RANDITA
Aku nggak tahu apa yang aku lakukan ini benar atau nggak. Akhirnya tadi aku memberikan nomor ponselku pada Revano. Semoga dia nggak akan sering menganggu. Kekhawatiranku itu saja. Aku nggak terlalu suka abg berisik. Tapi aku beberapa kali ditolongnya, rasanya keterlaluan sekali jika hanya minta nomor ponsel saja aku menolak. Ya sudahlah, karena nggak enak aku beri juga.
"Desain katalog awal tahun udah jadi, Ran?" tanya Santi, padahal aku baru saja meletakkan tas.
"Belum."
"Belum? Tiga hari lagi DL loh."
"Gue ngerti, makanya tiap hari gue jabanin lembur. Emang Pak Kevin udah nanyain?"
"Iya, tuh orangnya udah datang. Beda sekitar lima menit sama elo."
"Tapi gue nggak telat kan?"
"Di jam gue sih enggak. Nggak tahu deh kalau jam doi."
Aku memutar bola mata. Tidurku kurang, kalau aku telat bangun itu wajar. Karena aku beneran lelah. Memangnya aku ini robot? Untung saja aku bertemu Revano. Ternyata memang ada untungnya mengenal dia, meskipun pada akhirnya gelagat aneh bisa aku lihat darinya. Tapi, Revano itu lucu juga. Ada sedikit berbeda dengan anak remaja pada umumnya. Sejauh ini aku belum merasa terganggu. Nggak tahu deh nanti, sekarang dia sudah berhasil mendapat nomor ponselku. Semoga itu nggak menjadikan sikapnya berubah jadi peneror.
"Woy, pagi-pagi bengong!" Santi menyentakku. Aku mendengus.
"Mikir apa sih pagi-pagi? Lanjor ya?"
Lanjor? "Lanjor itu apa?"
"Lamun Jorok. Haha."
"Lo tuh yang piktor."
"Hah? Piktor? Bang Piktor maksud lo?"
"Pikiran Jorok, dodol!"
Santi tergelak hingga tubuhnya bergetar. "Udah, kerjaan mah nggak usah dipikirin, gue yakin lo bisa," katanya kemudian.
"Gue nggak lagi mikirin kerjaan."
"Terus apa dong?"
Aku menatap serius Santi. Perlukah aku menceritakan soal Revano padanya? Sepertinya nggak perlu, aku hanya akan bertanya sesuatu yang umum saja supaya dia bisa memberiku pandangan.
"San, lo pernah nggak terpesona sama cowok tapi usianya beda jauh sama lo."
"Pernah."
Jawabab Santi yang terkesan santai membuat mataku mengerjap. Serius?
"Terus apa yang lo lakuin?"
"Ya biasa aja, gue nggak lakuin apa-apa. Lagi pula yang bikin gue terpesona itu anggota K-pop, mereka kan kebanyakan lebih muda dari gue."
Anjir dah! Padahal aku serius menanyakan itu. Aku memundurkan badan. Rasanya sia-sia saja kalau aku berbagi cerita padanya.
"Ran, lo mau bilang ke gue kalau lo lagi tertarik sama cowok yang lebih muda dari lo?"
Pertanyaan Santi membuatku melotot.
"Aku nggak segila itu tertarik sama cowok yang lebih muda," seruku tertahan. Aku nggak mau ada yang dengar pembicaraanku dengan Santi.
"Kali aja kan? Bukannya sama yang lebih tua lo juga ogah?" Santi mengarahkan matanya ke ruang Pak Kevin. Astaga!
"Ya nggak dengan dia juga."
"Nahkan?"
"Ini nggak, seperti yang lo pikir. Hanya soal waktu aja, ntar juga gue ketemu jodoh yang sesuai kriteria gue."
"Punya kriteria sih boleh aja. Tapi jangan terlalu jadi patokan. Kalau nggak kesampean, sakit...."
Aku mendebas. "Kriteriaku nggak muluk-muluk, nggak seganteng Chris Hemsworth atau sekaya Steve Jobs kok. Yang penting bisa bikin gue nyaman dalam segala hal. Itu aja. Simpel."
"Emang simpel kalau kata nyamannya, tapi segala hal itu yang bikin nggak simpel." Santi mendengus membuatku tergelak.
Setelah beberapa saat tawaku berhenti, Santi mencondongkan badannya. "Jadi, siapa brondong lo itu? Gue boleh kenalan nggak?"
Sial! Sekarang tawaku benar-benar nggak bersisa. Aku pura-pura mulai sibuk dengan pekerjaanku.
***
Aku dan Santi baru saja keluar makan siang saat aku mendapati sekotak kue brownis yang lagi viral itu berada di mejaku.
"Wow? Lo pesan S'kat Brownis, Ran?"
"Nggak, siapa yang kirim?"
Aku juga penasaran maka aku segera menghampiri kotak itu.
"Ada kartunya tuh, Ran. Wah so sweet banget sih. Jangan-jangan Pak Kevin yang kasih elo."
Apa? Mustahil sekali. Dia memang terlihat sedang pedekate denganku. Tapi tiba-tiba memberikan kejutan seperti ini, bukan gaya dia banget.
'Sekotak brownis manis kupersembahkan untuk yang paling manis. Tetap semangat ya!'
Itu tulisan yang ada di kartu ucapan. Tidak ada nama pengirimnya. Ini surat kaleng. Secret Admired.
Santi langsung menyerobot kartu yang kupegang lalu membaca isinya. "Wah, mencurigakan. Dia itu memberi lo semangat, Ran. Pasti dia orang yang tau banget kalau lo lagi ngoyo kerja. Hihi."
Tapi siapa? Masa iya Pak Kevin. Tiba-tiba ingatanku jatuh pada Revano. Anak itu? Sepertinya juga bukan. Mana mungkin dia mengirimiku kue? Dia pasti sedang sibuk sekolah.
"Udah sih makan aja. Jangan kebanyakan mikir. Pumpung masih anget. Hahaha."
Yang dikasih siapa, yang semangat siapa?
"Mang, Mang! Mang Jupri." OB yang bertugas di pantry kami kebetulan lewat itu, menoleh.
"Ya Mbak Randita?" Mang Jupri mendekat.
"Mang Jupri tahu, siapa yang mengirim ini ke saya?"
"Oh tahu, Mbak."
Jawaban pasti dari Mang Jupri bikin aku dan Santi sumringah. "Siapa, Mang?" tanyaku dan Santi serempak.
"Tukang ojek online."
Hmmm... Kirain...
Mang Jupri meringis menunjukkan deretan giginya yang agak kehitaman karena kebanyakan menyesap nikotin.
"Oke, makasih, Mang. Mamang bisa kembali ke asal." Santi mengusir halus Mang Jupri agar menyingkir.
Aku membuka kotak itu. Brownies sekat. Aku memang suka ngemil kue ini. Beberapa waktu lalu bahkan baru saja habis. Biasanya buat cemilanku di unit sih. Kalau aku bawa ke kantor biasanya itu artinya aku rela bagi-bagi dengan teman sekantor.
Seperti sekarang, begitu para staf datang ludes itu Brownies, tinggal dusnya doang. Untung aku sempat makan tadi.
"Sering-sering aja lo bawa kue ke kantor, Ran. Bila perlu seisi kulkas lo bawa dah," ujar Garan ketika berhasil kebagian satu sekat.
"Enak aja. Gaji kalian utuh dong karena numpang makan ama gue."
"Sodakoh, Ran, sodakoh."
"Lo jangan kayak orang miskin gitu deh, Gar. Buat clubbing aja lo ada, timbang kue minta-minta," pangkas Santi sadis. Tampang Garan langsung cemberut. Santi itu memang demen menghujat Garan. Semacam ada dendam yang masih terselubung.
"Ada apa ini rame-rame?"
Pak Kevin tiba-tiba nongol dari dalam tempurungnya.
"Ini Pak, Randita bagi-bagi brownies, brondong manis," jawab Garan.
Pak Kevin mengerutkan dahi. Jawaban Garan memang ngaco. Yang dia pegang brownis, tapi bilangnya brondong. Nggak lihat itu dahi Pak Kevin berlipat tiga?
"Canda, Pak. Kue brownis maksudnya," sambung Garan lagi.
"Oh, ya sudah. Selamat menikmati." Pak Kevin tersenyum membuatku dan Santi saling pandang.
Dugaan Santi kalau Pak Kevin pengirim brownies itu bisa jadi benar jika Pak Kevin bersikap seperti itu. Apalagi kemudian lelaki itu menatapku seraya melempar senyuman sebelum masuk kembali ke ruangannya.
Aku tertegun sesaat. Jadi, benar dia? Sepertinya hal yang mustahil. Tapi sikapnya juga mencurigakan.
Santi menyikut lenganku. "Dugaan gue bener kan? Pasti dia pelakunya. Duh, so sweet banget sih. Lo kan beberapa hari ini sangat bekerja keras untuk event-event perusahaan. Wajar dong kalau dia nyemangatin orang yang disuka. Hihi," bisik Santi dengan suara pelan. Apa iya?
"Kalian lagi ngomongin gue ya? Kok bisik-bisik gitu? Nggak sopan banget." Garan berdecak sebal. GR banget, siapa yang ngomongin dia?
"Hellow.... Emang lo siapa? Mesti kita omongin. Ih!" Santi yang menanggapi. Aku lebih memilih memutar badan, kembali menghadap komputer.
Aku mendengar Garan tertawa lalu dia berbisik pada Santi, entah apa. Mereka berdua memang kadang aneh.