Chereads / Brownies, I Miss / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

REVANO

Gue bertemu dia lagi. Randita. Perempuan itu ada di restoran apartemen, tampak sedang sendiri saja menikmati makan malamnya. Seorang selebgram cantik seperti dia makan sendiri? Uwow, bukankah itu artinya dia masih belum taken alias jomlo. Sama dong kayak gue. Sepertinya memang gue sama dia jodoh. Ehem! Maaf, kalau gue terlalu percaya diri. Kata Rio pesona gue nggak terelakkan oleh perempuan mana pun. Mungkin itu yang bikin gue memiliki rasa percaya diri yang tinggi nyaris mengalahkan langit. Ya Tuhan, lagi-lagi gue mengingat teori Rio yang bahkan sekarang mulai nggak berguna jika yang gue hadapi adalah seorang Randita. Sial.

Kesempatan ini nggak akan gue sia-sia kan pastinya. Berhasil duduk di hadapannya dan mengajaknya ngobrol, itu yang gue mau. Bisa saja kan dari sini hubungan gue sama dia jadi lebih dekat. Nggak apa-apa dong kalau gue sedikit berharap. Tapi sepertinya dia makan terburu-buru, hingga saat pesanan gue datang, piringnya sudah hampir kosong.

"Aku tinggal nggak pa-pa kan? Aku lelah, ingin segera istirahat."

Gue nggak menahannya. Dia memang kelihatan lelah. Mungkin saja pekerjaannya lagi sibuk. Sudah dua kali ini gue lihat dia pulang malam.

"Oke."

Gue perhatikan langkahnya hingga keluar restoran. Besok lagi, gue pastiin bisa bersamanya lebih lama.

Ponsel gue berdering tepat saat gue mulai menyantap udon yang gue pesan. Ibu. Oh wanita cantik yang melahirkan gue ternyata belum mau melepas gue begitu saja. Huuft.

"Ya, Bu?" sapa gue.

"Vano, kamu udah makan, Nak?"

"Ya ini Vano sedang makan, Bu."

"Apa yang kamu makan, Nak?"

"Aku sedang makan udon, Bu."

"Astaga Vano. Kenapa kamu makan udon? Apa rendang yang ibu kirim udah habis?"

"Udah."

"Okeh, nanti ibu akan nyuruh Mang Adin buat antar makanan lagi. Kamu nanti tinggal panasin aja di microwave. Jadi, nggak perlu keluar lagi cari makan."

"Ibu tenang saja. Aku bisa menjaga diri. Dan ibu nggak perlu repot-repot melakukan itu."

"Sama sekali nggak repot."

"Terserah ibu saja."

Akan sangat susah dan ribet kalau gue mendebat ibu soal makanan yang harus gue makan.

***

"Gimana Van, hasil PDKT lo sama selebgram itu? Meskipun lo bukan artis. Tapi tampang lo pasti nggak bikin dia buang muka kan?"

Rio langsung nangkring di bangku depan meja saat gue baru saja duduk.

"Gue..., belum ketemu dia lagi." Lebih baik begini. Dari pada gue ceritain hal sebenarnya kalau Randita kabur ketika sedang gue deketin. Dia pasti nggak akan berhenti tertawa kalau dengar.

"Yah gimana sih? Samperin dong!"

"Kayaknya dia sibuk." Gue menyumpal air phone yang gue sambungkan pada ponsel ke salah satu telinga gue.

"Dari mana lo tau?"

"Gue udah dua kali liat dia pulang malam terus. Kelihatannya dia juga kelelahan, tampangnya nggak sesegar pas dia ngiklanin endorsan di instagram."

"Emang dia kerja di mana?"

Gue menatap Rio sebal. Dia bertanya seolah gue sudah lama berkenalan dengan Randita.

"Mana gue tau!"

"Yaelah pergerakan lo lambat. Kayak siput. Dari pada kelamaan mending lo gaet aja yang udah ada. Yang jelas-jelas suka sama lo." Rio melambai pada cewek yang melintasi kelas kami.

"Yang nggak bikin lo jungkir balik ngejar dia karena sok pasang bandrol mahal." Kali ini tangannya menowel lengan cewek lain yang berjalan melewatinya hingga membuat cewek itu menghantamkan buku yang sedang dipegangnya ke kepala Rio.

"Yang nggak ngegatak lo pake buku pas lo cipok." Rio mengelus kepalanya. Dia beneran nggak ada kapoknya.

"Dan yang pasti seumuran sama lo, biar lo nggak dianggap jalan sama tante-tante kalo hang out bareng." Gelaknya kemudian mengudara. Sialan.

"Randita bukan tante-tante." Gue berdecak. Menyumpalkan air phone pada sebelah telinga gue yang lain. "Mending lo belajar aja yang bener dari pada ngasih gue wejangan-wejangan yang nyesatin."

"Males gue belajar. Tekun-tekun belajar ujung-ujungnya j yang dapat nilai paling tinggi lo lagi, lo lagi. Heran, padahal gue jarang lihat lo belajar. Kenapa nilai lo bisa bagus-bagus gitu sih."

"Gue ke sekolah ya buat belajar. Memang ngapain lagi?" Kepala gue mengangguk-ngangguk mengikuti irama lagu yang sedang gue dengar.

"Tapi cara lo belajar nggak perlu susah payah kayak gue. Dengar penjelasan guru di kelas aja gue masih belum mudeng. Kalau belum sepuluh kali diulang, gue nggak bakal paham."

"Ya nggak pa-pa dong. Mending lo berusaha kayak gitu, jadi pas ulangan nggak perlu contekan."

"Otak jenius ada dijual nggak? Gue pengin minta dibeliin sama bokap gue."

Gue menggeleng. Bukan otaknya yang nggak jenius, Rio itu hanya perlu sedikit berusaha. Seandainya waktunya nggak dia gunain buat pecicilan sana sini, mungkin saja dia akan cepat menangkap pelajaran dengan baik.

***

Gue menghentikan taksi yang hampir jalan ketika mata gue melihat Randita berlari-lari dari lobi apartemen. Sepertinya perempuan itu terlambat lagi.

Gue membuka pintu taksi dan melambai padanya. Ini kesempatan bagus untuk memberinya tumpangan. Seperti dugaan gue, dia langsung menghampiri.

"Apa aku nggak apa-apa ikut sama kamu?" tanyanya menunduk.

"Masuk aja."

Randita masuk dan duduk di sebelah gue. "Thanks yah."

"Kantormu di mana?"

"Di Sudirman."

"Kita ke Sudirman dulu, Pak," kata gue pada supir taksi.

"Baik, Mas."

"Eh, emangnya nggak pa-pa ntar kamu telat gimana?" Randita mandang gue dengan matanya yang lebar.

"Aku nggak akan telat kalo cuma nganterin kamu ke Sudirman."

"Sorry, ngrepotin lagi."

"Nggak pa-pa, aku senang direpotin kamu." Sedikit gombal sih, semoga nggak bikin Randita mual.

***

Gue akhirnya tahu di mana tempat Randita bekerja. Dia seorang Marketing merangkap sebagai copy writing di perusahaan nasional yang menjual produk kecantikan dan perawatan badan yang kini sudah merambah ke pasar internasional. Seorang marketing, gue bisa bayangin gimana sibuknya. Kemampuan dia sebagai seorang influencer selling dan marketing memang nggak diragukan lagi sih. Kalau pun suatu saat dia tidak lagi bekerja di perusahaan itu, ilmu yang dia punya bisa dimanfaatkan untuk meraup dollar. Bukan rupiah lagi orientasinya. Apa gue terlalu berlebihan?

Bukan itu yang penting. Yang ingin gue bilang, sekarang gue bisa tahu jika sewaktu-waktu Randita minta gue buat jemput dia. Lagi-lagi gue terlalu percaya diri.

Kemungkinan itu bisa saja kan? Setelah dua kali tanpa sungkan menggunakan taksi pesanan gue, siapa tahu suatu saat dia juga mau diajak bareng sama mobil gue. Yeah, sempurna. Momen itu pasti gue dapat nggak lama lagi. Tapi, serasa ada yang kurang. Ah! Kenapa tadi gue nggak minta nomor ponselnya?