk sambil terus meniup-niup tungku api dengan semprong yang terbuat dari bambu. Meskipun dia sudah hampir kehabisan nafas, tetap saja api masih tidak mau menyala.

Raden Sastra yang terganggu dengan asap dapur, langsung bergegas melihat apa yang sebenarnya gadis itu lakukan. Tapi karena tebalnya asap, Raden tidak bisa melihat Kirana dengan jelas.

"Apa yang sedang kau lakukan?! Apa kau sedang berencana membakar rumah ini!' ucap Raden sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya.

"Uhuk... Apinya tidak mau nyala! Aku sudah berusaha tapi tetap saja dia tidak mau hidup" jawab Kirana kemudian kembali meniup.

"Dasar gadis bodoh" gumam Raden.

Dengan cepat Raden Sastra mengeluarkan jurusnya, kemudian ia pun mengibaskan tangannya sehingga tercipta angin di sekitar tubuhnya. Raden Sastra menghentakkan kakinya sambil mengeluarkan tenaga dalam, dan....

Wusssss..... Seketika itu juga asap terdorong keluar.

Kirana terkejut ketika asap itu pergi, ia bisa melihat dengan jelas dan bernafas dengan udara segar. Raden masih berdiri mematung, memergoki Kirana yang sedang berjongkok di depan tungku sambil memegang semprong.

Namun, Raden Sastra langsung tertawa geli ketika melihat wajah Kirana yang sedang menatap heran ke arahnya.

"Kenapa kamu tertawa? Jika kamu bisa mengusir asap itu pergi, kenapa tidak lakukan dari tadi!" protes Kirana, ia kesal sekaligus lelah karena meniup dari tadi.

"Seharusnya... Aku yang bertanya padamu. apa yang sedang kau lakukan sehingga wajahmu hitam seperti itu" Raden Sastra kembali tertawa.

Kirana terdiam lalu meraba wajahnya, sedangkan Raden tertawasampai memegangi perutnya. Sejenak Kirana memandang Raden, ternyata pria dingin itu bisa tertawa juga. Tapi Kirana juga kesal, ada apa di wajahnya sampai-sampai Raden menertawakannya seperti itu.

Kirana melihat ke arah kendi berisi air dan ternyata wajahnya memang terlihat menghitam, mungkin gara-gara asap dari tungku api tadi.

"Baiklah, kau boleh menertawakan aku sepuasmu!" ucap Kirana kemudian kembali berjongkok di depan tungku.

"Ehem..." Raden menghentikan tawanya setelah tau Kirana terdiam dan merenung memandangi bara api yang masih mengeluarkan asap itu.

"Aku berusaha belajar untuk masak di tungku api, biar kau tidak meledekku terus. Tapi lihat... Semuanya malah jadi kacau" ucap Kirana sedih sambil memandangi masakannya yang gosong.

Raden menutup mulutnya dan berusaha untuk tidak tertawa, kasihan juga Kirana, tapi Raden juga kagum karena gadis lugu itu memiliki sifat pantang menyerah.

"Sudahlah, meskipun kau meratapi masakanmu yang gosong itu. Dia tidak akan berubah menjadi makanan lezat begitu saja, lebih baik ayo kita pergi" ucap Raden kemudian menarik tangan Kirana.

"E... Eh... Mau pergi kemana? Aku lapar dan ingin makan, aku tidak mau pergi!" ucap Kirana kemudian membelakanginya Raden.

"Baiklah kalau kau tidak ingin pergi, aku tidak akan memaksamu. Kau akan disini bersama perut yang lapar, sedangkan aku mau pergi ke rumah paman dan makan kenyang di sana!" jawab Raden kemudian beranjak pergi.

"Apa? Makan di rumah paman?" Kirana berbalik lalu menyusul Raden yang sedang bersiap dengan penyamaran.

"Kamu ini curang sekali, kenapa kamu malah mau makan di rumah paman!" protes Kirana.

"Karena aku juga lapar! Lagian aku tidak mau makan masakanmu yang gosong itu!" jawab Raden.

Kirana terdiam, sebenarnya ia mencoba untuk masak sendiri dan tidak ingin terus-menerus merepotkan paman dan bibinya. Tapi mau gimana lagi, Kirana tidak pernah memasak menggunakan tungku api dan kayu bakar, sedangkan di sini belum ada kompor sama sekali.

Kirana juga sudah merasakan perutnya yang mulai menjerit karena lapar, ia segera menyusul Raden yang sedang bersiap menyamar.

"Aku ikut ya" ucap Kirana di ambang pintu sambil memasang wajah melas.

Dibalik punggungnya Raden tersenyum tipis. "Cuci wajahmu dulu, bisa-bisa bibi pingsan melihat kau berwajah hitam seperti itu" ucap Raden kembali memasang ekspresi dingin.

"Ish. Iya... Iya. Tapi jangan ditinggal ya!" Kirana melirik tajam kemudian bergegas mencuci wajahnya.

*****

Penampilan Raden Sastra terlihat sangat berbeda, ia terlihat lebih bijak ketika memakai pakaian yang diberikan oleh paman khusus untuknya dan dipakai ketika keluar rumah. Tapi ketampanannya sama sekali tidak berubah sedikitpun, meskipun tubuhnya dibalut dengan pakaian rakyat biasa.

Pagi yang begitu cerah, Kirana dan Raden berjalan santai menuju ke rumah paman. Sesekali Kirana memperhatikan Raden sambil tersenyum.

"Kenapa kau menatapku seperti itu!" protes Raden Sastra.

"Hihi tidak. Biasanya di duniaku, aku hanya bisa melihat orang-orang berpakaian seperti ini di TV ataupun di teater. Tapi sekarang aku bisa melihatnya dan bahkan memakai busana tradisional seperti ini" jawab Kirana dengan nada yang riang.

Raden Sastra menatapnya dalam. "Memangnya busana seperti apa yang kau kenakan di duniamu?"

"Ah... Biasanya aku pakai kaos, celana jeans, atau dress" jawab Kirana tersenyum lebar.

"Pakaian macam apa itu? Seperti apa bentuknya? Dari namanya saja sudah aneh sekali" Raden Sastra bingung.

"Oh iya, mana mungkin dia tahu celana jeans dan kaos. Menjelaskan juga sepertinya percuma, dia malah lebih bingung nanti" bisik Kirana dalam hati.

"Hey, aku bertanya padamu" ucap Raden sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Kirana.

"Ah... Haha. Maaf. Raden.... boleh aku minta satu permintaan padamu?" ucap Kirana menatap Raden dengan penuh harap.

"Katakan"

"Meskipun kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya, aku mohon padamu tetaplah memanggil aku dengan nama Sekar di depan paman dan bibi. Cukup kamu saja yang tahu. Kamu tidak keberatan kan?"

Raden sastra terdiam sejenak menatap Kirana dalam. "Jadi kau juga dalam masa penyamaran sekarang?" tanya Raden tersenyum simpul.

"Ya.... Mau gimana lagi" jawab Kirana sambil memainkan ujung selendangnya. "Aku takut jika paman dan bibi tahu nanti, mereka malah akan membenciku. Jujur aku sudah mulai menyayangi mereka, seperti orang tuaku sendiri. Di sini aku bisa merasakan kehangatan keluarga dan kasih sayang seorang ibu dan juga Ayah. Karena sejak aku kecil, aku hanya diasuh oleh kakek dan nenek" Kirana membuka kisahnya.

"Kau tidak memiliki orang tua?" Raden mengerutkan kedua alisnya.

"Punya. Aku memiliki ayah dan ibu, tapi mereka meninggalkanku. Ayah dan ibu berpisah ketika aku berumur 4 tahun, ayah sudah menikah dengan wanita lain ketika masih resmi menjadi suami ibu, setelah mereka bercerai Ayah tinggal bersama istri barunya. Dan ketika aku berusia 6 tahun, ibuku menikah lagi dengan orang lain, dan... mereka melupakan aku"

Kirana menceritakan kisahnya dengan nada yang bergetar, sebenarnya dia paling tidak kuat jika harus bercerita tentang hidupnya. Hatinya langsung akan dipenuhi amarah dan sedih ketika mengingat perjalanan hidupnya.

Raden Sastra hanya terdiam. Dalam hatinya ia juga bisa merasakan perasaan Kirana, meskipun hidupnya sendiri juga menderita.

Tapi selama ini Raden memiliki dan mendapatkan kasih sayang ayahanda dan ibundanya, meskipun Raden adalah orang yang belum beruntung, ternyata... Masih ada orang yang lebih tidak beruntung dari dirinya. Muncullah rasa bersyukur di dalam hati Raden.