Sehun yang sejak tadi membaringkan tubuhnya, mengganti posisi dengan duduk tegap, lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi. Begitu saja terus sampai ia mendapatkan atensi Nata yang sedang asik merevisi naskahnya.
Sehun mendesah napas pelan, membuka bungkusan chiki berukuran besar yang sempat dibelinya tadi. Sepertinya Nata berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam ya saat ini? Sejak ia mengatakan 'Nata, saya ingin meninggoy' itu memang benar adanya.
Jantung Sehun saat itu terpompa dengan cepat. Aliran darah yang berdesir hebat hingga merasakan bahwa panas menjalar ke pipinya. Sehun menyodorkan sebatang stick jajanan bermerek mahal kehadapan mulut Nata. Yang beruntung gadis itu membuka mulutnya.
Terus saja begitu hingga chiki ketiga dihabisi oleh keduanya. Terlampau kesal sebab diabaikan, Sehun yang kini kembali merebahkan tubuhnya. Memainkan rambut panjang Nata karena posisi gadis itu sedang membelakangi Sehun.
Nata yang mencetuskan ide, lebih enak mengerjakan revisi sembari selonjoran di depan TV. Dengan kehadiran karpet tebal yang sempat dibeli oleh Nira beberapa waktu lalu. Sebab Omanya itu sangat suka menonton serial azab di siaran TV Indosiar.
Mendengar dengkuran halus dari telinganya, Nata menolehkan kepala ke samping. Tersenyum lebar saat mendapati Sehun sudah tertidur pulas dengan keadaan meringkuk bak udang.
Nata membiarkan layar laptopnya menyala terang. Memutar badannya ke arah belakang, pemandangan Sehun yang sedang tidur memang lebih menyejukkan. Bahkan lihat saja saat bibir tipis itu sedikit terbuka, seakan membiarkan cairan kental untuk keluar dari mulutnya.
Nata terkekeh pelan dan mencubit hidung kekasihnya. Tidak mendapat tanggapan, Nata kembali melancarkan aksinya, gadis itu yang kini mengelus surai lebat milik Sehun. Rambutnya begitu lembut walau tanpa minyak sekali pun.
Puas dengan aksi bermain-mainnya bersama rambut Sehun, Nata bangkit dan masuk ke dalam kamar. Mengambil selimut tebal untuk menutupi seluruh tubuh Sehun yang semakin meringkuk kedinginan sebab hujan turun dengan deras.
Nata menghela napas pelan, tidak mungkin ia menyuruh kekasihnya untuk pulang malam-malam begini. Berinisiatif menghubungi Irina segera Nata lakukan.
"Assalamualaikum, Mami?"
"Sudah tidur mi?"
"Iya, sayang."
"Belum, kenapa nak?"
Tidak menunggu waktu yang lama, balasan sudah menghampiri gawai milik Nata.
"Bang Sehun ketiduran di rumah Nata"
"Mau dibangunin nggak enak"
"Sebab diluar juga lagi hujan"
"Iya sayang"
"Biarin aja, Sehun tidur di situ"
"Asal jangan macem-macem ya kalian"
Nata terkekeh pelan membaca pesan yang dikirimkan oleh Irina. Macam-macam dari mananya. Sehun yang dikecup saja pipinya langsung memerah.
"Bolehnya satu macem aja"
Lantas Nata terbatuk saat pesan dari Irina kembali menghampiri gawainya.
"Mami, becandanya ih"
"Iya sayang"
"Udah selesai ngerjain revisinya? Kalau belum istirahat dulu, gih."
"Udah malem juga, jangan begadang ya"
"Siap mi"
"Selamat malam cantik ♥️"
"Selamat malam juga mi ♥️"
Nata tersenyum lebar saat melihat isi percakapannya dengan Irina. Wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu terlalu baik. Membuat Nata ingin sekali di angkat menjadi putrinya. Merindukan kehadiran sang ibu, pasti Nata akan diperlakukan demikian.
Nata kembali menatap jendela luar, mendengar suara gemericik hujan yang saat ini sering datang dan membasahi ibukota Jakarta. Menonaktifkan laptop miliknya, Nata lantas ikut berbaring di samping tubuh Sehun. Membiarkan kehangatan tubuh kekasihnya menjalar di sekitar Nata.
"Selamat malam, Abang."
—
Nameera tersenyum lebar di atas kursi yang ditempatinya. Menatap kehadiran seseorang lelaki yang berjalan kian mendekat ke arahnya. Itu Khalif.
"Ada apa, Khalif? Tumben kamu ajak aku untuk ketemuan duluan?" tanya Nameera begitu Khalif mendaratkan bokongnya tepat dihadapan gadis itu.
Khalif masih belum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Nameera. Laki-laki itu yang masih setia tersenyum dengan wajah tampannya. Pergerakan Khalif tak luput dari pandangan mata Nameera.
Melihat sebuah cincin yang kini berada dihadapan wajahnya membuat Nameera mengerutkan kening heran. "Khalif?" panggilnya.
"Nameera, saya rasa ini sudah saatnya..."
"Maksudnya?"
Nameera yang sepertinya terlampau bingung dengan aksi Khalif. Apa maksud dari perkataan dan kelakuan tunangannya barusan?
"Maaf karena saya harus terpaksa batalin pertunangan kita," ujar Khalif dengan senyum tipis. Tidak lama kemudian ia terkekeh pelan. "Bukan terpaksa, tapi itu memang keinginan saya dari dulu. Terlepas dari semua belenggu yang kamu dan keluarga kamu buat."
Bagai terkena petir di siang bolong, Nameera terpaku saat itu juga. Merasakan darahnya naik dan mendidih di atas sana. "Tapi perjanjian it—"
"Perjanjian itu telah selesai, Nameera. Keluarga saya dan termasuk semua cabang perusahaan sudah saya urus. Saat ini hutang yang dibuat oleh ayah dan ibu saya sudah lunas," ujar Khalif mantap. Ia memandang tepat di manik mata Nameera.
"Khalif kamu?!"
"Berhenti untuk menyakiti diri kamu sendiri, Nameera." Khalif memotong pembicaraan Nameera. Membuat gadis itu membisu dan tidak dapat melanjutkan pembicaraannya.
"Dengan cara kamu yang terus berharap pada hal yang nggak pasti. Dan mengambil semua hak milik orang lain."
"Tapi, Khalif. Aku cinta sama kamu!" ujar Nameera dengan air mata yang bergenang di pelupuk sana. Gadis itu mencengkram sebuah gelas yang berada dihadapan wajahnya.
"Itu bukan cinta, Nameera. Tapi nafsu dan keserakahan!" Khalif yang sepertinya ikut tersulut emosi, ia memandang tajam Nameera saat ini. "Saya udah belajar mencintai kamu tapi sekali lagi saya nggak bisa—"
"Apa karena Dinata? Yang sampai saat ini masih merajai hati kamu?" tanya Nameera. Gadis itu memejamkan mata erat saat melihat anggukan pelan yang dilakukan oleh Khalif. Tidak lama kemudian laki-laki itu tersenyum lebar dan menjawab. "Benar," jawabnya.
"Sial!" umpat Nameera. "Tapi dia sudah bahagia dengan yang lain, Khalif! Kamu mau menghancurkan hubungan dia deng—"
"Saya bukan orang seperti kamu, Nameera!" potong Khalif cepat. Membuat Nameera tersentak kaget. Pukulan dan bunyi keras dari kegiatan yang dihasilkan oleh Khalif. Laki-laki itu menggebrak meja kuat.
"Dan saya juga nggak licik seperti kamu. Dengan melihat Nata bahagia seperti sekarang saja sudah cukup bagi saya," kata Khalif. Ia berusaha menetralkan air muka serta jantungnya yang memompa dengan cepat.
Melihat Nameera—tunangannya yang kini telah berubah status menjadi mantan tengah menangis. Gadis itu membuang arah pandangannya ke arah luar jendela. Berusaha menghilangkan sesak yang tiba-tiba melanda.
"Beberapa hari ke depan saya pulang ke Shanghai. Mungkin untuk waktu yang lama, saya nggak akan kembali pulang ke Indonesia," ujar Khalif dengan senyum tipis. Ia yang saat ini memainkan jari-jarinya dengan gusar.
Memandang cincin emas yang sudah tidak lagi berada di jari manisnya. Membuat Khalif menghela napas pelan dan tersenyum lebar. Merasa bebas akan segala tuntutan yang dilakukan oleh gadis ini.
"Titip salam untuk kedua orangtua kamu. Dan sampaikan permintaan maaf untuk Oma Nira, semoga dia selalu sehat." Setelah mengatakan hal itu, Khalif bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Nameera yang masih setia menangis.
Gadis itu sempat menangkap punggung Khalif yang menghilang di balik tembok penghalang. Memegang dadanya yang terasa sakit. Mengapa semuanya menjadi seperti ini?
Nameera pikir dengan cara dia mengambil semua hak milik sepupunya—Nata. Semuanya akan selesai. Mendapat perhatian Oma Nira, mendapat kasih sayang dari ibunya—Shena dan mendapat ribuan cinta dari Khalif.
Ia menutup seluruh wajahnya. Menyadari bahwa itu semua adalah angan belaka. Tidak akan pernah terjadi walau ia mengharapkannya.