Travis Chamberlain dan Han Liang Zheng menghabiskan sebagian besar liburan musim panas mereka berkeliaran di sekitar kota, mencari hal-hal untuk dilakukan.
Suatu malam yang panas di bulan Agustus, anak-anak lelaki itu menyengat pagar di jalan utama. Ada ladang jagung tepat di seberang jalan. Tiba-tiba, Travis melihat sesuatu di lapangan. Dalam kegelapan, sulit untuk dilihat, tapi dia pikir itu terlihat seperti hewan yang aneh. Dia menyenggol temannya dan menunjuk ke arah sosok yang tampak aneh itu. Han bilang dia bisa melihatnya juga. Dia tidak yakin, tetapi hal misterius tampak samar-samar seperti manusia.
Hal berikutnya yang mereka tahu, benda itu telah hilang. Anak laki-laki itu menjulurkan leher mereka dan mengamati lapangan dengan mata mereka. Dari kegelapan, muncullah makhluk itu. Dia perlahan berjalan ke tepi lapangan sebelum menghilang lagi. Travis dan Han saling memandang dengan bingung.
"Apa itu tadi?" Tanya Han
"Aku tidak tahu." Travis menjawab
Tidak lama setelah dia mengatakan itu, Travis merasakan tangan berkeringat di bahunya. Dia berbalik dan mendapati dirinya menatap langsung ke wajah mengerikan makhluk itu. Dia berteriak ketakutan dan terkejut.
Kulit yang membusuk di wajah makhluk itu terlepas di beberapa tempat, memperlihatkan tulang di bawahnya. Sesaat Ia hanya menatap Travis dengan diam dengan matanya yang cekung. Kemudian, tiba-tiba makhluk itu mencengkeram lengannya. Travis merasa kukunya menggali ke dalam dagingnya saat dia menggeliat keluar dari cengkeramannya. Travis dan Han langsung menendang kepala makhluk itu dan kedua anak laki-laki itu melompat dari pagar dan berlari ke jalan, berteriak ngeri. Mereka tidak berhenti berlari sampai tiba di rumah mereka. Mereka mencoba memberi tahu orang tua dan teman mereka tentang hal yang mereka lihat malam itu, tetapi tidak ada yang mempercayai mereka. Ketika Travis bangun keesokan paginya, bekas luka di lengannya hilang digantikan dengan gigitan laba-laba, dan Han berfikir bahwa yang dilihat mereka hanyalah halusinasi dari gigitan laba-laba.
Setelah beberapa hari, keadaan menjadi semakin buruk. Orang tuanya memutuskan untuk membawanya ke dokter. Tetapi dokter tidak dapat melihat bocah itu sampai keesokan harinya. Malam itu dia memutuskan untuk mandi dengan santai. Saat dia berbaring berendam di air hangat, bisul itu tiba-tiba pecah. Segerombolan laba-laba kecil keluar dari telur yang telah diletakkan ibu mereka. Travis kaget dan berteriak memanggil ayahnya. Ayahnya melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk mengusir dan membunuh laba-laba itu.
Suatu malam, ibu dan ayahnya pergi meninggalkan Travis sendirian di rumah. Dia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, jadi dia menghabiskan sepanjang malam duduk di meja di kamar tidurnya. Orangtuanya meninggalkan rumah sekitar jam 5 sore. Saat mengerjakan pekerjaan rumahnya, dia memakai headphone dan mendengarkan musik keras. Ada badai besar malam itu dan mejanya menghadap jendela, jadi dia bisa melihat hujan dan petir di luar. Orang tuanya kembali sekitar jam 12 siang. Ketika dia melihat mobil mereka melaju. Dia melepas headphone. Begitu ayahnya membuka pintu depan dan masuk ke dalam, Dia mendengar dia meneriakkan namanya.
"Apa yang terjadi di sini?" Dia melakukan dengan suara marah.
Travis bingung, dia lari ke bawah. Ayahnya berdiri di lorong dengan ekspresi marah di wajahnya. Dia menunjuk ke lantai dan berteriak, "Apakah ini kamu?"
Dia melihat ke bawah dan melihat bahwa karpet dipenuhi jejak kaki yang berlumuran air.
"Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa sampai di sana. Aku menghabiskan sepanjang malam di mejaku mengerjakan pekerjaan rumahku." Kata Travis
Dia melihat ekspresi wajahnya berubah dari marah menjadi kebingungan, dan kemudian menjadi ketakutan. Mereka berdua menyadarinya pada saat bersamaan. Orang lain pasti ada di dalam rumah.
Mereka mengikuti jejak jejak kaki, mencoba memahami keseluruhan situasi. Mereka mulai dari pintu belakang, yang biasanya dibiarkan tidak terkunci. Kemudian mereka melihat sesuatu yang lain. Jejak kaki dimulai dari pintu belakang, tapi tidak ada jejak kaki yang keluar melalui pintu belakang. Tiba-tiba, kami mendengar sesuatu yang keras, suara punding yang menggema di seluruh rumah. Kemudian, suara pintu depan dibuka dan dibanting lagi.
Bruak!
Mereka semua lari ke garasi dan mengunci pintu di belakang mereka. Ibunya mengeluarkan ponselnya dan menelepon polisi.
"Tolong cepat datang!" Dia berteriak
"Seseorang ada di rumah kita!"
Setelah berjam-jam, sebuah mobil patroli tiba dengan dua petugas polisi, seorang pria dan seorang wanita. Seorang petugas tinggal bersama mereka di garasi sementara rekannya masuk ke dalam rumah, menggeledah kamar demi kamar. Ketika dia kembali, petugas wanita memberi tahu mereka bahwa tidak ada orang di rumah dan aman untuk masuk kembali.
Saat itu, mereka semua menarik napas lega, dia bertanya.
"Kamar tidur siapa di sebelah kiri?"
Orang tuanya menatap puteranya.
"Milikku." Kata Travis.
Dia meminta mereka untuk mengikutinya. Saat mereka berjalan melewati rumah, mereka dapat melihat jejak jejak kaki berlumpur yang mengarah dari pintu belakang, melalui ruang tamu, melalui lorong, naik tangga, ke kamar tidur orang tuanya dan kemudian menuju kamar Travis. Mereka berhenti di depan pintu kamar Travis. Petugas wanita itu menunjuk ke pintu Travis, yang telah terbuka sepanjang malam. Tercetak di atasnya, dengan berbagai bekas cakaran dan ukiran, bertuliskan:
8:10 Saya melihat Anda
8:47 Anda lupa mengunci pintu belakang
8:56: Kautampak fokus
9:22 Berbalik
9:49 Lihat saya sekali lagi
10:30 Lihat aku
10:49 Lihat saya
11:00 Lihat aku
Selama lebih dari dua jam, seseorang telah berdiri di depan pintunya, mengawasi Travis. Sampai hari ini, Dia masih ngeri memikirkan apa yang akan terjadi jika dia berbalik?
***
Han Liang Zheng sedang duduk di kereta bawah tanah pada suatu malam dan dia memperhatikan bahwa wanita yang duduk di seberangnya sedang menatapnya dengan penuh perhatian. Wanita itu sedang duduk di antara dua pria tua. Anak laki-laki itu terus berpaling, tetapi wanita itu tidak mau memutuskan kontak mata dengannya. Tatapan itu mulai membuat bocah itu ketakutan. Di pemberhentian berikutnya, penumpang baru naik. Itu adalah pria tinggi dengan badan besar yang kelihatan berotot di balik jas abu-abunya. Dia duduk di sebelah Han.
Wanita itu tidak memperhatikan pria berjas. Dia terus menatap Han, yang semakin merinding seiring berjalannya waktu. Kedua lelaki tua itu bahkan tidak melirik ke arahnya. Dia berpura-pura tidak memperhatikan, tetapi setiap kali dia melirik wanita asing itu, tatapannya terus berlanjut.
Ketika kereta berhenti di perhentian berikutnya, pria berjas itu bangkit untuk pergi. Tiba-tiba, dia meraih lengan Han dengan erat dan saat pintu terbuka, dia menyeretnya turun dari kereta. Pintu kereta bawah tanah ditutup dan kereta berhenti, meninggalkan Han sendirian di peron dengan pria berjas. Dia mulai berteriak minta tolong.
"Tenanglah, nak. Aku tidak akan menculikmu. Apa aku kelihatan seperti kekurangan uang?" Kata pria tinggi besar itu.
"Aku baru saja menyelamatkan hidupmu. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, tetapi saya harus menurunkanmu dari kereta itu. Wanita yang duduk di seberangmu sudah mati dan dua pria di sampingnya menopangnya." Kata pria itu lagi sambil berjalan pergi meninggalkan Han.
Suatu hari, adik laki-laki Han sedang menggali di kebunnya, ketika dia melihat beberapa jari mencuat dari tanah. Dia mencoba mengambilnya, tapi macet. Itu tidak mau bergerak, jadi dia menarik sekuat yang dia bisa dan itu terlepas di tangannya. Kemudian dia mendengar sesuatu mengerang dan menjauh. Anak laki-laki itu memasukkan beberapa jari yang Ia temukan ke dalam sup yang dimasak di dapur oleh ibunya tanpa sepengetahuan keluarganya.
Malam itu, di meja makan, mereka menikmati makan malam mereka. Kemudian, Han tersedak dan memuntahkan sesuatu, itu adalah ibu jari manusia. Han langsung makin jijik dan muntah lagi. Adik laki-lakinya langsung menceritakan apa yang telah dilakukannya saat di kebunnya. Ibunya langsung memarahi adik kecilnya dan membuang sup makanannya. Setelah, mereka mencuci piring, dan ketika hari sudah gelap orangtua Han beserta adiknya pergi berbelanja di supermarket, sedangkan Han lebih memilih untuk pergi tidur. Han langsung tertidur. Tapi di tengah malam, dia dengan kasar dibangunkan oleh suara aneh. Dia mendengarkan dengan cermat. Kedengarannya ada suara yang datang dari luar jendelanya dan itu memanggilnya.
"Di mana jari-jari saya?" Mayat itu mengerang.
Ketika Han mendengarnya, dia menjadi sangat ketakutan. Tapi dia berpikir, "Dia tidak tahu di mana aku. Dia tidak akan pernah menemukanku."
Kemudian dia mendengar suara itu sekali lagi. Hanya sekarang ini lebih dekat.
"Di mana jari-jari saya?" Mayat itu mengerang dengan suara serak dan menyeramkannya.
Anak laki-laki itu menarik selimut menutupi kepalanya dan menutup matanya. "Aku akan tidur." Dia pikir. "Saat aku bangun, suara atau apapun itu akan hilang."
Tapi segera dia mendengar pintu belakang terbuka dan lagi dia mendengar suara itu.
"Di mana jempol kaki saya?" Ini mengerang
Kemudian anak laki-laki itu mendengar langkah kaki bergerak melalui dapur ke ruang makan, ke ruang tamu, ke aula depan. Mereka perlahan menaiki tangga. Semakin dekat mereka datang. Segera mereka berada di aula lantai atas. Sekarang mereka berada di luar pintunya.
"Di mana jari kakiku?" Suara itu mengerang.
Han menyaksikan dengan ngeri saat pintu kamarnya terbuka. Gemetar ketakutan, dia melemparkan seprai ke atas kepalanya dan mendengarkan saat langkah kaki perlahan bergerak melalui kegelapan menuju tempat tidur tersembunyi.
"Di mana jari kakiku?" Suara itu mengerang.
"Kau memilikinya!"
Ketika anak laki-laki itu mendengar suara memanggil jari-jarinya, dia melihat makhluk aneh yang tampak di dalam cerobong asap. Han sangat ketakutan sehingga dia tidak bisa bergerak. Dia hanya berdiri di sana dan menatapnya.
Akhirnya dia bertanya: "U-u-u-untuk apa yang kamu punya mata sebesar itu?"
Makhluk itu menjawab: "Untuk melihatmu terus menerus!"
"U-u-untuk apa cakar kamu begitu besar?"
"Untuk menggaruk kuburanmu."
"U-untuk apa mulutmu besar itu?"
"Untuk menelanmu utuh."
"U-untuk apa gigimu begitu tajam?"
"Untuk mengunyah tulangmu!"
Makhluk itu langsung menyeretnya masuk ke bawah kolong tempat tidur dan menarik Han masuk dalam kegelapan dan menghilang.
***
Jangan pernah tertawa saat mobil jenazah lewat,
Anda mungkin saja yang mati berikutnya.
Mereka akan membungkus Anda dengan kain putih besar,
Dari kepala sampai ke kaki.
Mereka akan melemparkan Anda ke dalam kotak hitam besar.
Dan isi kuburanmu dengan tanah dan batu.
Dan di sana Anda akan berbaring selama sekitar satu minggu,
Sampai peti mati Anda bocor.
Cacing merayap masuk, cacing merayap keluar.
Cacing memainkan pinochle di moncong Anda.
Mereka akan memakan telinga Anda, mereka akan makan hidung Anda,
Mereka akan melahap jari tangan dan kaki Anda.
Tapi kemudian tikus besar besar akan datang.
Merangkak di mulut Anda dan keluar dari pantat Anda.
Kulitmu akan membiru,
Otak Anda akan meleleh dan berputar untuk pergi.
Anda menyebarkannya di atas sepotong roti,
Dan itulah yang Anda makan saat Anda mati.
Kai tinggal di rumah pamannya yang telah meninggal sementara. Rumah itu terletak di atas bukit di luar kota dan rumor mengatakan bahwa tempat lama itu angker. Anak laki-laki itu memutuskan untuk langsung pindah karena dia tak percaya akan hal tersebut. Tapi larut malam, telepon berdering dan ketika dia menjawabnya, suara menyeramkan berkata, "Akulah pengantar jenazah. Saya akan tiba di sana dalam dua jam! " dan kemudian telepon ditutup sebelum Kai bisa mengatakan apa pun.
Tidak lama kemudian, telepon berdering lagi dan suara menyeramkan yang sama terdengar. "Aku adalah pengantar jenazah. Saya akan tiba di sana dalam 20 menit! " Dan menutup telepon.
Hal ini membuat pria itu cukup gugup dan dia mulai bertanya-tanya siapa penelepon misterius ini.
Sebelum dia menyadarinya, telepon berdering lagi. "Aku adalah pengantar jenazah. Saya akan tiba di sana dalam 10 menit! " Suara pria itu menjadi jauh lebih menyeramkan sekarang.
Beberapa menit kemudian, telepon berdering. "Aku adalah pengantar jenazah. Saya akan tiba di sana dalam 5 menit! "
Tak perlu dikatakan, Kai bingung dan sedikit merinding. Kai berlari mengunci semua jendela dan pintu dan kemudian memanggil polisi. Mereka mengatakan kepadanya bahwa petugas sedang dalam perjalanan.
Sekali lagi, telepon berdering dan Kai perlahan mengangkat gagang telepon dan meletakkannya di telinganya.
"Aku adalah pengantar jenazah. Aku akan sampai dalam 1 menit! " Kata suara itu.
Beberapa detik kemudian.
Tiba-tiba, ada ketukan di pintu. Kai membuka pintu sedikit dan bertanya. Apakah itu polisi?
"Tidak. Aku adalah pengantar jenazah. Saya datang setiap malam untuk merusak dan membuka jendela Anda. Di mana saya harus mulai? " Jawab suara itu.
Kai langsung menutup pintunya dan menguncinya.
"Aku sudah menelfon polisi! Jangan macam-macam aku punya senapan disini! Hanya karena aku baru saja SMA kelas satu, aku tahu caranya menggunakan senjata, sialan!" Kata Kai sambil mengisi peluru senapan pamannya dan bersiap menembak siapapun yang keluar dari pintu itu.
Tak ada suara menyeramkan itu lagi. Tapi, tak lama kemudian Ia mendengar pintunya diketuk.
"Siapa itu?"
"Ini dari kepolisian, apa anda benar Kai Shen Zhou?" Kata suara pria dibalik pintu.
Kai membuka pintunya sambil menodongkan snejata kepada mereka yang membuat kedua polisi itu terkejut, tapi ketika melihat mereka polisi, Ia langsung meletakkan senapannya dan menceritakan apa yang terjadi kepada kedua polisi itu.
Beberapa pekan berlalu, Kai Shen Zhou baru saja mencoba memulai pekerjaan baru di gedung perkantoran besar milik keluarganya. Tentu saja, Ia bekerja karena dia dipaksa oleh ayahnya untuk bekerja disana setiap akhir pekan. Suatu pagi, dia sedang berjalan ke tempat kerjanya, namun mobil jenazah hitam panjang melaju perlahan di sampingnya, menyesuaikan kecepatannya. Ini membuatnya gugup dan dia dengan cemas melihatnya dari sudut matanya.
Pengemudi itu belajar keluar jendela dan memanggilnya dengan suara yang dalam dan menggelegar:
"Apakah Anda perlu tumpangan?"
Dia menoleh untuk melihat dia mendapat kejutan yang mengerikan. Wajah pengemudi itu sangat mengerikan dan cacat. Kulitnya pucat dan pucat. salah satu matanya terlihat lebih tinggi dari yang lain. Pria itu menunjuk ke belakang kendaraan, yang berisi peti mati.
"Selalu ada ruang untuk satu lagi."
Takut dengan penampilannya yang aneh dan saran yang tidak diinginkan, dia menolak tawaran tumpangannya. Karena sangat terganggu, Kai berlari ke jalan sampai dia tiba di gedung kantor tempat dia bekerja. Selama sisa hari itu, dia tidak bisa berhenti memikirkan pria aneh di mobil jenazah, dan senang ketika pekerjaan akhirnya selesai.
Kai bekerja di lantai sembilan dan ketika lift datang, hampir penuh. Dia ragu-ragu sejenak sebelum melangkah masuk.
"Apakah kamu yakin tidak ingin masuk?" Tanya suara besar yang familiar.
"Masih ada tempat untuk satu lagi."
Kai tersentak. Itu adalah pengemudi mobil jenazah dari pagi ini, mengamatinya dengan tatapan yang mengerikan. Sekarang Ia benar-benar ketakutan, Kai mundur dengan gagap,
"S-s-saya berfikir untuk naik tangga saja!" Pengemudi mobil jenazah hanya menatapnya saat pintu tertutup.
Kai baru saja mengambil beberapa langkah menuruni tangga ketika dia mendengar seruan jeritan diikuti oleh suara benturan yang memekakkan telinga. Dia bergegas ke bawah dan menemukan kabel lift telah putus dan semua penumpang di dalam lift telah jatuh ke dalam dengan kematian yang mengerikan.
***
Seorang gadis muda bernama Sharon Wang sangat menyukai boneka. Dia memiliki banyak koleksi di kamar tidurnya. Suatu hari, ketika dia melihat-lihat toko sendirian, dia melihat boneka yang sangat cantik. Itu akan menjadi tambahan yang sempurna untuk koleksinya. Dia hanya berharap dia punya cukup uang untuk tetapi itu.
"Berapa boneka itu, Bu?" Dia bertanya pada wanita tua di belakang meja kasir.
"Boneka ini tidak untuk dijual." Jawab wanita itu
"Tapi, ini sangat indah. Aku sangat menginginkannya." Kata Sharon
Wanita tua itu menjadi kesal. "Sudah kubilang, ini tidak untuk dijual." Dia berkata
"Kenapa tidak?" Gadis itu bersikeras
"Karena boneka ini dikutuk!"
"Yah, sepertinya tidak. Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan." Kata Sharon
"Saya tidak akan menjualnya kepada Anda. Tetapi jika Anda benar-benar harus memilikinya, silakan ambil. Itu milik Anda. Tetapi jika sesuatu yang buruk terjadi, jangan salahkan saya.
"Ya terima kasih!" Kata gadis itu, tersenyum saat dia meraih boneka itu dan berjalan keluar dari toko.
Gadis kecil itu sangat senang mendapatkan boneka itu secara gratis sehingga dia berlari ke rumah sambil menggendongnya. Ketika dia pulang ke gedung apartemennya, dia pergi ke lobi. Itu sepi. Dia berdiri di sana menunggu lift datang.
Pintu terbuka dan dia melangkah masuk, mengemasi boneka barunya dengan erat.
Pintunya tertutup, tetapi elevator tidak bergerak padahal Ia sudah menekan tombol liftnya.
Gadis kecil itu ketakutan dan mulai gemetar ketakutan.
"Apakah ini benar-benar kutukan boneka itu?" Dia berpikir sendiri
Tiba-tiba, dia merasakan boneka itu bergerak di pelukannya.
Sangat lambat, kepalanya menoleh ke arahnya. Gadis kecil itu ingin berteriak tapi dia tidak bisa bersuara. Ia pun langsung menekan tombol naik ke lantai apartementnya berkali-kali.
Pelindung mata boneka itu berkibar dan terbuka.
Itu dimulai padanya dengan wajahnya yang mulai terlihat menyeramkan, mata kaca tak bernyawa itu. Lalu mulutnya terbuka dan dikatakan. "Kematian telah tiba! Berharap tidak pernah melihat surga. Aku datang untuk membawamu ke pantai lain; Ke dalam kegelapan abadi "Ke dalam api dan ke dalam es. Dia melakukan pekerjaannya dengan celemeknya terpasang. Memotong tenggorokanmu dan mengambil tulangmu, menjualnya untuk beberapa batu. Dia benar-benar memiliki hati seorang anak kecil. Dia menyimpannya di dalam botol di mejanya." Kata boneka itu bersamaan dengan lantai lift yang terbuka, Ia langsung melempar boneka tersebut ke dinding lift dan bergegas keluar dari pintu lift tersebut dan pergi ke kamar apartement orang tuanya.
Beberapa pecan berlalu, Sharon memang terkadang terlambat untuk misa Minggu pagi di gereja lokalnya. Terkadang, dia lupa menyetel alarm dan tidak bangun tepat waktu. Akhirnya, dia bosan dengan orang tuanya yang menyuruhnya pergi dan memutuskan dia tidak akan pernah terlambat untuk misa lagi.
Suatu Minggu pagi, Sharon bangun tengah malam. Tidak menyadari jam berapa sekarang, dia pikir dia ketiduran lagi dan melompat dari tempat tidur. Dia segera berpakaian dan berlari keluar pintu tanpa pernah melihat jam.
Di luar masih gelap, tapi biasanya pada saat itu tahun itu gelap. Itu sangat sepi dan tidak ada orang lain di jalan. Satu-satunya suara yang bisa dia dengar adalah suara langkah kakinya sendiri di trotoar saat dia bergegas menuju gereja.
Ketika dia mendengar bel gereja berdering, dia mempercepat langkahnya dan mengambil jalan pintas melalui kuburan. Dia tiba di gereja tepat saat kebaktian akan dimulai. Dia menemukan tempat duduk dan melihat sekeliling.
Sangat mengejutkan, dia tidak mengenali siapa pun. Gereja dipenuhi dengan orang-orang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Mereka semua menatap lurus ke depan dan keheningan mencekam menyelimuti pertemuan itu. Ketika pastor keluar untuk merayakan misa, Sharon menyadari bahwa dia juga orang asing.
Pastor itu menyuruh jemaah untuk mendoakan jiwa seorang gadis muda bernama Jennie yang meninggal malam sebelumnya. Sharon kaget. Dia mengenal Jennie dan dia tidak pernah mendengar bahwa gadis malang itu sakit. Ada sesuatu yang sangat salah. Dia mulai merasa sangat tidak nyaman.
Dia melihat sekeliling lagi dan, saat matanya mulai menyesuaikan diri dengan cahaya redup, dia melihat seseorang yang dia kenal. Ada seorang wanita tua duduk di belakang gereja. Hati Sharon hancur ketika dia mengingat wanita tua itu telah meninggal setahun sebelumnya.
Melihat ke arah depan gereja, dia melihat bahwa beberapa orang yang duduk disana terlihat sangat aneh. Kulit mereka tampak seputih mutiara. Salah satu dari mereka yang memakai topi fedora hitam, menoleh dan Sharon menemukan dengan ngeri bahwa dia hanyalah kerangka berjas. Hanya tengkorak dan beberapa tulang.
Ini adalah misa untuk orang mati! Batin Sharon.
Semua orang di sini sudah mati kecuali dia.
Dia memperhatikan bahwa beberapa dari mereka menatapnya. Mata mereka dipenuhi amarah. Jelas baginya bahwa dia tidak ada urusannya berada di sana.
Tiba-tiba, dia merasakan tepukan di bahunya. Dengan gugup, dia berbalik dan menemukan kakeknya berdiri di barisan di belakangnya. Dia telah mati selama lima tahun. Ada ekspresi khawatir di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh ke arahnya dan berbisik di telinganya.
"Pergilah sekarang, selagi kamu masih bisa." Dia mendesis
"Kamu tidak seharusnya di sini." Katanya pelan.
Sharon segera meraih mantelnya dan berjalan cepat menuju pintu. Dia mendengar langkah kaki cekung bergema di belakangnya dan menoleh ke belakang. Orang mati bangkit dari tempat duduk mereka dan mengikutinya. Wajah mereka berubah marah dan benci. Sharon ketakutan dan dia berlari ke pintu, sekelompok hantu yang menjerit-jerit membentak tumitnya. Dia merasakan tangan kerangka mencengkeramnya, mencoba menghentikan kepergiannya. Dia berputar dan berbalik, berjuang untuk membebaskan dirinya dari genggaman mereka. Mantelnya dirobek dan topinya dicabut dari kepalanya, tepat ketika dia berhasil menyelinap keluar pintu.
Menjerit dan menangis dan hampir gila karena ketakutan, Sharon berlari sepanjang perjalanan pulang dan memberi tahu orang tuanya apa yang telah terjadi. Kemudian pada hari itu, seseorang datang ke rumah dengan membawa sisa mantel dan topi Sharon. Mereka telah ditemukan di kuburan, tercabik-cabik.
***
Berhari-hari setelah melewati hari yang menyeramkan itu, masing-masing dari mereka pun memberitahu Hiro. Kecuali untuk Han yang hilang dan tak pernah ditemukan kembali. Bedanya Hiro lebih sering melihat hal semacam itu daripada mereka yang baru untuk pertama kalinya. Travis dan Sharon kini percaya bahwa ucapan Hiro tidak membual, kecuali Han yang masih berfikir pengemudi jenazah itu adalah orang aneh yang sudah merencanakan pembunuhan di dalam lift itu. Ia menolak keras untuk percaya pada hantu atau semacamnya.
Mereka semua tidak tahu, bahwa dari kejauhan di tempat yang gelap, sebuah buku menulis sendiri dengan cairan merah yang akan membuat cerita terror lagi untuk salah satu dari mereka. Dan, di salah satu kastil gelap yang menyeramkan segerombolan gagak terbang memasuki salah satu ruangan sambil membisikkan sesuatu, seakan-akan memberi kabar sambil mengelilingi seorang pria yang mempunyai salah satu mata kuning bersinar dalam kegelapan yang mengerikan. Ia berambut pirang dengan memakai satu penutup mata hitam bergambar segitiga bersimbol mata satu yang menutupi salah satu matanya. Ia mengenakan kemeja formal layaknya seorang bangsawan, di bagian singgasananya terdapat symbol mata satu berapi dengan gambar pyramid beserta pentagram. Pria itu tertawa jahat ketika mendengar laporan-laporan dari para gagaknya. Setelah itu, dia berbisik kepada para gagaknya dengan bahasa latin. Tak lama kemudian, gagak-gagak tersebut langsung terbang pergi meninggalkan tuannya yang kini memiliki seringai yang menyeramkan di wajah pria itu.
Di pagi hari ini, Kenzo bersikeras ingin mengantar Hiro ke sekolah. Pertamanya, Hiro menolak, tapi lama-kelamaan Hiro menyerah juga. Hari ini, Hiro sudah menyiapkan roti dengan selai jeli dan memasukkannya ke dalam paperbag makanan untuk dibawanya menuju sekolah. Ia meletakkan paperbag itu di ruang tamu bagian lantai atas rumahnya. Lalu, Ia menuju ke bawah untuk mengambil beberapa buku untuk memasukkannya ke dalan tas. Kemudian, Ia mengenakan jaket hitamnya.
Setelah itu, Hiro langsung keluar rumah dan menuju mobil kakaknya sampai-sampai Ia lupa dengan roti dengan selai jeli yang sudah Ia buat.
Baru saja Ia tiba dan duduk di dalam mobil, Ia pun teringat akan bekalnya. Hiro segera membuka pintu mobil.
"Mau kemana kau?" Tanya Kenzo yang berada di kursi bagian depan.
"Mengambil bekalku yang ketinggalan." Jawab Hiro sambil berlari masuk ke dalam rumah, menaiki beberapa anak tangga dan koridor rumahnya. Tetapi, ketika Ia mau pergi berjalan ke ruang tamu tempat Ia meninggalkan bekal makanannya. Ada sosok kepala berwajah putih semua seperti kepala manekin mengintipnya dari bawah sisi dinding.

Hiro pun bergegas kembali ke bawah. Namun, ketika Ia baru saja mau melangkah ke anak tangga menuju ke bawah Ia melihat makhluk yang seperti baru saja dibentuk asal-asalan dari tanah liat abu-abu dengan leher lebar dan sedikit panjang, kepala besar botak dengan lubang mata hitam yang besar kedua lubang yang lebih kecil membentuk hidung serta senyum lebar mengerikan yang berlubang di wajahnya.

Akhirnya, Hiro tidak jadi turun ke bawah karena makhluk itu, Ia mau tak mau membuka pintu kamar lain, dan melewati koridor yang menyeramkan untuk sampai ke tangga cadangan lain yang membawanya ke halaman belakang rumahnya, tapi ketika Ia berbelok menuju koridor lain, Ia melihat makhluk lain yang tak bertangan, memakai jubah putih kotor, kedua kakinya terlihat seperti tusuk gigi tebal berwarna putih. Sedangkan kepalanya botak, wajahnya putih disertai noda debu kotor, dan ada sedikit noda darah di pipi beserta bagian dada jubahnya. Sosok itu tak bermata, hidungnya besar, sedangkan mulutnya tersenyum yang menambah semua itu semakin terlihat menyeramkan. Sosok itu berjalan mendekatinya dan terlihat ekspresi tersenyum senang yang menyeramkan dari makhluk itu.

Hiro pun segera bergegas kembali dan membuka jendela rumahnya, lalu melompat dari ketinggian dan akhirnya mendarat di jalanan dengan kedua kakinya. Ia pun segera pergi menuju ke mobil kakaknya dan masuk ke sana. Sesampai di dalam mobil, Ia menemukan Kenzo sedang bersandar ke bagian depan mobil sambil menunduk memainkan ponselnya.

"Sudah kau ambil makan siangmu?"
Hiro menggeleng.
"Tidak, jadi. Perutku sedang tidak enak." Kata Hiro
"Kau kan bisa memberikannya ke salah satu temanmu disekolah?" Tanya Kenzo
"Aku tidak punya teman." Jawab Hiro
"Mangkanya jangan terlalu keras pada teman-temanmu, kau jadi dijauhi, kan?" Balas Kenzo sambil berpindah ke kursi pengemudi dan melaju pergi dengan cepat.
"Bukan itu masalahnya! Justru aku yang dirudung oleh seniorku. Mereka menganggapku orang aneh! Aku mencoba sabar agar aku tidak disiksa oleh ayahmu!"
"Kau baru saja menjadi pecundang selama lima menit dan kau langsung mengeluh, bagaimana rasanya jadi anak yang kau rudung di sekolahmu yang dulu?" Kata Kenzo sambil melajukan mobilnya.
"Seumur hidupku aku sudah menjadi pecundang dan bahan hinaan di dalam keluarga! Aku mengganggu mereka karena mereka macam macam denganku. Sedangkan anak yang merudungku, menggangguku, dan memukuliku tidak punya alasan yang kuat untuk menggangguku. Aku bahkan tidak macam-macam dengannya. Bahkan dia yang cari gara-gara denganku saat aku baru pertama kali menginjakkan kakiku di Hollow Lavador. Aku dipukul oleh mereka secara tiba-tiba karena mereka ingin uangku!" Kata Hiro bersamaan dengan mobilnya yang berhenti melaju karena sudah sampai di depan sekolah.
"Kau tak pernah mengerti perasaanku Kenzo. Tak ada gunanya berbicara denganmu. Tak ada gunanya berbicara dengan anak kebanggaan keluarga yang tak pernah menjadi pecundang di keluarga seumur hidup seperti aku." Kata Hiro sambil langsung keluar dari mobil itu.
Sesampai di sekolah, Hiro dihina, diejek, dan didorong sampai jatuh, tasnya direbut dan dikeluarkanlah semua isinya. Lalu, buku-bukunya disiram air oleh Caesar. Ia sangat marah, tapi Ia berusaha sabar dan menahan amarahnya. Karena itu, Ia langsung pergi membereskan tas dan buku-bukunya. Kemudian, kembali pulang ke rumahnya untuk meletakkan tasnya kembali dengan melemparkan tasnya ke jendela rumahnya yang terbuka.
Setelah itu, Ia bergegas lari menuju hutan yang terletak tak jauh dari halaman rumahnya untuk menenangkan diri. Hiro berjalan memasuki hutan yang lumayan gelap meski saat itu masih pagi hari, tapi seperti biasanya tak ada satupun orang di hutan itu selain dirinya. Suasana disana tenang cocok sekali untuk menghilang rasa penat difikirannya, hanya disertai pepohonan yang hijau dan suhu yang menyejukkan. Ia benar-benar ingin melihat tempat apa yang tersembunyi di ballik Holllow Forrest. Kini, Ia tidak peduli dengan mayat-mayat melayang yang muncul di tepi hutan kemarin malam. Ia harus melihat ada tempat apa lagi setelah Ia melewati hutan ini.

Ia pun terus berjalan dan berjalan. Langkah demi langkah Ia tempuh padahal Ia sendiri tidak tahu kemana dia akan pergi di hutan besar itu. Tiba-tiba dari balik batang pohon, Ia merasa dirinya diawasi dan diikuti oleh seseorang. Ia pun menoleh ke belakang dan melihat ada sosok berjubah hitam serta memakai tudung hitamnya dan mengenakan kepala tengkorak kambing. Di kepalanya juga terdapat tanduk seperti rusa melekat di bagian atas kepalanya.

Hiro langsung berlari pergi sekencang-kencangnya untuk keluar dari hutan. Setelah berlari cukup lama, Ia langsung menghentikan langkahnya, karena Ia melihat di salah satu dahan pohon itu terdapat sekitar tujuh tangan berusun ke atas memegangi batang pohon itu, seakan-akan tangan itu keluar dari balik batang pohon kayu tersebut padahal tidak ada seorang pun di batang pohon tersebut.

Tangan-tangan itu muncul semakin banyak disekitar pepohonan yang lain seakan-akan mereka menahan Hiro untuk keluar hutan, sehingga Hiro langsung berlari kembali menuju ke dalam hutan.
Tak lama kemudian, sekitar hutan yang Ia masuki semakin gelap dan berkabut. Ia pun menoleh ke kanan tapi tidak ada apa-apa dan ketika Ia menoleh ke kiri, betapa terkejutnya Ia saat melihat tiga sosok berjubah hitam dengan mata putih bersinar dengan mengenakan kepala tengkorak rusa di kepala mereka yang ditutupi juga oleh tudung hitam mereka itu berada tak jauh darinya. Salah satu dari antara mereka sedang mengambang melayang di udara. Sedangkan kedua diantara mereka menatap Hiro dengan tatapan menyeramkan.

Hiro langsung berbalik untuk pergi, tapi di belakangnya terdapat seorang gadis yang mengenakan gaun berambut panjang hampir menutupi wajahnya menatapnya dengan tatapan menyeramkan. Ia merasa tubuhnya membeku dan tak bisa bergerak. Pandangannya juga tak bisa Ia alihkan dari sosok gadis menyeramkan itu.

Tiba-tiba muncullah Caesar dan teman-temannya di belakang Hiro sedang melihat bahwa bocah asia itu terpatung menatap tanah hutan yang kosong. Caesar pun diam-diam mendekati Hiro, dan memukul kepala bagian belakang Hiro hingga membuat anak itu pingsan seketika. Setelah itu, Caesar bersama kelompoknya menggeret Hiro masuk lebih dalam ke hutan di pagi hari iru. Dari kejauhan seekor kucing hitam dengan kedua mata kuning diam-diam mengikuti mereka masuk ke dalam hutan. Tak lama kemudian Hiro membuka matanya dan menemukan dirinya terikat di salah satu pohon. Caesar beserta teman-temannya langsung menghajar kepala Hiro. Lama kelamaan bocah itu hanya bisa mengerang menahan sakit.
"K-kenapa kau memukulku?" Tanya Hiro yang sudah babak belur.
"Mudah, karena aku tidak menyukaimu anak aneh."
"Kebetulan juga kau tak memiliki satu pun teman. Kau sendirian. Mereka akhirnya bosan dan akhirnya meninggalkanmu. Melihat teman-teman mu yang sudah pergi darisini untuk menyelesaikan urusan mereka, kurasa kita juga berbuat semau kita."
"Aku juga memukulmu, karena waktu itu kau menghajar kami. Kau berbeda dari anak yang lainnya. Tunjukkan sisi dari dirimu yang itu! Kami ingin melihatnya!"
"Aku tidak mengerti apa maksud kalian."
"Jangan pura pura tidak tahu! Kau pasti hanya pura-pura mengalah, kan?"
"Kau akan menyesal." Kata Hiro
"Kau hanya membuat ini semakin menyakitkan." Kata Caesar sambil mengeluarkan pisau lipatnya dan menggambar sebuah pentagram kecil di perut Hiro yang langsung meringis kesakitan. Setelah itu Ia mengukir "Novus ordo seclorum." di bawah gambar pentagramnya.
Bajingan! Sampai kapan aku harus bersabar karena tua bangka itu? Kalau begini caranya aku bisa mati.
Sampai kapan kau menahan amarahmu, demi tidak disiksa kedua bajingan dari keluargamu?
Untuk apa aku ingin melindungi diriku dengan mendengarkan perkataan tua bangka itu? Aku hanya menghancurkan diriku sendiri.
Persetan dengan peraturan!
Mereka harus membayarnya! Siapapun itu, akan kubunuh! Akan kubunuh mereka semua!
Setelah itu, Caesar langsung memukul kepala Hiro lagi dengan tongkat baseball sampai Hiro langsung pingsan lagi.
Tiba-tiba pupil dan iris mata Hiro menghilang, digantikan dengan sclera di kedua matanya yang menjadikan wajah Hiro menyeramkan dengan kedua mata yang putih itu.
"Lihat apa yang telah kamu lakukan. Kamu mau melihat monster? Akan kutunjukkan kepadamu. Kamu akan berurusan dengan neraka yang kulepaskan." Kata Hiro dengan suara yang menyeramkan itu.
Hiro langsung menendang teman-teman Caesar yang berada di dekatnya dengan kakinya yang tidak terikat. Lalu, Ia menghantamkan kepalanya ke kepala Caesar sampai pingsan, bersamaan dengan Ia menjatuhkan pisaunya dengan cepat, Hiro menggeser talinya yang sudah longgar untuk mengambil pisau tersebut. Setelah itu Ia langsung memotong tali yang mengikat di tubuhnya. Beberapa diantara merela langsung memukuli Hiro, tapi sebagian dari pukulan mereka tidak mengenainya dan beberapa dari pukulan mereka ridak mempan sama sekali. Ia mengambil sebuah batu bata yang tergeletak disana dan memukulkannya kepada salah satu dari mereka. Kemudian, Hiro memasukkan batu bata tersebut sampai menembus masuk ke punggung remaja itu. Beberapa dari mereka langsung terpatung tidak percaya melihat itu. Dan tak lama kemudian, Hiro langsung melemparkan pisau tersebut ke salah satu kepala anak buah Caesar sampai pisau tersebut menembus dan menancap ke kepala tengkorak remaja itu yang kemudian langsung ambruk seketika. Beberapa dari mereka lari ketakutan, sedikit dari mereka yang tetap tinggal dan melawan Hiro. Seketika itu, salah satu dari mereka mengayunkan tongkat baseballnya, Hiro langsung menangkapnya. Dan merebut tongkat tersebut. Hiro langsung memukulnya balik dengan tongkat baseball tersebut dan terus memukuli kepala anak tersebut sampai hancur sambil tertawa.
"Siapa yang harus kumutilasi selanjutnya, ya?" Kata Hiro
"Eenie." Dia menunjuk pada remaja terkapar yang sudah mati karena baru saja dibunuh dengan batu bata yang menembus masuk di punggungnya.
"Meenie." Ia menunjuk mata pada mayat seorang anak dengan pisau masih tertancap di kepalanya.
"Miney." Hiro menunjuk pada mayat seorang anak yang kepalanya sudah hancur.
"Mo." Dia menunjuk kepada Caesar yang baru saja bangkit berdiri sambil membuka matanya dan terkejut melihat semuanya. Hiro langsung mendekati Caesar yang ketakutan dan mundur perlahan dari Hiro yang berjalan mendekatinya sambil membawa tongkat baseball berlumur darah.
Ketika jarak mereka sudah dekat, Hiro langsung mengayunkan tongkat ke kepala Caesar. Dengan cepat Caesar langsung menunduk menghindar dan mendorong tubuh Hiro sampai terjatuh berguling ke bawah bukit hutan itu hingga kepalanya menghantam salah satu batang pohon besar. Setelah melakukan itu Caesar langsung berlari sekencang-kencangnya pergi tanpa melihat ke belakang.
Beberapa jam pun berlalu, kini Ia terbangun di salah satu rumah dengan beberapa kayu yang menopangnya. Dan betapa terkejutnya Ia saat melihat dua orang gadis yang jaraknya lumayan dekat darinya sedang memandangnya. Salah satu dari mereka memakai topeng kelinci dan yang satunya lagi memakai topeng serigala sambil memiringkan kepalanya seakan-akan Ia penasaran dengan Hiro.

Setelah itu Hiro langsung bangkit berdiri dan berjalan ke arah sungai yang berada di depannya dengan ragu-ragu disertai dengan fikiran negatif membayangkan kalau mereka berdua akan menyerangnya atau membunuhnya. Hiro masih mengawasi mereka sambil membilas tubuhnya yang penuh dengan darah. Entah kenapa dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi tadi. Sedangkan kedua gadis bertopeng itu tetap diam di tempat mereka sambil terus memandangnya.
Tak lama kemudian, Ia mendengar suara piano sedang dimainkan. Hiro pun langsung pergi menuju rumah tua terbengkalai yang beberapa bagian isi rumahnya hancur. Suara itu semakin kmterasa keras saat Hiro mendekati dan mencari tahu asal suara itu, di bagian rumah tersebut. Suara itu berasal dari lantai atas. Ia berjalan menuju tangga dengan debu dan tanah. Beberapa bagian dinding rumah tersebut sudah terlepas.

Saat Ia baru saja menginjak anak tangga, suara piano itu langsung berhenti. Ia pun segera bergegas berlari ke atas, tapi tak menemukan seorang pun, Ia hanya menemukan sebuah piano tua. Hiro pun mencoba memainkan lagu dari piano yang Ia dengar tadi di piano tersebut. Hiro mulai menekan tuts-tuts yang ada dengan kedua jarinya.

Tak lama setelah lagu itu selesai, seekor gagak melesat terbang dari jendela terbuka dan hinggap di piano tersebut sehingga Hiro menghentikan permainannya.
Kraa! Kraa! Kraa! Kraa! Kraa!
"Apa kau sadar apa yang baru saja kau perbuat?" Tanya gagak itu.
"Apa menghajar mereka balik salah?" Tanya Hiro yang sebenarnya sudah berfikir bahwa dirinya mungkin sudah gila karena bicara pada gagak.
Kraa! Kraa!!
"Tidak, kau sudah membunuh tiga orang."
"Ya! Berkatmu, kami bisa makan gratis!" Kata gagak lain yang menghampiri mereka.
"A-a-apa?! Tidak mungkin! Kalian membual!"
"Apa yang dikatakan kami selalu terjadi, dan kami tidak berbohong! Kau membunuh korban pertama dengan pisau yang kau lempar hingga menancap ke kepalanya, kau membunuh korban kedua dengan batu bata yang kau tancapkan hingga menembus ke paru-parunya, kau membunuh korban ketiga dengan menghancurkan kepalanya dengan tongkat baseball."Kata gagak yang lain yang terbang menghampirinya.
"Kepribadian gandamu sungguh menarik." Kata gagak lain lagi yang tiba-tiba bertengger di pundaknya.
"Aku tidak punya kepribadian ganda. Aku anak yang normal."
"Seorang anak yang normal tidak akan bisa melihat makhluk lain yang seharusnya tidak bisa dilihat dan anak normal tidak berbicara dengan gagak. Seorang anak normal tidak akan bisa mendengar kami berbicara." Kata salah satu gagak itu.
"Tapi teman-temanku? Bukannya mereka melihat sesuatu yang seharusnya mereka tdiak lihat."
"Itu kemauanmu, kan? Ingin membuat mereka juga setidaknya melihat sekali apa yang kau lihat. Lagipula mereka bisa melihat makhluk itu, kalau makhluk itu sendiri ingin menunjukkan dirinya kepada mereka semua." Kata gagak yang masih bertengger di pundaknya itu
"Bukan begitu, aku hanya ingin mereka percaya kepadaku." Kata Hiro
"Manusia hanya akan percaya jika mereka melihat dengan mata dan kepala mereka sendiri karena mereka hanya ingin melihat apa yang mereka lihat, mereka hanya ingin dengar apa yang ingin merek dengar." Kata salah satu dari mereka.
"Seperti orang tuamu, mereka hanya ingin melihat apa yang mereka lihat. Mereka pilih kasih kepadamu, kan? Mereka hanya ingin melihat anak pilihan mereka yang sukses dan melakukan apapun yang terlihat baik di hadapan mereka. Mudah bagi kakakmu untuk mendapatkan segalanya dengan mudah. Sedangkan terhadap dirimu, mereka selalu menutup mata mereka. Mau sebanyak apapun kebaikan, kesuksesan, dan keberhasilan yang berusaha keras kau dapatkan tak berguna di mata mereka. Mereka memperlakukanmu dengan sangat berbeda, bahkan kesalahan kecil pun mereka menyalahkanmu, membentakmu, memukulmu, menyiksamu seperti binatang." Tambah gagak lainnya.
"Tidak, binatang saja masih diperlakukan lebih baik daripada dirinya. Dia diperlakukan seperti budak. Mereka terlalu buta untuk melihat hal-hal berharga disekitar mereka. Jangan salahkan dirimu atau kepribadian gandamu, tapi salahkan mereka yang membuatmu menjadi monster. Monster yang terbentuk dan bertambah kuat selama bertahun-tahun. Monster itu hanya perlu dibebaskan dari rantai yang selama ini kau tahan. Seharusnya kau lepaskan saja belenggu itu, agar kau merasa lega, bukan? Semuanya akan berakhir, penderitaan juga segera berakhir setelah kau melakukan keinginan terbesarmu." Kata gagak itu.
"Sial! Aku sudah membunuh mereka? Polisi akan menangkapku, aku tidak mau berakhir dipenjara!"
"Tenang saja, kau tak akan berakhir di penjara. Mereka tak bisa menemukan tubuh dari mayat-mayat itu karena kami sudah memakannya sampai habis." Kata salah satu gagak itu sambil terbang pergi disertai gagak lainnya yang langsung diikuti oleh Hiro.
"Bagaimana dengan barang buktinya?" Tanya Hiro sambil berjalan mengikuti mereka dan selalu mendongak ke atas untuk melihat gagak-gagak yang berbicara itu.
"Kami sudah menguburnya di suatu tempat di hutan ini yang mana tak ditemukan oleh para manusia itu." Kata gagak itu sambil terbang dan hinggap pergi menuju ranting pohon demi pohon menuju ke tempat lainnya.

"Kau benar-benar anak yang malang, tapi sekaligus membuatku makin membenci pada kebusukan manusia. Suatu hari seperti hari-hari lainnya di akhir pecan, orang tuamu mengemis bantuan untuk memperbaiki salah satu produk mainan yang rusak, ditambah lagi mereka tidak mengerti cara kerja instruksinya. Akhirnya kau menerima untuk membantu mereka dengan senang hati, kan? Tanpa mengharapkan imbalan. Kau berusaha memperbaikinya sampai akhirnya mainan itu diperbaiki dan berjalan dengan lancar. Orangtuamu mendapatkan uang menggunakan jasa-jasamu, sedangkan kau tak mendapatkan apa-apa selain olokan, hinaan, diskriminasi, dan siksaan. Beberapa menit setelahnya mereka meneriakimu, dan memukulmu hanya karena kau tak sengaja menumpahkan air ke lantai. Sungguh ironis." Kata gagak lainnya itu.
Setelah itu, Hiro memilih untuk terus berjalan di sekitar rumah tua terbengkalai yang lainnya disertai tanaman dan semak-semak liar yang tumbuh di sekitarnya, dan mendengarkan perbincangan dari gagak-gagak yang lainnya juga.

"Terimalah cincin sebagai lambang kesetiaan dan cinta saya padamu… Kalimat itu menggelikan sekali setiap mereka saling berkomitmen di depan altar. Saya tahu perilaku mereka. Saya melingkar di jari manis hanya sebagai formalitas belaka." Kata gagak lainnya sambil terbang lebih cepat hingga membuat Hiro harus berlari mengejarnya hingga tibalah Ia di suatu makam luas yang besar. Ia kini menyadari bahwa setelah melewati hutan besar yang gelap itu, terdapat beberapa rumah terbengkalai beserta makam luas yang besar berada di sana. Hal yang membuatnya masih penasaran dengan kota itu adalah kastil keluarga Agravain.

"Dan, saya sudah memikirkannya, kemungkinan besar, aku akan melepaskan jiwaku dari jari manis para suami dan istri. Sebagian memang sudah saya lakukan. Lihatlah, keluarga mulai berantakan. Suami meninggalkan istri dan menggagahi perempuan lain. Wanita mencari nyaman pada hati yang lain. Hilang kepercayaan, cemburu. Perselingkuhan. Saya yakin, kau pasti bisa menghitung seberapa banyak orang yang masih bersetia. Maka, ketika menerima tugas ini, saya merasa begitu dekat pada kesempurnaan. Saya merasa bahwa jiwa saya akan dikembalikan ke muasal. Tugas saya selesai. Saya tidak ingin lagi mengembara dari satu jari ke jari lain." Kata gagak lainnya yang menyusul.
"Ketika burung itu mati, dan orang menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa telah terjadi, pelan-pelan, mungkin pelan sekali, saya menyusup ke dalam jiwa mereka yang begitu rapuh, lalu membisikkan pesan panjang yang terangkum dalam kalimat pendek semacam ini. Pengkhianatan begitu dekat dengan cinta." Kata salah satu gagak itu.
"Apa peduli saya pada kehidupan, sementara di luar diri saya begitu banyak yang seperti tidak saling peduli. Padahal saya memang dilahirkan untuk mengikat agar segala sesuatu itu bisa abadi. Kalau dulu, dalam diam, saya bicara panjang-panjang tapi, kini, saya merasa itu percuma saja. Orang-orang pada menulikan telinga dan membutakan mata."
"Maka, baiklah. Dengan restu Dewa Kebinasaan saya siap menjalankan tugas sebagai jahanam untuk menuntaskan semua hasrat mereka. Saya tidak mau ada jiwa murni dan suci, atau kebaikan-kebaikan menyusup ke dalam jiwa saya, sebab setelah semua saya lalui, dan melihat bagaimana dicampak, saya merasa jauh lebih merdeka jika kelaknatan menyertai saya."
"Sebelum Ia menyematkan saya pada kaki burung berbulu gelap itu, saya memandang ke langit dan berteriak nyaring sekali. Saya menyerapahi langit karena ia mencintai saya. Dan, saya sungguh mencintainya karena telah menyadarkan saya. Aku berkata : Wahai langit yang diberkahi dengan kebiadaban, serapahi saya dengan kelaknatan yang paling jahanam. Kirimlah kegelapan-kegelapan dalam diri saya. Sendengkan telingamu dan janganlah berpaling dari permintaan saya. Biarkan saya berpesta pora agar yang mati kembali dibangkitkan. Yang hidup dilenyapkan. Wahaiiiiii penghuni langit, laut, tanah, bangunlah dari kegelapan. Bangunlah. Songsonglah jiwa saya, antar ke liang kubur sebab saya ingin merasakan lembab tanah." Kata salah satu gagak itu sambil terbang ke atas.
"Setelah itu saya mendengar koor yang menyanyikan lagu rekuiem dari arah langit. Mendengar sangkakala ditiup dan harpa dipetik. Sungguh, sungguh, saya sungguh merasa terharu. Dada saya mencair. Lega sekali."
"Kami adalah satu, tapi dalam rupa tiga roh. Roh Tuhan, Roh Malaikat, Roh Iblis."
"Berhenti! Tunggu dulu." Mereka saling menghardik, mengingatkan.
"Siapa peduli dengan nama itu?"
"Kalau begitu buat apa kita memikirkan nama?"
"Nama tidak lagi penting."
"Betul juga. Tuhan, Malaikat, Iblis, pun tak masalah. Kami lantas tertawa ketika salah seorang menyebut nama-nama mereka. Itu mengingatkan kami pada kebiasaan kami yang sering menonton video porno." Kata gagak lain sambil terkekeh. Hiro terus berjalan mengikuti mereka berjalan melewati nisan-nisan itu.
"Kami pun menjalankan tugas sebagai pembunuh suci. Kami saling berbisik mengutip ayat Kitab Suci, untuk meyakinkan bahwa yang kami hadapi hanyalah seorang yang tak punya kekuatan. Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari embusan napas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?"
"Maka kami akan menjawab dengan lantang, tanpa beban. Kami sendiri tidak tahu bagaimana awalnya kami menganggap orang yang kami tenung sebagai daun. Ketika kami berusaha mencari hubungan sebab akibat antara manusia dan daun, kami anggap usaha kami hanyalah pekerjaan tolol, sia-sia, dan dungu. Kenapa harus dihubungkan? Apa begitu penting untuk kami selain membunuh yang adalah menjalankan tugas suci itu?" Kata yang lainnya sambil terbang menuju makam lain yang lebih besar.

"Bekali-kali kami meyakinkan diri bahwa kami adalah kumpulan cenayang yang genius. Kami bisa menjadi apa saja sebab kami adalah anak terbuang, yang tidak terhitung, dan oleh sejarah dilupakan. Mereka melupakan dan tidak menghitung kami sebagai anak Ibu Laut, karena dalam diri kami bersemayam Ibu Lilith."
Hiro menengok ke belakangnya untuk memastikan tidak ada makjluk kenyeramkan lagi. Untungnya, ketika dia berbalik, tidak ada apapun disana selain kabut dan nisan-nisan salib besar yang rupanya lumayan terawat itu.

"Wahai Ibu Lilith yang kami permuliakan dan melaknati, datanglah, bergabung bersama kami. Mari kita rayakan kemenangan, sebab namamu akan terangkat kembali. Karena, sesungguhnya, Ibu pantas mendapat singgasana, dimahkotai, dan memakai jubah kebesaran. Engkau layak menerima puja-puji, hormat, dan kuasa. Kudus, kuduslah engkau. Laknat, laknatlah engkau." Kata salah satu dari mereka yang bertengger di atas nisan salib.

"Kami berjanji, padamu segala tunduk hormat akan diarahkan. Namamu akan diangkat dan dikenang sebagai yang pertama. Jerih payah akan dilunaskan dengan tercantumnya namamu dalam kitab-kitab yang selama ini kami anggap suci. " Kata gagak lain menuju makam yang batu-batu nisannya lebih tak terawat itu.
"Engkau akan dimateraikan dengan darah, dimuliakan dengan kematian, ditahirkan dengan pengabdian, diangkat dengan rekuiem-rekuiem, dimegahkan dengan sangkakala, dipestakan dengan piala air mata. Sebelum kami melangkah, kiranya engkau menumpangkan tanganmu. Bisiklah keinginanmu yang mungkin luput dari pengetahuan kami. Tajamkan mulut kami setajam tombak algojo yang menikam lambung." Kata salah satu dari mereka sambil bertengger di batu nisan yang lainnya itu.

"Setelah berkata demikian, kami merasa jiwa kami betul-betul bersih dan siap dipakai. Tak ada lagi ampunan, tak ada lagi kelunakan. Semua akan terjadi. Itu pasti. Ya, pasti."
"Dalam dunia tak kasatmata, kami melangkah menuju rumah lelaki itu. Maka ketika masuklah kami melalui pintu depan, ia menangis bagai ketakutan. Istri dan anak-anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya istri dan anak-anaknya, tanpa sanak keluarga yang lain. Memang inilah yang kami inginkan sejak awal, bahwa kami menceraiberaikan agar ketika ia meregang nyawa tak seorang pun menyaksikan itu kecuali anggota keluarga inti. Karena, sudah kami susupkan kebencian dalam diri mereka."
Ketika Hiro menyusul mereka sambil mendengarkan perbincangan seram, Ia mendapati bahwa makam lainnya lebih berkabut dan lebih luas daripada sebelumnya. Ditambah lagi dengan pepohonan yang sudah mati dan nisan-nisan kotor tua yang sudah tak terawat itu makin menambah suasana menakutkan.

"Kami melompat dengan gaya jaipong, ngikik, melototkan mata, menjulurkan lidah. Dan, pada puncaknya kami mengumpat dengan semua pembendaharaan kata serapah dan laknat yang dimiliki semua bangsa, suku, dan ras."
"Ia berbaring di atas tempat tidur dengan tatapan hampa. Ia menerawang begitu jauh. Kami tahu, jiwanya sedang melihat kematiannya. Salah seorang dari kami memungut seekor cicak dan memasukkan cicak itu ke dalam mulut lelaki tak berdaya itu. Ia berontak, begitu salah seorang dari kami menyumbat hidungnya. Selanjutnya kami melakukan tugas kami masing-masing sebagaimana telah kami ceritakan." Kata gagak itu sambil tertawa.
"Kenapa kalian membawaku ke makam?"
"Kami ingin menunjukkanmu sebuah tempat yang akan mewujudkan semua impianmu." Kata gagak lainnya.
Apa mereka mau membunuhku dengan menguburku hidup-hidup dan memakan bangkaiku?
"Kurasa aku harus pulang sebelum Kenzo mencariku. Aku khawatir jika dia memberitahukan kebiasaanku yang suka kabur dari rumah." Kata Hiro sambil berlari pergi kembali dengan mencoba mengingat jalanan dan hutan yang baru saja Ia lewati.