Tiba-tiba, aku sudah berada di padang rumput yang indah. Aku bingung, sebenarnya, aku sedang berada dimana? Untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaanku tadi, maka, aku mencoba untuk menjelajahi tempat ini. Belum sampai beberapa langkah aku menjejakan kakiku di tempat itu, aku melihat ada seseorang yang sebaya denganku. Hanya saja, kulitnya lebih pucat dari manusia kebanyakan dan aku melihat telinganya, aku merasa ada keganjalan disana. Ah iya, bagian atas telinganya lancip. Seperti para peri kebanyakan yang ada di cerita-cerita dongeng anak-anak. Kuperhatikan, ia memiliki rambut dark-blue sepunggung yang kontras dengan warna kulitnya. Aku berjalan mendekatinya dengan rasa penasaran.
"Hei, kamu!" panggilku dengan sedikit berteriak karena jarak aku dan orang itu berkisar sekitar lima meter. Ia menoleh ke arahku. Aku sangat terkejut melihat warna bola matanya. Merah, semerah darah namun tetap terlihat mengkilap. Indah sekali matanya, pikirku. Ia mendekatiku, lalu bertanya,
"apa kamu memanggilku tadi?" suaranya sangat lembut. Aku menjawabnya dengan menganggukan kepalaku.
"ada apa?" tanyanya lagi.
"apa kamu bisa memberi tahuku sekarang ini aku sedang berada dimana?" Ia tertawa mendengar pertanyaanku. Aku menatapnya bingung.
"kenapa kamu malah tertawa?" tanyaku.
"apa kamu benar-benar tidak tahu tempat apa ini?" ia bertanya balik padaku sambil meredakan tawanya. Aku menggeleng. Akhirnya ia benar-benar berhenti tertawa.
"baiklah, kalau memang kamu tidak tahu, jangan sampai terkejut karena kita sekarang sedang berada di--"
"Hazzardland?" potongku dengan mata berbinar.
"Kalau kamu sudah tau mengapa kamu bertanya padaku?" ia memutar bola mata cantiknya dengan malas.
"Hehe... Aku hanya ingin memastikan." Jawabku.
"Tapi sebenarnya kau masih berada pinggiran Hazzardland." Lanjutnya menerangkan.
"Oh, itu tidak masalah. Yang penting aku sekarang sudah berada di Hazzardland!" Ucapku dengan antusias.
"Berarti, kau adalah peri? Tapi dimana sayapmu?" tanyaku mulai penasaran. Karena, jika memang dia peri, seharusnya ia memiliki sayap, seperti peri di dongeng kebanyakan. Aku melihat si peri yang aku ajak bicara tadi memutar bola matanya. Bukannya kesal akan tingkah si peri, aku malah berusaha menahan diri untuk tidak mencubit pipi peri itu karna tingkahnya yang menambah kesan lucu pada dirinya.
"Sayapku akan muncul jika aku menjadi kecil"
"Benarkah? Kalau begitu cepat buat dirimu jadi kecil. Aku ingin melihat sayapmu" Kataku dengan nada memerintah.
"Hei, memangnya kau ini siapa, berani-beraninya memerintahku!" Kesal peri itu.
"Kumohon." Kataku memohon padanya, menunjukkan puppy-eyes. Ia menghembuskan nafas dengan kasar lalu segera merubah dirinya menjadi kecil. Dan aku tidak bisa melihat dimana ia berada sekarang. Aku memanggilnya, "Hei peri! Kamu dimana?"
"Aku disisni, apa kamu bisa melihatku? Aku di depanmu sekarang. Luruskanlah pandangamu, tegakkanlah kepalamu." Ucapnya. Dan betul saja, saat aku menegakkan kepalaku yang sedari tadi menunduk kerana mencarinya dibawah, aku melihat tubuh peri tadi sudah mengecil. Aku juga dapat melihat sayapnya yang berwarna-warni indah. Walaupun kecil, tapi aku bisa melihat coraknya dengan sangat jelas. Dan ini terasa sangat nyata bagiku.
"Apa kamu sudah puas melihatnya?" Tanyanya. Aku jawab dengan anggukan. Dan dengan sekejap mata ia langsung berubah lagi seperti saat aku pertama kali muncul dengannya.
"Oh iya, kita belum kenalan. Siapa namamu?"
"Aku Felicia De Scarrlett dari kaum Scarrlett. Panggil saja Licia. Karena memang biasanya peri-peri mengenalku dengan panggilan itu. Apakah di dunia manusia juga memiliki golongan seperti kami? Siapa namamu?" ucap sang peri tadi.
"Sebenarnya kalau diduniaku juga ada golongan seperti itu. Tapi aku belum tahu 'Kaum' yang kamu maksud disini mengarah ke 'kasta' atau 'marga'. Dan, aku Olivia Bracker. Panggil saja Vivy. Karena orangtuaku sering memanggilku seperi itu. Omong-omong, kamu tau darimana jika aku manusia?" Kulihat ia terkekeh.
"Tentu saja aku tahu! Saat aku masuk akademi dulu, aku pernah belajar tentang ciri-ciri manusia, walaupun sedikit." Jelasnya. Terlihat sekali matanya memancarkan binar yang cantik.
"Mengapa matamu terlihat berbinar?" tanyaku sambil berusaha menahan bibirku agar tidak ikut-ikutan melngkungkan senyum juga. Aku sangat senang melihatnya tersenyum.
"Aku merasa sangat senang bisa bertemu manusia sepertimu. Apakah kamu tidak tahu kalau peri akan merasa sangat beruntung jika bertemu manusia. Dan hanya Ada tiga orang peri yang beruntung tercatat dalam ramalan karena bisa bertemu manusia. Dan, peri yang terakhir tercatat pergi kedunia manusia kabarnya tak pernah kembali sampai sekarang. Tapi itu sudah sangat lama. Dan sejak saat itu gerbang pintu masuk pulau ini ditutup rapat-rapat agar tidak ada peri yang keluar lagi." Kami mengobrol cukup lama. Banyak hal yang kami perbincangkan.
"Apa boleh aku menginap dirumahmu? Aku tidak memiliki tempat tinggal disini." tanyaku.
"Tentu saja boleh. Ini sudah petang, mari kita pulang." Ujarnya.
"Tunggu dulu!" Tanganku bergerak mencegah Licia. Aneh rasanya menggenggam tangan Licia. Kulitnya begitu lembut dan terasa dingin.
"Ada apa?" Tanya Licia.
"Apa tidak ada peri yang akan mencurigaiku nanti?"
"Ah, iya. Benar juga! Lalu kita harus bagaimana?"
"Tak bisakah kamu menyihir beberapa bagian tubuhku agar mirip seorang peri?"
"Baiklah. Mungkin aku bisa mengganti bentuk telingamu agar sedikit lebih lancip, sedikit mengganti warna kulitmu agar sedikit lebih pucat dan mungkin bajumu..." ucapan Licia tergantung.
"Bajuku kenapa?" tanyaku heran.
"Aku tidak bisa membuat baju untukmu karena kita tidak memiliki bahannya."
"Yasudahlah. Tidak masalah dengan bajuku." Setelah itu Licia mulai menyatukan tangannya dan menggosoknya secara perlahan hingga muncullah cahaya terang. Mata Licia terpejam membuatnya seolah-olah khidmat melakukan aktivitasnya. Aku hanya diam mengamati. Hingga bibir Licia terbuka dan berkata,
"Tutup matamu" aku mengikuti instruksi yang diberikan Licia. Dengan mata tertutup, aku merasa seakan-akan aku terbang bersamaan dengan rasa hangat menyelimuti tubuhku. Tapi aku teta diam membiarkan semuanya terjadi sampai rasa hangat itu hilang dan kakiku sepertinya sudah menapak pada tanah lagi.
Mataku terbuka. Refleks aku melihat warna kulit tanganku. Pucat! Sihir Licia berhasil! Aku mengagumi sihirnya!
"Hey! Kita harus cepat. Sihirnya tidak akan bertahan lama." Suara Licia memecahkan fokusku terhadap rasa kagumku.
"Licia gunakan sayapmu dan ubah aku jadi kecil!" akhirnya aku dibawa terbang oleh Licia menuju rumahnya.
-//-
Dirumah Licia,
Entah hanya perasaanku saja atau mungkin tidak, ini benar-benar diluar dari ekspetasiku! Awalnya, aku berpikir, kemungkinan besar rumah Licia tidak akan jauh berbeda dengan film-film kartun tentang peri yang biasa aku tonton dirumah. Biasanya, Fairytale yang aku tonton menyuguhkan rumah peri yang terbuat dari dedaunan atau dari batang pohon lengkap dengan perabotan rumah yang berbahan sama.
Rumah Licia berbeda dari itu! Memang beberapa bagian didesain dengan sentuhan alam. Tapi, yang lainnya sangat mirip dengan rumah manusia bergaya Mediteranian. Bahkan jika Vivy disuruh memilih mana desain rumah yang lebih bagus antara rumah manusia atau rumah para peri, Vivy akan memilih rumah para peri. Vivy terus berjalan mengikuti Licia. Dan, yah, perlu kalian tahu, kalau ditengah rumah Licia ada tiang yang menembus lantai dua yang dikelilingi dengan tangga. Pegangan pada tangga itu didesain seolah dililit oleh sulur tanaman. Tapi sayangnya, Licia tidak berjalan kearah sana, jadi Vivy harus mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga itu.
Licia berjala kearah barat rumahnya.sampai akhirnya berhenti didepan satu ruangan berpintu warna putih polos. Jika diperhatikan hanya pintu ini yang berwarna putih polos. Yang lainnya memiliki warnanya tersendiri. Licia membuka pintu ruangan itu.
"Nah, ini kamarmu, kalau kamu merasa lapar kamu bisa mencari makanan didapur. Dapur ada dilantai dua, karena lantai satu khusus untuk ruang tidur dan ruangan untuk menjamu tamu." Jelas Licia. Vivy hanya mengangguk. Lalu Vivy memasuki ruangan itu. Ajaib! Ruangan itu seketika berubah menjadi berwarna. Bukan hanya satu warna seperti ruang lainnya, tapi ruangan itu memiliki warna-warna pelangi. Sampai perabotannya pun berwarna-warni.
Karena kekagumnya tersebut, mulut Vivy sampai sedikit terbuka tanpa ia sadari.
-//-